Aku adalah seorang gadis desa yang dijodohkan oleh orang tuaku dengan seorang duda dari sebuah kota. dia mempunyai seorang anak perempuan yang memasuki usia 5 tahun. dia seorang laki-laki yang bahkan aku tidak tahu apa isi di hatinya. aku tidak mencintainya dia pun begitu. awal menikah rumah tangga kami sangat dingin, kami tinggal satu atap tapi hidup seperti orang asing dia yang hanya sibuk dengan pekerjaannya dan aku sibuk dengan berusaha untuk menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak perempuannya. akan tetapi semua itu perlahan berubah ketika aku mulai mencintainya, namun pertanyaannya apakah dia juga mencintaiku. atau aku hanya jatuh cinta sendirian, ketika sahabat masa lalu suamiku hadir dengan alasan ingin bertemu anak sambungku, ternyata itu hanya alasan saja untuk mendekati suamiku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia greyson, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21
Pagi itu, setelah sarapan bersama, Arif duduk di ruang tamu sambil mengamati Amira yang sedang merapikan beberapa dokumen di meja. Hatinya sedikit gelisah, tetapi ia tahu ini adalah saat yang tepat untuk berbicara. Kehamilan Amira adalah kabar yang membawa kebahagiaan, tetapi juga kekhawatiran yang cukup besar. Mereka berdua sudah mengetahui kehamilan ini, namun hingga kini mereka belum memeriksakan diri ke dokter.
Arif menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya memutuskan untuk memulai percakapan. "Amira," panggilnya dengan lembut, menarik perhatian Amira yang sedang sibuk.
Amira menoleh, menatap Arif dengan wajah yang sedikit bingung. "Ada apa, Mas Arif?"
Arif berdiri dari kursinya dan berjalan mendekat, wajahnya serius tetapi penuh perhatian. "Aku rasa sudah saatnya kita pergi ke dokter. Kita perlu memeriksakan kehamilan ini. Aku ingin kita memastikan semuanya baik-baik saja."
Amira terkejut mendengar itu. Meskipun mereka sudah tahu tentang kehamilannya, rasa khawatir masih menyelimuti dirinya. "Tapi... aku pikir semuanya baik-baik saja, Arif. Kenapa tiba-tiba kita harus ke dokter?"
Arif mengangguk pelan, berusaha menenangkan Amira. "Aku tahu, Amira. Tapi kita tidak tahu pasti sampai kita memeriksakannya. Kehamilan ini sangat penting, dan aku ingin kita memastikan semuanya berjalan lancar. Aku tidak ingin kita melewatkan apapun yang bisa mempengaruhi kesehatanmu atau bayi."
Amira menggigit bibirnya, merasa sedikit tertekan dengan keputusan ini. Namun, dia bisa melihat ketulusan di mata Arif, dan itu membuatnya merasa lebih tenang. "Tapi aku takut, Arif. Apa yang harus kita lakukan jika ada sesuatu yang tidak beres?"
Arif mengerutkan kening, kemudian duduk di sebelah Amira, menggenggam tangannya dengan lembut. "Apapun yang terjadi, kita akan menghadapinya bersama. Aku di sini untukmu, Amira. Kita akan jalani ini bersama-sama, dan apapun hasilnya, kita akan hadapi dengan kepala tegak."
Amira menatap tangan Arif yang menggenggamnya erat, merasa sedikit lebih tenang. Meskipun ketakutannya masih ada, dukungan Arif memberinya kekuatan. "Aku percaya padamu, Mas Arif. Oke, ayo kita pergi ke dokter."
Arif tersenyum, senang mendengar keputusan Amira. "Terima kasih, Amira. Aku janji, kita akan melalui ini bersama."
Mereka berdua berdiri dan bersiap-siap untuk pergi. Arif memastikan Amira merasa nyaman, lalu mereka berangkat ke klinik. Perjalanan menuju klinik terasa sedikit lebih tenang bagi Amira, meskipun masih ada kegelisahan di dalam hatinya. Arif di sampingnya membuatnya merasa lebih kuat, dan ia tahu, apapun hasil pemeriksaan nanti, mereka akan tetap bersama, menghadapi segala kemungkinan.
Sesampainya di klinik, mereka melangkah bersama menuju ruang pendaftaran. Amira merasa sedikit gugup, namun Arif selalu ada di sisinya, memberinya semangat. Ketika mereka dipanggil masuk ke ruang pemeriksaan, dokter yang menyambut mereka adalah seorang wanita paruh baya yang terlihat sangat ramah.
"Selamat pagi, Bu Amira," sapa dokter itu dengan senyum hangat. "Apa yang bisa saya bantu hari ini?"
Amira mengangguk pelan, sedikit ragu. "Dokter, saya baru mengetahui kalau saya hamil. Kami datang untuk memeriksakan keadaan saya dan janin."
