ELINA seorang guru TK yang tengah terlilit hutang warisan dari kedua orangtuanya terus terlibat oleh orang tua dari murid didiknya ADRIAN LEONHART, pertolongan demi pertolongan terus ia dapatkan dari lelaki itu, hingga akhirnya ia tidak bisa menolak saat Adrian ingin menikah kontrak dengannya.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bisa berakhir bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18: Malam Pernikahan
Malam telah menua. Tamu-tamu terakhir mulai meninggalkan halaman keluarga Leonhart yang semarak. Lilin-lilin di sepanjang jalan setapak mulai padam satu per satu, menyisakan hanya kilau redup dari lampu gantung dan aroma sisa anggrek yang menguar di udara.
Pelayan sibuk membersihkan, kru dekorasi menggulung karpet, dan musik pun telah lama berhenti mengalun.
Adrian melepaskan jas tuxedonya, menaruhnya di sandaran kursi dalam kamar yang kini menjadi kamar pengantin mereka. Ia tampak lelah tapi juga anehnya tenang, seperti seseorang yang akhirnya tiba di akhir jalan panjang, dan mulai menata napas.
Elina berdiri di depan cermin, membuka perlahan gaun pengantinnya yang megah, dibantu oleh salah satu pelayan wanita. Bayangannya di kaca tampak berbeda, bukan sekadar guru biasa, bukan perempuan dari masa lalu yang kelam, melainkan seorang istri, ibu, dan... wanita yang diam-diam tengah mencemaskan malam ini.
Lalu pintu kamar diketuk perlahan.
Claire masuk sambil mengusap matanya, masih mengenakan gaun kecilnya yang kini sudah kusut. "Mama..." panggilnya lirih.
Elina langsung menyambutnya, merunduk dan merengkuhnya dalam pelukan.
"Aku ngantuk... tapi aku nggak mau tidur sendirian malam ini," gumam Claire, matanya mulai berlinang. "Boleh aku tidur sama Mama dan Daddy?"
Adrian menoleh. Sebuah senyum muncul di wajahnya, seperti hendak berkata biarkan saja... Tapi sebelum ia bisa mengangguk, langkah tongkat terdengar mendekat di lorong.
Elizabeth Leonhart berdiri di ambang pintu dengan sorot mata tajam namun tak sepenuhnya keras. Ia memandangi cucunya, lalu tatapannya beralih pada Elina yang tengah memangku Claire.
"Claire," panggilnya dengan nada lembut namun tegas. "Nenek sudah menyiapkan kamar yang paling hangat untukmu malam ini. Dengan boneka baru di tempat tidurmu."
"Tapi aku mau sama Mama," bisik Claire.
Elizabeth mendekat, menyentuh pundak cucunya. "Mama barumu butuh istirahat, sayang. Hari ini dia sangat lelah. Besok pagi kau bisa bangun bersamanya dan sarapan bersama. Sekarang... tidurlah."
Claire mendongak pada Elina, seolah minta izin.
Elina tersenyum, meski hatinya tercekat. "Besok pagi Mama bangunin Claire. Kita sarapan bareng, ya?"
Setelah mencium pipi Elina dan memeluk Adrian sekilas, Claire akhirnya digandeng pergi oleh pengasuhnya. Elizabeth menatap Elina sejenak sebelum berkata lirih, "Ibu yang baik tahu kapan harus merengkuh, dan kapan harus melepaskan..."
Lalu ia berbalik, meninggalkan kamar tanpa menunggu jawaban.
Saat pintu kamar tertutup rapat dan langkah nenek Adrian menghilang di lorong, keheningan mengisi ruangan luas itu. Elina berdiri kaku di dekat ranjang, jari-jarinya menggenggam kain gaunnya yang telah berganti menjadi piyama sutra berwarna lembut. Di sudut ruangan, lampu berdiri menyala redup, menyisakan suasana yang tenang sekaligus canggung.
Adrian berdiri tak jauh dari meja rias, menatap bayangan mereka berdua di cermin besar. Lalu, dengan nada hati-hati, ia berkata, "Kalau kau merasa tidak nyaman... aku bisa tidur di sofa."
Ia menoleh ke arah kursi panjang di sisi jendela yang memang cukup untuk seseorang berbaring, walau jelas tak seideal ranjang empuk yang kini berada di antara mereka.
Namun Elina segera menggeleng pelan, suaranya lembut tapi mantap. "Kau tak perlu. Sofa itu tidak akan nyaman untuk malam sepanjang ini. Lagipula... ranjang ini cukup besar untuk dua orang dewasa yang tahu batas." Ia menatap Adrian sejenak, lalu menambahkan, "Satu guling sebagai pembatas, kupikir cukup. Aku percaya... kau tidak akan melewati garis itu."
Ada keheningan singkat, lalu senyum samar muncul di wajah Adrian. Ia tampak lega, tapi juga tersentuh oleh ketenangan yang ditampilkan Elina.
"Baiklah," jawabnya perlahan. "Aku berjanji akan tetap di sisi ranjangku... dan tidak menyentuh guling itu."
Elina hanya tersenyum singkat, lalu perlahan naik ke atas ranjang, menarik selimutnya hingga ke dada. Adrian menyusul di sisi lain, dan seperti yang dijanjikan, sebuah guling panjang diletakkan di tengah sebagai batas tak kasatmata.
