Tumbuh dewasa di bawah asuhan sebuah panti sosial, membuat Vanila berinisiatif untuk pergi keluar kota. Dengan bekal secarik kertas pengumuman lowongan kerja di salah satu usaha, yang bergerak di bidang cuci & gosok (Laundry).
Nahas, biaya di Kota yang cukup tinggi. Membuat Vanila mencari peruntungan di bidang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggika15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21 (Perkara mie)
“Pak, … bapak!”
Vanila melihat ayahnya pergi menjauh, sementara dirinya tak bisa bergerak karena pelukan seorang wanita yang begitu erat.
“Van?”
Edgar kira Vanila sedang memanggilnya, namun setelah di lihat lebih dekat mata perempuan itu masih tertutup rapat.
“Bapak!!”
Awalnya suara itu terdengar lirih, tapi lama kelamaan menjadi lebih kencang sampai kesadaran Edgar kembali sepenuhnya.
Ruangan masih terlihat gelap, bahkan Edgar tak dapat melihat petunjuk jarum jam ketika ia berusaha memeriksanya.
“Van kamu bangun atau mengigau?” Edgar bertanya sekedar untuk memastikan.
“Bapak aku ga mau, … bapak jangan pergi. Vanila ga mau disini bapak!” Vanila mulai terisak.
Kedua tangannya terangkat, kakinya bergerak sampai selimut yang menutupi tubuh mereka mulai terlepas.
Edgar mengulurkan tangan, menyalakan lampu tidur di sampingnya.
Keadaan Vanila semakin terlihat jelas, dia tertidur dalam keadaan menangis. Bahkan keningnya basah karena peluh terus bercucuran.
“Vanila ga mau disini, … Vanila mau bapak!”
Perempuan itu semakin terlihat gelisah.
“Vanila, Van!”
Edgar menepuk-nepuk pipi Vanila, dan itu berhasil membuatnya membuka mata.
Hening, keduanya saling menatap satu sama lain.
“Vanila?”
Vanila tidak langsung menjawab, dia menatap langit-langit kamar dengan dada yang tampak naik turun dengan cepat.
“Hey, Van!” Edgar kembali menepuk pipi Vanila.
Perempuan itu mengerjap, menoleh dan menatap Edgar. Sorot matanya berubah sayu, lalu tiba-tiba Vanila memeluk Edgar, kemudian menangis histeris.
Edgar mematung, dia tidak tahu harus apa karena Vanila orang pertama yang menangis kepada dirinya.
Hidup dalam bayang-bayang janji sang ayah, sepertinya membuat Vanila tersiksa. Dia selalu menunggu dalam jangka waktu yang tidak pasti.
Tidak ada kata dan keluh kesah, Vanila hanya menangis seolah ingin menumpahkan beban yang selama ini sudah ia pikul sendiri. Sementara Edgar, membiarkan Vanila sambil mengusap-usap punggungnya hingga perempuan itu tertidur kembali dengan sendirinya.
***
Paginya, ketika Vanila bangun dia mendapati dirinya hanya tertidur seorang diri. Entah sudah pergi sejak kapan pria yang memeluknya semalaman itu, tiba-tiba dia tidak ada saja.
Vanila bangkit, turun dari atas tempat tidur, merapikannya, kemudian pergi ke kamar mandi.
Saat Vanila keluar dari kamar, keadaan masih sepi. Tidak ada aktivitas dari Edgar, bisa dipastikan jika pria itu memilih untuk melanjutkan tidur di kamarnya.
Hal yang selalu Vanila lakukan adalah, membuka setiap gorden yang membentang menutupi kaca besar. Saat hendak membuka jendela, terlihat Irgi berdiri dan itu sontak membuat Vanila menjerit.
“Ini saya, Van!” Pekik Irgi.
“Iya tau.”
“Terus kenapa teriak? Kayak liat hantu aja.”
“Siapa yang ga kaget pas mau buka jendela tiba-tiba ada yang berdiri di luar!”
“Hadeuh dasar penakut, … dah ah buka pintunya cepet!”
Vanila menatap Irgi kesal, bahkan dia mendelik sebelum akhirnya melenggang ke dekat pintu untuk membuka kunci benda tersebut.
“Bos sama bawahan demen banget bikin orang jantungan. Tiba-tiba datang, tiba-tiba muncul. Ga bisa gitu koordinasi dulu?”
“Saya udah kirim pesan lho, Van. Sempet miskol juga tadi,” tutur Irgi.
Dan Vanila baru ingat, jika ponselnya ia simpan di kamar belakang.
“Mau anterin duit, ya?”
Vanila berjalan tepat di belakang Irgi.
“Dih, tau dari mana?”
“Orang pak Edgar udah kasih tahu semalam, … mana sini duitnya!” Todong Vanila seraya menadahkan tangan.
Irgi diam, memandang Vanila dengan satu alis dan bibir terangkat ke atas.
“Kamu tidak seperti Vanila yang saya kenal!”
“Mana!?”
Vanila menggerak-gerakkan jari tangannya.
“Ya ampun, Van. Kasih makan dulu kek, atau apa gitu jangan langsung nodong. Toh masih pagi, emang kamu mau berangkat sekarang?”
“Iyalah biar puas jalan-jalan dulu, udah itu belanja terus pulang.”
Irgi menatap Vanila malas, berdecak kesal seraya merogoh saku jaket dan mengeluarkan segepok uang yang cukup tebal.