Dokter itu mengangguk, memahami kekhawatiran yang ada. "Tentu, Amira. Kita akan lakukan pemeriksaan untuk memastikan kehamilan Anda berjalan dengan baik. Jangan khawatir, semuanya akan terpantau dengan baik."
Setelah beberapa pemeriksaan dilakukan, dokter memberikan hasil awal. "Kehamilan Anda terlihat sehat, Amira. Kami akan melakukan beberapa tes lanjutan untuk lebih memastikan, tetapi sejauh ini semuanya baik-baik saja."
Amira merasa lega mendengar kabar baik itu, dan Arif pun tersenyum lebar. "Terima kasih, dokter. Kami sangat mengapresiasi bantuan Anda."
Dokter itu tersenyum. "Jangan lupa untuk rutin melakukan pemeriksaan. Kehamilan adalah perjalanan yang indah, tapi memerlukan perhatian ekstra. Kami di sini untuk membantu."
Saat keluar dari ruang pemeriksaan, Amira merasa beban yang sempat mengganjal di hatinya terangkat. Ia merasa jauh lebih tenang, apalagi dengan kehadiran Arif yang selalu mendampinginya.
"Apa kamu baik-baik saja sekarang?" tanya Arif dengan lembut, menatap Amira.
Amira mengangguk dengan senyum kecil. "Iya, aku merasa jauh lebih baik. Terima kasih, Arif. Aku merasa lebih siap menghadapi semuanya."
Arif menggenggam tangan Amira dengan erat, matanya penuh dengan rasa sayang dan perhatian. "Kita masih punya banyak hal yang harus dilalui, Amira, tapi apapun itu, aku akan selalu ada di sini untukmu."
Dengan langkah yang lebih mantap, mereka berdua keluar dari klinik, siap untuk menjalani babak baru dalam kehidupan mereka, dengan lebih banyak harapan dan cinta yang mengisi setiap langkah mereka.
Setelah keluar dari klinik, Arif dan Amira berjalan menuju mobil dengan langkah yang lebih ringan. Kelegaan di wajah Amira tidak bisa disembunyikan. Semua kecemasan yang sempat menggelayuti pikirannya mulai menguap. Arif, yang berjalan di sampingnya, merasakan hal yang sama. Meski perjalanan mereka baru saja dimulai, ada rasa kebersamaan yang semakin kuat di antara mereka.
Arif membuka pintu mobil untuk Amira dan membantu menutupkan pintu setelah Amira masuk. Setelah itu, dia duduk di kursi pengemudi dan memulai perjalanan pulang. Suasana di dalam mobil kali ini terasa lebih nyaman, tanpa adanya ketegangan yang sebelumnya terasa begitu berat.
"Jadi, bagaimana menurutmu?" tanya Arif dengan suara lembut, memecah keheningan di mobil.
Amira menghela napas dalam-dalam, menatap jalanan di luar jendela mobil. "Aku merasa lebih tenang sekarang, Arif. Terima kasih sudah mengajak aku untuk memeriksakan diri. Rasanya seperti beban berat terangkat dari pundakku."
Arif tersenyum, matanya tetap fokus pada jalan. "Aku senang mendengarnya. Kehamilan ini adalah sesuatu yang besar, Amira. Aku ingin kamu merasa aman dan nyaman. Kita harus melalui ini bersama, apapun yang terjadi."
Amira menatap Arif dengan penuh rasa terima kasih. "Aku tahu, Arif. Aku merasa beruntung bisa memiliki kamu di sampingku. Keputusan kita untuk bersama, walaupun tidak seperti yang aku bayangkan sebelumnya, ternyata membawa banyak kebaikan."
Arif menoleh sejenak ke arah Amira, senyum hangat di wajahnya. "Kita berdua masih belajar, Amira. Dan yang terpenting, kita saling mendukung. Aku tak pernah menyesal memulai perjalanan ini bersama kamu."
Keheningan itu kembali muncul, tetapi kali ini terasa nyaman. Amira merasakan ketulusan dalam setiap kata Arif, dan hatinya merasa lebih dekat dengan pria itu. Meski perasaan mereka masih baru, ada kedalaman yang tidak bisa diabaikan, terutama ketika mereka menghadapi tantangan bersama.
Mereka langsung menjumput Maira ke sekolah nya karena Maira saat ini sudah pulang dari sekolah nya.
Sesampainya di rumah, mereka turun dari mobil dan berjalan menuju pintu rumah. Amira merasa kelelahan, tapi juga puas dengan langkah yang telah mereka ambil. Begitu masuk kerumah, Maira langsung bertanya pada Mama, dan Papa nya.
“Pa, Ma, kalian dari mana ? "
Kami dari klinik sayang, dan Maira akan segera memiliki adik. Kata Arif.