Pernikahan antara Adimas Muhammad Ibrahim dan Shaffiya Jasmine terjalin bukan karena cinta, melainkan karena sebuah perjodohan yang terpaksa. Adimas, yang membenci Jasmine karena masa lalu mereka yang buruk, merasa terperangkap dalam ikatan ini demi keluarganya. Jasmine, di sisi lain, berusaha keras menahan perasaan terluka demi baktinya kepada sang nenek, meski ia tahu pernikahan ini tidak lebih dari sekadar formalitas.
Namun Adimas lupa bahwa kebencian yang besar bisa juga beralih menjadi rasa cinta yang mendalam. Apakah cinta memang bisa tumbuh dari kebencian yang begitu dalam? Ataukah luka masa lalu akan selalu menghalangi jalan mereka untuk saling membahagiakan?
"Menikahimu adalah kewajiban untukku, namun mencintaimu adalah sebuah kemustahilan." -Adimas Muhammad Ibrahim-
“Silahkan membenciku sebanyak yang kamu mau. Namun kamu harus tahu sebanyak apapun kamu membenciku, sebanyak itulah nanti kamu akan mencintaiku.” – Shaffiya Jasm
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 22
"Menjalani pernikahan pada umumnya? Apa itu artinya dia mulai bisa menerimaku? Ah tidak. Apa ini karena perasaan bersalah karena sudah terang-terangan jalan berdua dengan perempuan lain?"
Beragam pertanyaan mulai menari-nari di kepala Jasmine. Jika awalnya pikiran Jasmine hanya tertuju kepada kedekatan Adimas dan Rindu, maka sekarang ia justru pusing dengan pernyataan Adimas tentang pernyataan lelaki itu yang mengatakan ingin menjalani pernikahan ini secara normal.
Jasmine tidak bisa mendengar jelas percakapan antara Adimas dan Adrian tadi siang. Dia juga tidak terlalu peduli dengan itu. Selain karena memang bukan urusannya, Jasmine juga tahu kabar burung tentang buruknya hubungan kakak beradik itu. Adrian bahkan tidak datang ketika mereka menikah. Jangankan datang, mengucapkan selamat pun tidak.
Belum pernah Jasmine menyaksikan betapa dinginnya hubungan persaudaraan seseorang hanya karena mereka berbeda ibu. Di keluarganya bahkan meskipun beberapa saudaranya ada yang bercerai, anak mereka pun masih bisa hidup bahagia dan berdampingan dengan rukun.
Semakin lama ia hidup bersama Adimas, semakin pula ia bisa merasakan betapa misteriusnya lelaki itu. Ia bisa saja baik-dalam artian tidak marah-marah, namun ia bisa juga bersikap dingin, bagaikan es yang sulit untuk mencair.
Seperti hari ini contohnya. Paginya dia bersikap biasa saja, siangnya dia jalan berdua dengan perempuan lain, setelah itu dia justru menawarkan Jasmine untuk menjalani pernikahan mereka dengan normal dan malam ini sifat dinginnya kambuh.
Malam sudah menujukkan pukul 8 malam. Jasmine baru saja akan turun ke dapur untuk memasak. Jangan pikirkan tentang masakan yang berat-berat, Jasmine hanya ahli dalam dunia pastry dan baking. Jadi yang bisa ia masak adalah masakan sederhana seperti telur dadar atau mie instan.
Kebalikan dengan Adimas. Lelaki berwajah dingin dan kaku itu seperti Allah anugerahkan tangan yang ajaib dalam mengolah bumbu. Hasil masakannya bahkan seenak masakan restoran. Ah, barangkali keluarga Ibrahim memang ahli di dunia kuliner. Namun hanya Adrian yang tertarik menekuninya.
Jasmine segera menguncir rambutnya asal, bahkan meninggalkan beberapa helai rambut di pinggir. Setelah itu, ia mengambil hoodie untuk menutupi lengannya karena sekarang dirinya hanya memakai stelan baju rumahan tanpa lengan dan celana pendek di atas lutut.
Setelah itu, Jasmine pun keluar kamar. Langkahnya begitu pelan namun begitu yakin menapaki satu persatu anak tangga.
Begitu sampai di dapur, ia segera membuka kulkas dan melihat masih ada beberapa butir telur dan sayuran. Matanya juga melihat ada beberapa bungkus mie instan yang sangat menggoda perutnya.
Tanpa pikir panjang, Jasmine segera mengambil pan kecil untuk merebus air. Sembari menunggu air mendidih, ia segera memotong beberapa butir cabe dan sayuran.
"Masak mie lagi?"
"Aw!" pekik Jasmine langsung menarik tangannya yang tidak sengaja terkena pisau.
Masih dalam keadaan panik karena jari telunjuknya jadi korban irisan pisau akibat terkejut dengan suara Adimas yang tiba-tiba muncul, tiba-tiba tangannya segera ditarik Adimas.