“Kata pak Edgar, jangan berangkat sendiri.”
“Terus!?” Tanya Vanila sembari menggenggam uang itu.
“Sama saya, kamu kira?”
“Ya siapa tau pak Edgar yang mau antar langsung,” katanya.
“Ga mungkin, … jangan mimpi!”
Vanila mengedikkan kedua bahunya.
“Masakin mie, Van!”
“Ga ada mie disini,” sahut Vanila.
Namun, Vanila seketika terdiam saat melihat Irgi kembali mengeluarkan dua bungkus mie instan di dalam jaketnya.
“Saya beli dua, kamu satu saya satu.”
“Keren pak Irgi punya kantong doraemon. Barusan duit, sekarang mie!”
“Sekalian beli pas tarik uang ke atm,” Irgi berujar.
“Aku simpan duitnya dulu, baru masakin mie. Terserah pak Irgi mau tunggu di luar atau duduk di meja makan, … pak Edgar kayaknya belum bangun, santai aja.”
Vanila segera beranjak, berjalan ke arah kamarnya yang ada di area paling belakang. Sementara Irgi mendekati meja makan, dan memilih menunggu disana.
Tidak lama setelah menyimpan uang ke kamarnya, Vanila kembali dan segera menghidupkan kompor setelah lebih dulu menyimpan panci berisi air di atasnya.
Vanila sibuk dengan dua mie yang akan dia masak, sementara Irgi menunggu sambil bermain sosial media.
Melihat foto perempuan cantik satu-persatu sampai ia tidak menyadari keberadaan Edgar yang kini sudah berdiri di sampingnya.
“Ngapain kamu disini!?”
Dan saat menoleh, terlihat Edgar sedang menatapnya dengan ekspresi tak senang.
“Minta Vanila masakin mie, pak!” Irgi tersenyum canggung.
Dia memang orang kepercayaannya, tidak jarang juga Irgi memakai dapur hanya untuk memasak sesuatu saat mendesak, dan tidak pernah ada masalah.
Tapi sekarang, Edgar seperti tidak suka dengan keberadaannya disana.
“Kenapa harus Vanila?”
Edgar meraih ujung sandaran kayu kursi meja makan, menariknya sambil menatap panggung Vanila kemudian duduk.
“Eeee—”
“Jangan lancang, begitu-begitu juga dia istri saya. Sejak kapan kamu berani memerintah istri atasan kamu?”
Irgi melongo.
Namun, kedatangan Vanila dengan semangkuk mie miliknya seperti menjadi penyelamatan sehingga Irgi bisa cepat-cepat melarikan diri setelah berterima kasih dan meminta maaf.
Edgar masih terlihat tidak suka, bahkan sampai Vanila meletakkan segelas air putih di hadapannya, tatapan itu masih terasa menakutkan.
“Bapak mau sarapan apa? Biar sekalian.”
“Cih, sudah membuatkan orang lain sarapan lebih dulu baru bertanya.”
“Saya kira bapak masih tidur, … lagi pula pak Irgi datang ga cuma bawa mie sama minta sekalian masakin. Beliau bawa titipan bapak juga,” tutur Vanila.
Edgar mendelik.
“Sebagai ucapan terima kasih jadinya saya masakin mie.”
“Oh wow, dia bahkan hanya mengambilnya saja. Lantas kenapa kamu tidak mau berterima kasih kepada saya!”
Edgar tertawa dengan nada sedikit mengejek.
“Terima kasih pak Edgar.”
Pria itu langsung mengatupkan mulutnya.
“Mau saya buatkan sesuatu?”
Edgar tidak menjawab, melainkan meraih gelas air putih di hadapannya dan meneguk perlahan-lahan.
Melihat itu, Vanila membiarkannya lebih dulu. Dia kembali ke dapur dimana mie sudah siap dalam satu mangkuk, lengkap dengan telur, sayur dan irisan cabe rawit.
Dia membawanya ke meja makan.
“Siapa yang memberi izin makan mie, Van?”
“Ga harus minta izin, pak. Cuma mau makan aja ini lho!”
“Mie instan ga sehat, Vanila.”
“Minuman beralkohol juga ga sehat lho kok bapak minum?”
Jleb…
Edgar tak bisa menyanggah ucapan Vanila.
“Lagian udah aku tambahin telur, sayur juga. Sehat lah!”
“Dengar-dengar mie baru bisa di cerna 1-2 minggu.”
“Kata dokter, … usus kita ga sebodoh itu pak.”
“Bahaya, Van.”
“Bahaya banget pak, apalagi kalo di tambahin toping paku. Hih!” Vanila Meringis, pura-pura terlihat ngeri.
Edgar terdiam, tidak lama setelahnya terdengar hembusan nafas yang sangat panjang.
“Mana sini, saya mau coba mie buatan kamu!”
“Pak!” Vanila memekik saat Edgar merebut mangkuk mienya secara paksa.
Perempuan itu mencondongkan tubuh, berusaha meraih mangkuk mie nya lagi. Namun, tampaknya Vanila sangat kesulitan saat tangan kekar Edgar menahan pundaknya.
“Aaaaa mie akuuu!” Rengekan Vanila terdengar sangat manja.
Sehingga tanpa sadar, dia menyebut ‘aku’ saat menyebut dirinya sendiri.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jangan lupa vote, like komen😍😍