NovelToon NovelToon
Gerbang Tanah Basah: Garwo Padmi Dan Bisikan Malam Terlarang

Gerbang Tanah Basah: Garwo Padmi Dan Bisikan Malam Terlarang

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Poligami / Janda / Harem / Ibu Mertua Kejam / Tumbal
Popularitas:11.9k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

Di Era Kolonial, keinginan memiliki keturunan bagi keluarga ningrat bukan lagi sekadar harapan—melainkan tuntutan yang mencekik.
~
Ketika doa-doa tak kunjung dijawab dan pandangan sekitar berubah jadi tekanan tak kasat mata, Raden Ayu Sumi Prawiratama mengambil jalan yang tak seharusnya dibuka: sebuah perjanjian gelap yang menuntut lebih dari sekadar kesuburan.
~

Sementara itu, Martin Van der Spoel, kembali ke sendang setelah bertahun-tahun dibayangi mimpi-mimpi mengerikan, mencoba menggali rahasia keluarga dan dosa-dosa masa lalu yang menunggu untuk dipertanggungjawabkan.

~

Takdir mempertemukan Sumi dan Martin di tengah pergolakan batin masing-masing. Dua jiwa dari dunia berbeda yang tanpa sadar terikat oleh kutukan kuno yang sama.

~

Visual tokoh dan tempat bisa dilihat di ig/fb @hayisaaaroon. Dilarang menjiplak, mengambil sebagian scene ataupun membuatnya dalam bentuk tulisan lain ataupun video tanpa izin penulis. Jika melihat novel ini di

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keberanian Sumi

Ketukan mendesak di pintu luar menyelamatkan Sumi dari situasi yang semakin sulit. Mbah Joyo terdengar memanggil dengan suara yang lebih keras dari biasanya.

"Ndoro Mas! Ndoro Mas!"

Soedarsono menghela napas, keningnya berkerut mendengar panggilan mendadak itu. "Ada apa lagi?"

Pintu terbuka, dan Mbah Joyo muncul dengan napas terengah-engah. Di belakangnya berdiri seorang pria muda dengan pakaian abdi kadipaten, wajahnya tampak cemas.

"Ngampunten, Ndoro. Ada utusan dari kadipaten."

Abdi muda itu maju, membungkuk dalam-dalam dengan tangan membentuk sembah sebelum berbicara.

"Ampun, Ndoro Patih. Saya diperintahkan Ndoro Gusti Ayu untuk menyampaikan kabar bahwa Kanjeng Bupati semakin parah sakitnya. Beliau meminta Ndoro Patih segera datang ke kadipaten."

Wajah Soedarsono berubah cemas. "Seberapa parah?"

"Sangat parah, Ndoro. Tabib Tionghoa sudah dipanggil, begitu pula dokter Belanda dari rumah sakit kota. Tapi Kanjeng Bupati masih belum sadarkan diri sejak petang tadi."

Soedarsono mengangguk cepat. "Sampaikan pada Kanjeng Ibu bahwa saya akan segera datang." Setelah utusan itu pergi, ia berbalik pada Sumi yang berdiri dengan wajah cemas.

"Diajeng, siapkan pakaian untuk ke kadipaten. Kita akan menginap di sana malam ini."

Sumi mengangguk, diam-diam lega mendapatkan penyelamatan tak terduga ini. "Baik, Kangmas. Saya akan memberitahu Mbok Sinem untuk menyiapkan keperluan kita."

Dalam waktu kurang dari setengah jam, kereta kuda terbaik keluarga Prawirataman telah disiapkan.

Sumi duduk di samping Soedarsono dalam diam, hanya sesekali memperhatikan wajah suaminya yang tegang dalam cahaya temaram lampu kereta.

Pikiran Soedarsono jelas terfokus pada ayahnya, kecurigaan tentang Sumi dan Martin untuk sementara terlupakan.

Jalanan malam lengang, hanya sesekali berpapasan dengan pedati atau kereta lain. Bulan purnama menggantung di langit, memberikan penerangan bagi mereka yang melintasi jalan berbatu menuju kadipaten.

"Bagaimana kondisi Romo sebelumnya?" tanya Sumi, memecah keheningan.

