Di kehidupan sebelumnya, Emily begitu membenci Emy yang di adopsi untuk menggantikan dirinya yang hilang di usia 7 tahun, dia melakukan segala hal agar keluarganya kembali menyayanginya dan mengusir Emy.
Namun sayang sekali, tindakan jahatnya justru membuatnya makin di benci oleh keluarganya sampai akhirnya dia meninggal dalam kesakitan dan kesendiriannya..
"Jika saja aku di beri kesempatan untuk mengulang semuanya.. aku pasti akan mengalah.. aku janji.."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 22
Ruang tamu keluarga Hambert malam itu terasa berbeda. Tidak ada tawa, tidak ada obrolan ringan. Yang ada hanyalah keheningan berat bercampur aroma kopi pahit yang tak tersentuh di meja.
Di kursi utama, Tuan Gerson duduk dengan wajah suram. Di tangannya, ia memegang selembar surat resmi dari pihak museum.
Surat itu menyebutkan secara gamblang: vas abad ke-16 yang pecah tadi siang memiliki nilai tak kurang dari 120 miliar rupiah. Jumlah yang fantastis, bahkan untuk keluarga sekelas Hambert.
Emy duduk di samping ayahnya, wajahnya pucat pasi. “Ayah… aku sudah bilang, itu bukan salahku langsung. Yang menjatuhkan vas itu teman sekelas. Aku hanya kebetulan ada di dekatnya.”
Namun Tuan Gerson menatap putrinya tajam. “Kebetulan atau tidak, kalian satu kelompok. Dan pihak museum tidak peduli siapa yang menyenggol. Mereka hanya tahu itu pecah saat kalian ada di ruangan.”
Kali ini Ethan tak bisa mengusulkan apapun karna mau tak mau mereka harus membayarnya, jumlah uang yang harus di bayar permasing-masing individu tak bisa di katakan sedikit.
Ethan jadi memikirkan bagaimana Emily bisa membayarnya, terlebih karna dia sudah keluar dari rumah, pastinya sang ayah tidak mau membayar untuk 2 orang sekaligus.
“Kalau begitu… siapa yang akan membayar kerugian sebesar itu?” suara Tuan Edwart, sang CFO, terdengar berat. Ia baru saja datang setelah rapat panjang bersama investor.
“Hambert Grup sedang terguncang akibat kebocoran dana ratusan miliar. Sekarang kita dituntut membayar ganti rugi dalam jumlah yang bahkan lebih besar.”
Semua mata menoleh ke arah Ethan, pewaris muda yang sejak awal lebih sering diam. Ia menarik napas panjang. “Kalau kita tidak segera menyelesaikannya, nama baik keluarga dan perusahaan akan semakin hancur. Media pasti akan mencium ini. Cukup satu berita: ‘Salah satu anak dari keluarga Hambert pecahkan benda antik bernilai triliunan’ dan saham kita akan jatuh lebih parah.”
“Benar,” sambung Tuan Gerson dengan nada getir. “Kita tidak punya pilihan. Masalah ini harus diselesaikan diam-diam, secepat mungkin.”
Emy hampir menangis. “Ayah, aku… aku tidak bisa membayarnya. Jumlahnya terlalu besar.”
“Bukan soal bisa atau tidak bisa,” potong ayahnya dingin. “Kau harus bertanggung jawab. Kau juga berada di sana, nama kita tercatat dalam laporan kejadian. Mau tidak mau, keluargamu yang akan disalahkan.”
Emy menggigit bibirnya, marah sekaligus putus asa, “Aku bahkan tidak menyentuh apa pun, Aku berdiri jauh dari vas itu. Semua orang tahu yang menjatuhkan vas itu adalah salah satu dari kelas kami.”
Tuan Gerson menepuk meja, membuat Emy terdiam. “Cukup! Apapun yang kamu katakan tidak akan menyelesaikan masalah ini, yang kita butuhkan sekarang adalah solusi.”
Hening sejenak. Semua menunduk, masing-masing larut dalam pikirannya.
Tuan Edwart akhirnya angkat bicara, suaranya bergetar. “Kita bisa menjual sebagian aset perusahaan. Gedung lama, atau saham minoritas di cabang Singapura. Itu bisa menutupi sebagian kerugian.”
“Tapi itu berarti kita melemahkan posisi perusahaan,” sela Ethan cepat. “Investor akan tahu. Mereka akan mengendus bahwa ada masalah besar. Itu sama saja bunuh diri.”
“Kalau begitu apa usulmu?” tanya ayahnya, menatap putra sulungnya dengan tajam.