"Mas mau ngapain?!" jerit Jasmine saat tangannya diarahkan Adimas ke keran wastafel.
Tanpa menjawab lelaki itu kemudian membersihkan luka kecil itu dengan air. Setelah itu, Adimas dengan cepat mengeringkan jarinya dengan tissue.
"Kamu tunggu di sini." Adimas berjalan mematikan kompor lalu segera berlari meninggalkan dapur.
Meninggalkan Jasmine yang masih bengong dengan perlakuan lelaki yang dengan sungkan ia sebut suami itu.
"Ngilu juga ternyata." kata Jasmine menatap miris jarinya yang masih mengeluarkan darah segar itu.
Tidak lama kemudian Adimas datang. Lelaki itu membuka plester baru dan segera membalut luka Jasmine dengan itu. Jantung Jasmine? Oh jangan ditanya. Debarannya sungguh tidak berirama teratur dan matanya bahkan dengan lancang menatap Adimas tanpa malu.
"Jangan dilihat begitu. Nanti malah suka." kata Adimas datar. Ah tidak. Ia menyunggingkan sebuah senyuman tipis.
Mata Jasmine mengerjap beberapa saat. Melihat Adimas tersenyum padanya saja, Jasmine yakin kini wajahnya memerah karena malu.
"Nggak apa-apa dong. Kan suami sendiri." sahut Jasmine setenang mungkin.
Adimas terkekeh. Sungguh ini di luar kuasa Jasmine. Ia begitu menyukai Adimas yang murah senyum.
"Menikmati senyuman suami sendiri nggak dosa, kan?!" jeritnya dalam hati.
"Baru masak begitu saja jari kamu jadi korban. Tidak mengherankan jika masak yang sulit dapur hampir terbakar." sindir Adimas yang kemudian berbalik membelakangi Jasmine namun menghadap kompor.
"Ini juga karena Mas. Kenapa suka banget ngagetin gitu sih?"
"Saya tidak mengejutkan kamu. Itu respon tubuhmu saja yang berlebihan jika di dekat saya."
Jasmine ingin mengelak, namun dalam hati ia mengakui bahwa itu benar.
"Kamu diam itu artinya saya benar." lanjut Adimas yang kemudian menghidupkan kompor.
Jasmine berjalan pelan, kini berdampingan dengan Adimas. Ia memajukan kepalanya sedikit lalu menoleh ke arah Adimas. Penasaran dengan ekspresi lelaki itu. Tidak ada yang aneh. Masih sedatar biasanya.
Kemudian Jasmine kembali menegakan kepalan. Pandangannya justru tertuju kepada air yang sudah hampir mendidih tersebut.
"Kenapa kamu suka makan makanan seperti ini? Makanan ini tidak sehat, Jasmine." tanya Adimas datar. Tangannya segera meraih mie instan yang sudah dibuka dan dikeluarkan bumbunya oleh Jasmine.
"Karena enak." jawab Jasmine asal.
Adimas menoleh cepat. Tatapan tajamnya membuat Jasmine mengalihkan pandangannya ke arah air yang sudah mendidih.
"Mas itu sudah mendidih. Buruan masukin mie dan telurnya." kata Jasmine semangat.
"Ini jatah terakhir kamu bulan ini untuk makan makanan ini. Sudah tahu punya riwayat asam lambung parah malah makan makanan begini." dumel Adimas yang tetap menuruti Jasmine untuk memasukkan satu bungkus mie lengkap dengan telurnya ke wadah air mendidih tersebut.
Jasmine menatap Adimas tidak suka. Mana bisa ini sudah terakhir padahal akhir bulan masih lama.
"Nggak bisa begitu dong, Mas. Kamu nggak berhak buat larang-larang begitu!" seru Jasmine tidak suka.
Meski Adimas baru mengatakan ingin menjalani pernikahan normal dengannya tadi siang, namun bukan berarti Jasmine setuju untuk itu. Lagipula mana bisa Jasmine percaya begitu saja pada lelaki di depannya ini.
Adimas mendekatkan wajahnya kepada wajah Jasmine, membuat mata hitam Jasmine membulat kaget. "Kamu istri saya. Kewajiban kamu menuruti saya selagi itu baik."
Istri? Bolehkah Jasmine bahagia sekarang? Meskipun jika ini hanya kepura-puraan Adimas, namun Jasmine tidak memungkiri betapa bahagianya ia ketika disebut istri oleh Adimas.
Setelah mengatakan itu, Adimas kembali mengaduk-ngaduk mie dan siap memasukkan potongan cabe dan sayur bersama mie dan telur tersebut.
"Tapi ini terlalu mendadak, Mas. Aku juga-"
"Cabenya sebanyak ini? Kamu mau makan mie pake cabe atau makan cabe pake mie?" sela Adimas dengan tatapan tajam. Tangannya masih menggantung memegang mangkok berisikan potongan cabe yang tadi diiris Jasmine.