"Sejak serangan jantung bulan lalu, kondisi Romo memang belum pulih benar," jawab Soedarsono, matanya menatap jauh ke depan. "Tapi Kangmas tidak menyangka akan memburuk secepat ini."

Sumi menyentuh tangan suaminya dengan lembut. "Semoga Kanjeng Bupati lekas sembuh."

Soedarsono hanya mengangguk, tidak mengatakan apa yang sebenarnya ia pikirkan—bahwa di usianya yang sudah menginjak tujuh puluh tahun, kesembuhan total ayahnya adalah hal yang sulit diharapkan.

Kadipaten mulai terlihat, kompleks bangunan besar bergaya campuran Jawa dan kolonial yang dikelilingi tembok tinggi.

Berbeda dari Dalem Prawirataman, kadipaten tampak jauh lebih megah dan luas, dengan pendopo yang mampu menampung ratusan orang.

Pintu gerbang utamanya dihiasi ukiran dan lambang keluarga bupati, dijaga oleh beberapa prajurit berpakaian tradisional.

Begitu kereta mereka memasuki halaman, tampak beberapa kereta lain telah terparkir di sana.

Lampu-lampu minyak menerangi pendopo dan bagian utama kadipaten, menandakan kegiatan tidak biasa di jam malam seperti ini.

Nyonya Besar Bupati, ibu Soedarsono, berdiri di pendopo dengan wajah cemas. Meski sudah berusia enam puluh tahun, Raden Ayu Utama Kusumawati masih tampak anggun dalam balutan kebaya beludru hitam dan kain batik tulis yang halus.

Rambutnya disanggul tinggi, dihiasi tusuk konde berlian yang menunjukkan statusnya sebagai istri utama bupati.

"Soedarsono, anakku," ucapnya begitu melihat putranya turun dari kereta. "Syukurlah kau segera datang. Romomu ... kondisinya semakin memburuk."

Soedarsono membungkuk hormat, mencium tangan ibunya. "Bagaimana Romo sekarang, Bu?"

"Masih belum sadarkan diri," jawab Kusumawati, suaranya bergetar. "Dokter Belanda memberikan obat, tapi belum ada perubahan."

Tatapannya beralih pada Sumi yang baru turun dari kereta, membungkuk hormat pada mertua perempuannya.

Tidak ada kehangatan dalam pandangan Kusumawati, hanya anggukan singkat sebagai pengakuan.

"Ah, kau juga datang," ucapnya dengan nada datar.

"Segeng dalu (Selamat malam), Ibu," sapa Sumi dengan hormat, mencoba mengabaikan dinginnya sambutan. "Bagaimana keadaan Romo?"

Kusumawati mengabaikannya, perhatiannya kembali pada Soedarsono.

"Dokter mengatakan kita harus bersiap untuk kemungkinan terburuk. Romomu sudah sepuh, dan serangan jantung kedua ini lebih parah dari yang pertama."

Soedarsono mengangguk, mencoba menerima kenyataan yang mungkin akan segera ia hadapi. "Saya ingin melihat Romo sekarang."

"Tentu, masuklah. Mbakyu-mbakyu juga sudah datang, mereka menunggu di dalam."

Saat Soedarsono bergegas masuk, Sumi hendak mengikutinya, namun tangan Kusumawati menghentikannya.

"Sebaiknya kau tunggu di kamar tamu saja," ucapnya dingin. "Ini waktu untuk keluarga."

Kata-kata itu menusuk Sumi lebih dalam dari yang ia perkirakan. Lima belas tahun menjadi istri Soedarsono, dan ia masih dianggap orang luar oleh mertuanya hanya karena belum memberikan keturunan.

Namun, sebagai perempuan Jawa yang dididik untuk selalu patuh, Sumi hanya mengangguk dan membungkuk hormat.

Cukup lama Sumi menunggu sampai akhirnya sang mertua datang menghampiri. Kusumawati menatapnya dengan tatapan tajam.

"Kata Darsono, kau menolak menjadi garwo ampil," ucap Kusumawati, matanya menyipit. "Kau memilih diceraikan?"