Ethan terdiam sejenak, lalu berkata lirih, “Kita butuh kerja sama… modal dari luar. Aku tahu ini berisiko, tapi Hilton Grup sudah lama ingin menjalin aliansi dengan kita. Jika kita setuju dengan syarat mereka, dana segar akan masuk, kita bisa menutup kerugian, sekaligus memperbaiki citra perusahaan.”
Suasana mendadak dingin. Nama Hilton Grup bukan asing. Perusahaan raksasa itu memang sudah beberapa kali menawarkan kerja sama, bahkan sempat menyinggung soal aliansi lewat pernikahan antara keluarga.
Tuan Gerson memijat pelipisnya. “Kau tahu apa yang kau katakan, Ethan? Hilton Grup tidak pernah menawarkan apa pun tanpa imbalan besar. Kalau kita menerima, mereka akan menguasai separuh lebih saham kita. Itu berarti… kita kehilangan kendali.”
“Tapi setidaknya Hambert Grup masih hidup,” balas Ethan cepat. “Daripada kita bangkrut dalam waktu enam bulan?”
Emy terperangah, lalu menoleh ke ayahnya. “Ayah, jangan bilang… jangan bilang kau akan mempertimbangkan tawaran itu. Itu gila! Masa depan kita akan dikendalikan orang lain!”
"Kalau begitu apa kamu punya usul lain Emy?," tanya sang ayah yang mulai menyetujui usul Ethan, setidaknya nama perusahaan mereka tidak akan hilang dari ranah dunia bisnis, Tuan Gerson tidak bisa membayangkan pekerjaan lain apa yang akan di kerjaannya bila perusahaannya bangkrut.
"Itu...." Emy tidak dapat memikirkan usul apapun, akhirnya sang ayah menganggukkan kepala pada Ethan dan berkata, "Hubungi pihak Hilton grup"
***
Sementara itu di sisi lain Emily sibuk dengan tawaran harga yang masuk ke akun Daisy yang dia buat untuk menjual lukisannya.
[Jual padaku, aku akan memberikan harga paling tinggi yang kau mau]
[Jangan, padaku saja, aku punya museum, jika kau menjual padaku, kapan saja kau maka aku akan memberikan tempat saat kau butuh untuk melakukan pameran lukismu]
Ada terlalu banyak bujukan yang di lontarkan pada calon pembelinya, itu membuatnya agak pusing, namun dia tidak bisa berlama-lama, beberapa lukisannya harus terjual agar dia bisa membayar ganti rugi vas yang salah satu temannya jatuhkan kemarin.
"Terserah sajalah, aku acak saja pembelinya"
Dengan santai Emily menutup mata lalu mengklik salah satu akun yang tertera di komentar pembeli, setelah itu dia mengirim pesan agar pembayaran di lakukan.
Begitu semuanya terjual, Emily membuka aplikasi mobil bankingnya yang tersisa penuh meski hanya sesaat karna dia akan segera membayarnya ke pihak kampus untuk nantinya di salurkan pada pihak museum tersebut.
"Huh.. aku baru saja mendapat uang yang bisa di pakai untuk membeli barang dan makanan enak, tapi ternyata tidak tersampaikan..... aaarrggghhhh...... harus melukis lagi!"
Emily berpindah, dia duduk di depan meja lukis, mengambil kuas dan cat lalu mulai berkreasi.
Sebenarnya dari antara semua lukisan yang ada, dia punya satu tekad untuk menyelesaikan lukisan sang ibu, sayangnya dia belum berani untuk menyentuhnya.
Kuas dan cat yang dia gunakan bukan kualitas yang sama dengan yang ibunya pakai untuk melukis, oleh sebab itu dia harus menampung agar bisa membelinya.
Bukan berarti kuas dan cat yang sekarang di pakainya jelek..
Ting..
Di tengah kesibukkannya, ada sebuah pesan masuk di ponselnya, dia meraih dan membacanya.
[Emily, bisakah kau pulang besok? Ada yang ingin ayah sampaikan padamu]
Itu adalah pesan dari Ethan, kali ini Emily merasa dejàvu, seolah ada sesuatu yang akan terjadi.
"Ahhh.... jangan bilang kalau kebangrutan mereka datang lebih cepat dari masa yang lalu"
Emily baru beberapa bulan meninggalkan rumah, seharusnya kebangkrutan itu terjadi 3 tahun setelah dia meninggalkan mereka.
"Sebenarnya apa sih alasan mereka memanggilku pulang dulu?"
Pikiran Emily menerka-nerka apa yang sebenarnya hendak mereka manfaatkan dari Emily sehingga di kehidupan sebelumnya mereka datang menjemputnya.