Hafsah bersimpuh di depan makam suaminya, dalam keadaan berbadan dua. Wanita berjilbab itu menumpahkan rasa lelah, atas kejamnya dunia, disaat sang suami tercinta tidak ada lagi disisinya.
Karena kesalahan dimasa lalu, Hafsah terpaksa hidup menderita, dan berakhir diusir dari rumah orang tuanya.
Sepucuk surat peninggalan suaminya, berpesan untuk diberikan kepada sahabatnya, Bastian. Namun hampir 4 tahun mencari, Hafsah tak kunjung bertemu juga.
Waktu bergulir begitu cepat, hingga Hafsha berhasil mendapati kebenaran yang tersimpan rapat hampir 5 tahun lamanya. Rasa benci mulai menjalar menyatu dalam darahnya, kala tau siapa Ayah kandung dari putrinya.
"Yunna ingin sekali digendong Ayah, Bunda ...." ucap polos Ayunna.
Akankan Hafsah mampu mengendalikan kebencian itu demi sang putri. Ataukah dia larut, terbelunggu takdir ke 2nya.
SAQUEL~1 Atap Terbagi 2 Surga~
Cuma disini nama pemeran wanitanya author ganti. Cerita Bastian sempat ngegantung kemaren. Kita simak disini ya🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 21
Hafsah dan juga Dista mengernyit, kala mendapati sebuah mobil hitam mewah yang menurutnya sangat asing, kini berhenti didepan Masjid sebrang rumahnya.
Perasaan Hafsah sudah mulai tidak enak. Dia turun terlebih dahulu, dan langsung berjalan menuju arah rumahnya. Langkah lemah itu terhenti, disaat kedua netranya menangkap sosok, yang dulu pernah mengelupas lukanyanya hingga darah mengucur tak tersisa.
"MAU APA KAMU DATANG KERUMAHKU?" suara Hafsah meninggi, memekik gendang telinga Bastian saat itu.
Dista sedikit berlari, hingga dia berhenti disamping tubuh sang Sahabat. Mbok Nah menatapnya, mengisyarat untuk membawa Ayuna masuk.
"Bibi punya cerita baru buat Ayuna. Yuk kita masuk dulu," ajak Dista membujuk.
"Ayo, Bi! Nanti bacain ya, sama Yunlna!" Akhirnya Yuna mau dibawa masuk oleh Dista.
Hafsah masih menajamkan matanya kearah Bastian. Dadanya bergemuruh, membayangkan bagaimana jahatnya Bastian dulu. Kedua matanya memanas, hingga bibirnya tampak bergetar.
Bastian bangkit, mencoba mendekat. Wajahnya sendu, menyimpan rasa penyesalan yang mendalam.
"Hafsah, kita perlu membicarakan semuanya terlebih dulu! Tolong dengarkan aku," lirih Bastian dengan mencoba mengambil tangan Hafsah.
Hafsah menarik tangannya kebelakang, hingga tangan Bastian hanya menggantung saja.
"Apalagi yang mau kamu katakan! Puas? SUDAH PUAS MENGHANCURKAN HIDUPKU, DULU? SUDAH PUAS!" bentak Hafsah terisak dalam tangisnya.
"Hafsah, tolong biarkan aku bebicara! Maafkan aku, Hafsah!" sesal Bastian meneteskan air mata.
"Tidak ada orang yang jahat, daripada seorang sahabat yang tega meniduri sahabatnya sendiri! Dan lebih parahnya, dia pergi jauh tanpa kabar, lari dari tanggung jawabnya, mengorbankan jiwa lemah untuk menjadi tumbalnya. Jahat, bukan?"
Kalimat Hafsah mampu mengoyak dinding jiwa Bastian. Rasanya terluka, namun darahnya sudah kering berganti rasa penyesalan.
"Tolong antarkan aku ke makam Ragantara! Aku mohon, Hafsah! Tolong ijinkan aku meminta maaf kepada Raga." Bastian masih bersikukuh, mencoba mengetuk pintu hati Hafsah yang sudah mulai terkikis.
"Untuk apa? Jika baru sekarang kamu mencari dia, disaat dia sudah berada dibalik tanah! Aku tanya, untuk apa?" Hafsah tersenyum culas, menekan penuh kalimatnya.
Baru kali ini Bastian menangis terisak. Dadanya bergemuruh, antara bingung harus berbuat apa, dan harus memposisikan sikapnya seperti apa. Dia masih menganggap, jika putri kecil itu adalah anak Ragantara.