Tak ada pelukan. Tak ada ciuman. Hanya jeda sunyi yang terasa nyaman.
Sesaat sebelum lampu dimatikan, suara Adrian terdengar lirih dari balik batas lembut di tengah ranjang:
"Selamat malam, Elina."
Dan dengan suara tenang yang entah mengapa menghangatkan udara malam itu, Elina menjawab, "Selamat malam... Adrian."
Malam pengantin mereka pun bergulir dalam hening yang jujur. Tanpa paksaan. Tanpa sandiwara. Hanya dua hati yang perlahan saling membuka, dengan cara mereka masing-masing
...****************...
Cahaya pagi menelusup lembut dari celah tirai gorden, mengusap pipi Elina yang masih tenggelam dalam kantuk. Aroma samar kopi dari dapur entah siapa yang menyiapkannya menyelinap perlahan, bercampur dengan kesunyian yang masih menggantung di udara.
Matanya terbuka perlahan. Lalu membelalak.
Jantungnya berdetak cepat saat ia menemukan dirinya tengah berbaring di sisi ranjang yang bukan miliknya. Dan di sebelahnya, seorang pria. Wajah tenang itu tampak begitu dekat, napasnya teratur dan damai, membuat waktu terasa seolah berhenti.
Elina sontak terduduk, selimut tergeser setengah dari tubuhnya. Pandangannya tertumbuk pada Adrian yang masih tertidur di balik guling pembatas yang kini miring tak karuan. Dadanya berdebar. Untuk sesaat, ia lupa segalanya, lupa akan pernikahan kemarin, lupa akan pesta mewah, lupa akan nama yang kini tertera di buku nikahnya: Elina Leonhart.
"Astaga…" gumamnya, nyaris tak bersuara. Tangannya memegangi dada yang terasa sesak oleh kenyataan baru.
Rasanya aneh. Aneh dan asing... tapi juga tidak sepenuhnya menakutkan.
Ia memandangi wajah Adrian yang tertidur dalam damai. Rasanya tak mungkin pria itu tidur di ranjang yang sama dengannya, namun itu benar-benar terjadi. Tapi tidak seperti yang orang pikirkan. Tidak ada yang dilewati, tidak ada yang dirusak.
Saat Elina hendak turun dari ranjang perlahan-lahan agar tak membangunkannya, suara serak dan hangat menyapanya dari balik selimut:
"Sudah pagi?" Adrian membuka matanya perlahan, lalu meregangkan badannya dengan malas.
Elina berhenti sejenak, bibirnya menegang, lalu menjawab, "Iya... aku hanya... kaget. Lupa... bahwa aku sekarang sudah... menikah."
Adrian tertawa pelan, nyaris seperti gumaman. "Kalau itu bisa membuatmu merasa lebih ringan... aku juga masih terbiasa tidur sendiri."
Ia bangkit, duduk dengan rambut sedikit acak, lalu menatap Elina dengan lembut. "Tapi aku senang kau tidak kabur malam tadi."
Elina hanya membalas dengan senyum kaku, wajahnya sedikit memerah.
"Karena... kalau kau kabur, akan sulit menjelaskan pada Claire kenapa mama barunya tak ada di pagi hari pertamanya sebagai keluarga," sambung Adrian ringan, lalu berdiri menuju kamar mandi.
Elina diam di tempat, tapi senyum samar mengendap di sudut bibirnya. Dalam hati, ia bertanya-tanya... sejak kapan kehadiran seorang pria di sisinya tidak terasa menakutkan?
...****************...
Pintu kamar mandi terbuka disertai embusan uap hangat. Adrian keluar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil, sementara tubuhnya hanya terbalut handuk lain yang dililitkan di pinggang. Butir-butir air masih menempel di kulitnya yang kecokelatan, membentuk garis-garis tipis yang menuruni dada dan perutnya yang berotot.
Elina yang sedang duduk di tepi ranjang menunduk refleks, jantungnya berdebar kencang. Ia merasa seolah baru saja disuguhi pemandangan yang seharusnya tidak dilihat oleh seorang wanita yang masih menyesuaikan diri dengan status barunya.
Adrian menatapnya dengan senyum tak bersalah, sembari berkata ringan, "Maaf. Aku lupa ini bukan pagi biasanya."
Elina menahan napas, lalu memalingkan wajah. "Tuan Leonhart," katanya dengan nada setengah menggoda, setengah menegur, "Bolehkah lain kali Anda menjaga... mata saya agar tetap bersih dari pemandangan seperti itu?"
Adrian tertawa pendek. "Aku kira sekarang kau sudah terbiasa. Kita sudah menikah, bukan?"
Elina menatapnya dari balik bahu, senyumnya setengah malu, setengah geli. "Menikah tidak serta-merta membuatku kebal terhadap... hal-hal seperti itu."
Adrian mengangkat tangan tanda menyerah, lalu berjalan menuju lemari dengan santai, punggungnya menghilang di balik pintu laci.
Elina berdiri, menyambar handuk dan perlengkapannya. "Aku mandi dulu." ujarnya dengan lirikan waspada.
"Ya!"
Saat pintu kamar mandi tertutup di belakangnya, Adrian mendongak sejenak, lalu menghela napas. Senyum kecil tersungging di bibirnya, mengingat reaksi Elina yang manis dan canggung. Wanita itu... sungguh berbeda dari siapa pun yang pernah ia temui.