Sumi menelan ludah, merasa tercekik di bawah tatapan mertuanya. "Saya hanya—"

"Sungguh mengherankan," potong Kusumawati. "Setelah lima belas tahun tidak memberikan keturunan, kupikir kau setidaknya akan bersyukur masih dipertahankan sebagai istri. Tapi kau justru berani menolak menjadi garwo ampil?"

Sumi menundukkan wajahnya, tidak menjawab. Apa gunanya menjelaskan pada perempuan yang tidak pernah mencoba memahaminya?

"Kabar tentang putraku yang mandul juga sudah tersebar luas gara-gara kau," Kusumawati melanjutkan, suaranya pelan namun menusuk. "Kau tahu putri-putriku masih belum mendapat lamaran? Semua keluarga bupati enggan berbesan dengan keluarga yang dianggap mempunyai masalah dengan keturunan."

Sumi merasakan darahnya mulai mendidih. Selama bertahun-tahun ia telah menerima tuduhan ini dalam diam, tapi malam ini entah mengapa kesabarannya telah habis.

Mungkin pertemuannya dengan Martin, mungkin kata-kata pemuda itu tentang harga diri, atau mungkin karena ia sudah lelah menanggung kesalahan yang bukan miliknya.

"Maaf, Ibu," ucap Sumi, suaranya pelan namun tegas. "Mungkin ... memang belum jodohnya, atau mungkin mereka memang kurang cantik dan kalah bersaing dengan putri-putri bupati lain yang lebih menarik."

Wajah Kusumawati memerah mendengar kata-kata Sumi. Selama lima belas tahun, menantunya ini selalu diam menerima segala tuduhan dan kritik, tidak pernah melawan.

Tapi malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada ketegasan baru dalam suara Sumi, ada keberanian yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya.

"Beraninya kau mengatakan putri-putriku kurang cantik?" desis Kusumawati marah.

Entah keberanian dari mana, Sumi mengangkat wajahnya, menatap langsung mata mertuanya.

"Saya hanya mencoba menjelaskan kenyataan, Ibu. Kangmas Soedarsono memang tampan, wajahnya menurun dari Ibu yang cantik. Tapi putri-putri Ibu … memang tidak sama rupawannya dengan Kangmas."

Kusumawati tampak terkejut dengan perubahan sikap Sumi. Matanya menyipit curiga. "Ada apa denganmu? Kau tidak pernah berani bicara seperti ini sebelumnya."

"Saya hanya lelah," jawab Sumi jujur. "Lelah disalahkan atas hal-hal yang di luar kendali saya."

Seorang abdi perempuan tua menghampiri mereka dengan tergopoh-gopoh, membungkuk hormat pada Kusumawati.

"Ndoro Gusti, dokter Belanda, beliau meminta Ndoro masuk ke kamar Kanjeng Bupati."

Kusumawati menatap Sumi sekali lagi, tatapannya penuh ancaman. "Kita belum selesai bicara," ucapnya sebelum berbalik pergi.

Saat Kusumawati menghilang di balik pintu, Sumi menghela napas panjang. Rasanya seperti baru saja lolos dari sergapan harimau.

Ia duduk di kursi dekat jendela, mengamati halaman kadipaten yang diterangi cahaya lampu. Jauh di dalam hatinya, ada perasaan puas karena akhirnya berani berbicara, membela dirinya setelah bertahun-tahun diam.

Dari dalam kadipaten, terdengar suara-suara samar—langkah kaki tergesa, bisikan cemas, sesekali tangisan tertahan. Bupati tua itu sedang berjuang melawan maut, dikelilingi keluarga dan para tabib.

Sumi memejamkan mata, menyandarkan kepalanya ke jendela. Pikiran-pikiran berkecamuk dalam benaknya.

Jika Kanjeng Bupati meninggal, maka Soedarsono akan menggantikan posisinya sebagai bupati. Dan sebagai istri utama, ia seharusnya menjadi Raden Ayu Bupati, itu adalah impian para gadis Jawa.

Tapi jika ia diceraikan dan posisi istri utama diberikan pada Retnosari, maka semua kehormatan itu akan lenyap. Ia akan menjadi janda, tanpa status, tanpa kekuasaan, tanpa pengaruh.

