Terlambat menyatakan cinta. Itulah yang terjadi pada Fiona.
ketika cinta mulai terpatri di hati, untuk laki-laki yang selalu ditolaknya. Namun, ia harus menerima kenyataan saat tak bisa lagi menggapainya, melainkan hanya bisa menatapnya dari kejauhan telah bersanding dengan wanita lain.
Ternyata, melupakan lebih sulit daripada menumbuhkan perasaan. Ia harus berusaha keras untuk mengubur rasa yang terlanjur tumbuh.
Ketika ia mencoba membuka hati untuk laki-laki lain. Sebuah insiden justru membawanya masuk dalam kehidupan laki-laki yang ingin ia lupakan. Ia harus menyandang gelar istri kedua, sebatas menjadi rahim pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21. KAMU TIDAK SEDANG BERTANYA
"Sekarang ada masalah apa lagi?" tanya pak Hilman yang baru saja masuk ke ruangan Teddy, mendapati putranya itu nampak melamun.
Teddy terkesiap, ia segera berdiri menyambut sang papa. Menarik kursi dan mempersilahkannya duduk.
"Punya dua istri itu memang gak seenak yang dipikirkan, ya? Apalagi si istri muda lagi ngidam. Pasti kamu direpotkan meladeni segala keinginannya yang terkadang nyeleneh." Lelaki paruh baya itu menatap putranya sembari tersenyum mengejek.
Teddy hanya menanggapinya dengan senyuman tipis yang nampak dipaksakan. Ia ingin sekali merasakan itu semua. Memenuhi semua keinginan Fiona, bergegas pulang saat wanita itu membutuhkan sesuatu.Tapi itu semua sudah diambil alih oleh Agnes dan ia tidak pernah memiliki kesempatan hanya untuk berbicara dengan istri keduanya itu.
"Pa, ada sesuatu yang ingin aku ceritakan pada Papa." Teddy menatap sang papa dengan serius.
"Apa?" tanya pak Hilman.
"Sebenarnya, aku dan Fiona itu sudah lama saling mengenal," ujar Teddy.
Pak Hilman terdiam sejenak mencerna ucapan putranya, kemudian terkekeh pelan. "Ya wajarlah kamu sudah mengenal Fiona sejak lama. Dia itu kan kakaknya Aidan, teman sekaligus junior kamu. Cuma yang papa tidak menyangka, dari sekian banyak manusia di bumi ini. Kenapa harus kakaknya Aidan yang menjadi penyebab kecelakaan Agnes."
"Terkadang, aku merasa takdir sedang mempermainkan ku," lirih Teddy.
"Maksud kamu?" Pak Hilman menatap putranya dengan lekat.
"Fiona itu adalah perempuan yang selama ini aku cintai, tapi dia tidak pernah membalas perasaanku. Dia selalu saja menghindar setiap kali aku dekati, juga tidak menanggapi niat baikku. Hingga akhirnya aku pasrah dan menerima perjodohan yang Papa dan Mama aturkan untukku. Awalnya aku pikir aku sudah bisa melupakannya dengan kehadiran Agnes, tapi aku salah. Perasaan itu ternyata masih ada hingga detik ini."
Pak Hilman terdiam mendengar penuturan putranya, ia menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Jika saja dulu Teddy mengatakan sedang menyukai seseorang, mungkin ia bisa lebih sabar menunggu dan tidak terburu-buru mencarikan jodoh untuk putranya yang usianya sudah cukup matang untuk menikah.
"Jadi, ini alasan kenapa kamu tidak berusaha menolak saat Agnes meminta Fiona menjadi rahim penggantinya?"
Teddy hanya diam. Dan diamnya itu dijadikan sebagai jawaban oleh sang papa.
Sekali lagi, pak Hilman menarik nafas dalam-dalam menatap putranya. "Papa tidak menyalahkan perasaanmu terhadap Fiona. Tapi kamu juga harus ingat, kita sudah meminta Agnes secara baik-baik pada orang tuanya dan kamu setuju sejak awal tanpa ada penolakan sedikitpun. Jangan sampai terjadi perpecahan keluarga karena kamu tidak bisa bijak menghadapi masalah ini," ujarnya lalu beranjak dari tempat duduknya.