Jasmine menelan ludahnya dengan susah payah. Raut Adimas sangat tampak bahwa ia sedang marah.
"Tapi lebih enak kalo pedes-pedes Mas. Rasanya hambar kalau cabenya nanggung." cicit Jasmine sambil menunduk. Dalam hati selain menggerutu ia juga heran mengapa malam ini Adimas berlebihan seperti ini padanya.
Adimas menghela napasnya dengan kasar. "Saya masukkan setengahnya aja." kata Adimas akhirnya. Seolah tahu Jasmine akan protes, Adimas lebih dulu berkata dengan datar. "Saya tidak terima protes dari kamu."
Bahu Jasmine lemah seketika. Ia hanya menatap pasrah saat mie instan dengan dua telur lengkap dengan sayur dan toping cabe itu Adimas tuang ke mangkok. Makanan yang tidak sehat menurut Adimas itu pun siap dinikmati.
"Mau makan di mana?" tanya Adimas yang sudah membawa mangkok itu di tangannya.
"Di ruang tengah boleh? Mau sekalian nonton drachin." jawab Jasmine pelan.
Adimas tidak menjawab 'iya atau tidak'. Lelaki itu segera melangkah menuju ruang tengah yang berada di dekat tangga dengan membawa semangkok mie untuk Jasmine.
Sementara itu, Jasmine berjalan mengekori Adimas dari belakang dengan pikiran yang begitu banyak pertanyaan tentang keanehan Adimas.
Tanpa suara apapun, Adimas segera meletakkan mangkok tersebut di meja. Lalu ia pergi ke arah dapur kembali. Sedangkan Jasmine segera duduk dan segera menghidupkan televisi. Setelah itu segera beralih ke aplikasi yang menayangkan berbagai c-drama favoritnya.
Setelah c-drama favoritnya sudah mulai, Jasmine segera mengangkat mangkok mienya tersebut. Ia sudah siap mengisi perutnya dengan makanan enak ini namun tidak sehat itu.
Hingga tiba-tiba sebuah gelas berisi air penuh muncul di meja. "Jangan lupa minum." kata Adimas mengingatkan Jasmine.
Jasmine mengangguk namun pandangannya beralih ke Adimas yang kini justru duduk di sampingnya. Lelaki itu tidak menoleh padanya. Ia hanya fokus pada ponselnya.
"Ini buat aku?" tanya Jasmine heran.
"Hmmmh...." jawab Adimas sambil mengangguk dengan mata yang masih fokus dengan ponselnya.
"Terima kasih." ucap Jasmine pelan merasa terharu.
"Iya. Buruan makan. Saya masih ada pekerjaan."
Jasmine yang baru saja menyuapkan sesuap mie ke mulut itu pun menoleh cepat. "Mas senghaja di sini nunggin sayya?" tanya Jasmine masih mengunyah.
"Iya. Saya sengaja nungguin kamu." jawab Adimas enteng yang kemudian membuat Jasmine terbatuk.
Adimas dengan cepat mengambil alih mangkok mie tersebut kemudian meletakkan di meja. Tangannya lalu segera memberikan minuman ke Jasmine.
"Makan ya makan. Jangan sambil bicara." omel Adimas yang terdengar seperti nada khawatir lalu me
Jasmine segera minum dan mencoba tenang agar batuknya segera berhenti. Saat batuknya mulai berhenti, saat itulah mata Jasmine bertatapan dengan jarak yang dekat dengan Adimas.
Entah sejak kapan tanpa Jasmine sadari, jarak di antara mereka berdua sangatlah dekat. Tangan Adimas bahkan masih berada di punggungnya. Waktu seolah berhenti saat tiba-tiba wajah Adimas semakin mendekat ke wajahnya.
Saking dekatnya Jasmine bisa melihat irisan cokelat mata tajam Adimas. Tubuh Jasmine seolah membeku hingga saat jarak wajah mereka semakin menipis, di luar kendali Jasmine, suara cegukan itu muncul dengan begitu lancang.
Memecah kesunyian yang syahdu di antara mereka sekaligus menyadarkan mereka berdua.
Adimas segera berdiri, lalu tanpa menoleh ke arah Jasmine ia berkata dengan terbata-bata. "Sa-Saya ke ka-kamar dulu." ucapnya lalu berlalu begitu saja.
Jasmine masih berusaha mengembalikan kontrol dirinya. Jarak dekat mereka bahkan hidung Jasmine sempat bersentuhan dengan hidung mancung Adimas membuat Jasmine masih terdiam.
"Satu lagi, kalau di rumah jangan pakai celana begitu lagi. Itu tidak cocok untuk kamu!"
Jasmine menoleh cepat kepada Adimas yang kini sudah melangkah menjauh. Lalu matanya beralih ke arah celananya yang tampak biasa saja. Matanya pun meneliti paha dan betisnya.
"Apanya yang tidak cocok ya? Lagian ini kaki mulus-mulus aja. Kok aneh banget."