"Aku khilaf, Hafsah! Aku benar-benar terbuai pada saat itu. Banyak masalah yang datang silih berganti, dan aku ... Aku-"
"Kamu adalah pria paling jahat yang pernah aku kenal! Lebih baik, kamu pergi sekarang dari rumah ini! Pergi!" tandas Hafsah, memalingkan wajahnya. Air matanya sudah mulai mengering. Wajahnya terlihat datar, kosong tanpa senyuman.
Bastian tidak dapat berbuat banyak. Dia tidak ingin memperkeruh suasana, dengan semakin membuat kebencian Hafsah bertambah.
"Ajak Hafsah masuk, biarkan Simbok yang memberikan surat itu," ucap mbok Nah kepada Dista.
Dista lalu mengeluarkan surat yang telah dititipkan Hafsah kepadanya, untuk diberikan kepada mbok Nah. Setelah menerima, kini mbok Nah langsung keluar dibalik pintu.
"Bas ... Pulanglah dulu! Berikan Hafsah waktu untuk berpikir. Emosionalnya tidak terkendali, setelah kepergian suaminya. Jika kamu mau kemakam Raga, datanglah! Pusaranya tidak jauh dari sini. Jalan itu lurus, lalu ada pertigaan ambil kanan, masuk sedikit." ucap Mbok Nah, sambil berjalan kedepan.
Bastian sedikit menoleh. Dia masih terisak kecil, sambil mengusap sisa air matanya.
"Terimakasih, Mbok! Maafkan saya, jika kedatangan saya terlambat. Saya benar-benar menyesal!" jawabnya menunduk.
"Raga menitipkan surat ini kepada istrinya, untuk diberikan kepadamu! Bukalah, setelah kamu sampai dirumah. Ingat pesan Simbok!" Mbok Nah mengayunkan surat itu, surat yang sudah seumuran dengan Ayuna. Surat itu masih terlihat bersih, karena Hafsah menyimpannya dengan penuh rasa.
Bastian menerimanya. Dia mengeratkan genggaman surat itu, seolah sedang mengeratkan tali persahabatan mereka yang telah terputus.
"Assalamualaikum, Mbok! Saya pamit dulu!"
"Walaikum salam!" jawab mbok Nah menatap nanar sahabat cucunya kini.
Bastian kembali menjalankan mobilnya. Dia mengikuti arah jalan yang tadi sempat mbok Nah tunjukan. Isakan kecil masih kerap terdengar, dengan wajah yang tampak antusias menatap jalanan.
Begitu sampai, Bastian segera turun. Dia berjalan masuk keare pemakaman. Walaupun agak bingung mencari pusara sang sahabat, kini Bastian akhirnya menemukan rumah terkhir Ragantara.
Bastian bersimpuh, dengan satu tangan memegang nisan tersebut. Seblum bersuara, Bastian menarik nafas dalam, menetralkan rasa sesak di dadanya.
"Raga, maafkan aku! Aku benar-benar merasa terpuruk saat ini. Raga, sebesar apa hatimu dulu, sehingga kamu mau menikahi Hafsah, padahal kamu tahu, akulah yang telah merenggut kesuciannya. Aku pecundang, Ga! Maafkan aku yang terlalu mengabaikan persahabatan ini. Izinkan aku merawat putrimu juga! Aku akan menganggap putrimu, sebagai putriku sendiri."
Tangisan Bastian kembali pecah, rasanya tidak mungkin jika sang sahabat benar-benar pergi meninggalkannya.
Setelah tangisanya aga mereda, Bastian kembali mengungkapkan semua masalah-masalah yang mungkin, dulu belum sempat dia jabarkan.
"Ga, sekarang Hafsah begitu membenciku! Apa yang harus aku lakukan sekarang! Bagaimana caranya mendapat maaf darinya, setelah ini? Aku sudah kehilangan sahabat sebaik kamu, Ga! Semoga ALLAH mengampuni segala kekhilafanmu. Sekarang kamu sudah sembuh, Ga! Seharusnya dari dulu kamu bilang sama aku, jika kamu sakit. Demi ALLAH Ga ... Jika dulu kamu bilang padaku, aku akan mencarikan dokter terbaik untukmu. Tapi kembali lagi, ALLAH lebih menyayangimu. Berbahagialah disana! Jangan cemaskan keluargamu. Aku berjanji, akan bertanggung jawab setelah ini!"
Bastian masih setia mengusap nisan sang sahabat. Setelah itu dia bangkir, berjalan keluar makam, dan langsung menjalankan kembali mobilnya.
Sedikit lega.
Setidaknya dia masih diberi kesempatan, untuk mengungkapkan semuanya didepan pusara Raga.
Tepat pukul 18.00 Bastian baru tiba dikediaman orang tuanya.