Di sisi lain, ada Martin dengan tawaran yang sangat berbeda—kehidupan baru, jauh dari belenggu tradisi yang mengekangnya selama ini. Mungkinkah ia perlu mempertimbangkan tawaran itu? Untuk membuktikan bahwa dirinya bisa lebih baik tanpa keluarga Prawirataman.

1
Zia Zee
peh! sialan bener ni laki
neng Ai💗
Martin benar,gimana mau nurut kalau tak diceritakan seberapa besar bahayanya,lagian udh betah mau jadi mas jawa,ada Sumi/Bye-Bye//Shhh/
neng Ai💗
Aku juga mau dengar papa,misteri kelam apa yg membuatmu bungkam?/Shy/
Rani
penasaran nya tuh sama rahasia kelam di kedung wulan.karna apa.apakah terjadi sesuatu disitu.dan semua rahasia tentang kedung wulan dan hubungannya dengan keluarga Sumi dan Martin dan tentunya Ki Jayengrana..
nn.maria: mungkin ada perjanjian gaib yg blm usai antara keluarga vaander spool sm kel. sumi seperti cerita ratna maya smpe anak cucu nya jg terjerat perjanjian gaib
total 1 replies
Rani
ndanglah cerai.trus Sumi lekasan jadi biar bisa membuktikan Sumi tidak mandul.sing mandul itu yg lakinye.marai gemes aku karo mertuanya.. btw patih sama bupati tinggian mana ya thor pangkatnya pada saat itu
Rani: iya. lupa saya. karna fokus ke horornya.padahal udah disebutkan juga di novel sebelah.. 😅
Hayisa Aaroon: tinggian Bupati kalau di jaman kolonial. Jadi patih tuh dibawahnya Bupati, bantu kerja bupati. biasanya, Bupati dipilih dari bangsawan yang udah jadi patih bbrp tahun. jd paham kerjanya bupati.
total 2 replies
Lilih Malihatun
jatuh cinta memang berjuta rasanya
noofii
mana mau Tuan Martin berjauhan dengan belahan jiwanya hmm
noofii
pemikiran yang sangat saya dukung ndoro Sumi 🤭
Amelia Puji Rahayu
padahal bisa jadi Sudarsono yg bermasalah,istrinya 3 g ada yg hamil
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
ndesone ne mbok diarani Njogo dayoh
kui mangunthalan
😁
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
ndoro ayu belum yakin 100 %
konflik makin rumit bila
Martin terus mendekati ndoro ayu Sumi
tapi ya sama Martin aja wis
Raden Soedarsono lepasin saja
banyak istrii ,jarene tresno
ndoro kanjeng Raden ayu ndesak trs
sopo eruh seng mandull kui malah Soedarsono
Lilih Malihatun
duuhh berat bangey ya jadi sumi
ian
nyesek banget pas jadi bupati malah yang dampingi Retno...
gk apa2lah jadi janda kamu juga orang kaya,dan ada mas martin yang keyeng sama kamu
neng Ai💗
🤓👍🏻👍🏻
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
chemistry apa Raden ayu Sumi dgn Martin Van der spoel
ian
kereeen sumi😍
ian
loh mungkin iya,istri selain sumi juga gak hamil,mbok yo dipikir mak
Tati st🍒🍒🍒
tekadkan hati dan niatmu dulu,biar g salah langkah,..bertahan sakit,pergi sulit😄
🍵𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌 𝒋ᷟ𝒖ⷽ𝒐ᷟ𝒔ⷽ𝒔๎🦈
lahh trus piye yooo
🍵𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌 𝒋ᷟ𝒖ⷽ𝒐ᷟ𝒔ⷽ𝒔๎🦈: wokeeeee
Ai Emy Ningrum: yooo tinggal tunggu chapter berikut nya
total 2 replies
Eniik
nanti bulusnya minta tumbal gak? kalo iya saya request ibu mertua sumi yang jadi tumbal pertama 😂
Amelia Puji Rahayu: minta tumbal juga pilih2 kali kak,kalo Uda tua mungkin g masuk kriteria,alot soalnya nanti keseleo gigi bulusnya 🤣
Okta Anindita: setuju banget nget🤣tumbal kedua pariyem boleh?
total 4 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!