Keningnya berkerut, kala mendapati ada dua mobil asing dihalaman rumahnya.
Dari ambang pintu, nyonya Dina sudah berdiri untuk menanti kehadiran putranya. Senyum mengembang, seakan tidak sabar untuk memberitahu kabar baik untuk sang putra kini.
Bastian memicing, "Mobil siapa didepan? Ada apa, Mah?"
"Ayo masuk! Nanti kamu juga tau sendiri, Bas!" nyonya Dina menarik lengan sang putra untuk segera masuk kedalam.
Begitu sampai diruang tengah, ruangan yang sangat lebar itu, ada terdapat dua keluarga besar yang kini tampak duduk sambil bercengkrama ringan. Bastian semakin dibuat bingun, siapa para tamu orang tuanya itu.
"Mamah, memangnya ada acara apa? Bukanya dia rekan bisnis Papah? Lalu, untuk apa dia mengajak anak dan istrinya?" bisik Bastian menekan kalimatnya.
Nyonya Dina hanya tersenyum, terus menarik lengan putranya hingga kini dia dang sang putra berdiri didepan mereka semua.
"Bastian, ayo Nak, salam dulu dengan keluarga Om Dirga!" ucap tuan Gading menyuruh putranya, yang kini baru datang.
"Mamah, ini apa-apan sih-"
"Sudah Bastian, nurut saja sama Papah! Cepet sapa keluarga Om Dirga!" bisik nyonya Dina sambil mendorong pelan tubuh putranya.
Dengan wajah terpaksanya, kini Bastian mulai menyalami keluarga tuan Dirga.
"Om bangga dengan kerja kerasmu, Bastian! Perusahaanmu berkembang pesat selama 1 tahun ini! Hebat," ucap tuan Dirga menepuk pelan bahu Bastian.
"Bukan hal yang luar biasa, Om!" jawab Bastian singkat.
Setelah menjabat tangan istri tuan Dirga, Bastian kini menyapa seorang wanita cantik, yang tak lain putri tungga keluarga Dirga Surya.
"Ainun!"
"Bastian," ucap Bastian singkat.
Setelah itu dia kembali duduk didekat sang ibu, menahan gelisah akibat tidak nyaman.
Ainun~wanita itu terlihat tenang, seakan tidak peduli dengan pertemuan keluarganya kali ini. Dia duduk manis, sesekali tersenyum, namun dari tatapanya, dia sama sekali tidak tertarik dengan Bastian.
"Putri saya pasti nurut saja, Gading! Coba sekarang, kamu tanya langsung pada putramu! Jika dia bersedia, saya harap pertunangan akan segera digelar!" pungkas tuan Dirga melanjutkan ucapannya.
Tuan Gading tersenyum, lalu segera menoleh kearah sang putra untuk meminta pernyataan.
Melihat Bastian tampak berat membuka suara, nyonya Lilia langsung menyela pertanyaan tuan Gading. "Jangan langsung ditekan, Gading! Beri waktu, agar mereka berdua dapat mengenal satu sama lain dulu," katanya kepada tuan Gading. Setelah itu tatapanya beralih lurus kedepan, "Bastian, disini tidak ada paksaan apapun! Jika mungkin kalian cocok, syukur Alhamdulillah, kalua tidak ya ... Mungkin memang belum jodoh saja!"
"Betul, Mbak Lil! Kita kasih waktu saja untuk mereka agar dapat mengobrol berdua dulu!" sahut nyonya Dina tersenyum. Dia lalu menyenggol Bastian, mengisyarat untuk mengajak Ainun kelain tempat, agar lebih leluasa saling mengenal.
Mau tidak mau, Bastian memanggil wanita cantik itu, untuk diajaknya menyingkir kelain tempat.
*
*
*
Hafsah menutup pintunya kembali, setelah sahabatnya pamit pulang. Sebelum melangkah kedalam, dia menarik nafas pelan, dan masih terdengar isakan kecil yang tertahan disana.
Mbok Nah berjalan dari dalam. Wanita tua itu duduk disofa tamu, mengatur nafas dengan tenang.
"Duduklah, Hafsah! Simbok ingin berbicara," ujarnya.
Hafsah langsung duduk disebarang. Menatap mbok Nah, namun kembali lagi menunduk.
"Simbok nggak tahu, seberat apa masalah kalian dulu! Setidaknya, jika masih diberi kesempatan oleh ALLAH, katakanlah yang sejujurnya, Nak! Ayuna masih sangat membutuhkan figur seorang Ayah. Simbok tidak menyuruhmu untuk menikah! Simbok hanya ingin, kamu mengatakan yang sebenarnya, tentang siapa Ayuna!"