"Oh ya, sebelum pulang nanti, jemput Mamamu dulu. Katanya Mamamu mau bertemu menantunya," ucapnya lagi tanpa menyebutkan menantu mana yang dimaksudkan, kemudian keluar dari ruangan putranya itu.
Setelah pintu ruangannya tertutup kembali. Teddy meraih ponselnya di atas meja, membuka kontak dan mencari nomor Damar yang semalam ia salin dari ponsel Fiona lalu menghubunginya.
*****
"Ada apa memintaku ke sini?" tanya Damar setelah duduk di hadapan Teddy. Ia baru saja selesai meeting saat lelaki itu menelpon dan meminta bertemu di sebuah cafe.
"Silahkan, mau pesan apa?" Teddy mengalihkan pembicaraan sejenak sembari menyodorkan buku menu ke hadapan Damar.
Lelaki itu hanya melirik lembaran yang memuat berbagai menu mengunggah selera itu lalu kembali menatap Teddy. "Aku sudah makan siang bersama klien tadi," ujarnya.
"Oh." Teddy pun menarik kembali buku menu itu dan meletakkan disudut meja. Ia tampak menarik nafas dalam, ada sedikit perasaan gugup sebab bingung harus memulai obrolan dari mana.
"Aku mau tanya sesuatu," ucapnya kemudian.
Damar menatap lelaki di hadapannya itu dengan lekat. "Mau tanya apa?"
"Kenapa kamu masih mau menunggu Fiona? Maaf, aku tidak bermaksud apa-apa. Hanya saja, kita sudah sama-sama tahu akan seperti apa kedepannya. Fiona punya anak dengan laki-laki lain dan ... anak itu juga berhak tahu siapa Ibu kandungnya, karena tidak mungkin kita menutupi ini selamanya. Apakah dimasa depan kamu tidak akan merasa risih saat ada seorang anak yang memanggil istrimu dengan sebutan Mama sedang dia bukan darah dagingmu?"
Damar menarik sudut bibirnya mendengar pertanyaan yang terdengar konyol itu. "Aku rasa, kamu tidak sedang bertanya padaku. Melainkan sedang berusaha membujukku untuk berhenti menunggu Fiona."
"Bu-kan seperti itu ... kamu salah paham." Teddy sedikit gelagapan.
Damar terkekeh pelan pelan melihat reaksi lelaki itu. Tadinya ia hanya menerka-nerka, tapi respon Teddy meyakinkan dugaannya jika lelaki itu menyukai Fiona dan mungkin saja memiliki niat untuk tetap mempertahankan Fiona sebagai istri keduanya.
"Kamu tahu? Value seorang laki-laki bukan diukur dari good looking maupun uangnya, melainkan seberapa balance perkataan dan pembuktiannya, tanggung jawab dan teguh pendiriannya. Juga pola pikir untuk masa depan yang cerah, dan cukup dengan satu perempuan dalam hidupnya!" ucap Damar yang membuat Teddy seketika terdiam.
Lelaki yang memiliki dua orang istri itu bahkan menundukkan pandangan dan seolah tak berani menatap lawan bicaranya. Apa yang diucapkan Damar sama sekali tidak membuatnya merasa tersinggung, sebab ia memang memiliki pemikiran untuk tetap mempertahankan Fiona, bahkan sekarang ia sedang mencari waktu yang tepat untuk membicarakannya dengan Agnes.
"Saya rasa, tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Permisi," pamit Damar lalu segera pergi dari tempat itu.
Setelah cukup lama terdiam seorang diri, Teddy pun beranjak pergi dari cafe tersebut, dan langsung menjemput sang mama yang katanya ingin bertemu menantunya.
Wanita yang telah melahirkannya itu tersenyum menyambut kedatangannya.
"Akhirnya kamu datang juga, Mama udah dari tadi nungguin. Lihat, Mama buatkan Rendang kesukaan Agnes, dan sup ayam untuk Fiona. Ada rujak juga, biasanya kan Ibu hamil muda itu suka yang asam-asam," ucap bu Diah sembari menunjukkan makanan yang telah dimasaknya.
Teddy tersenyum melihat antusias sang mama untuk bertemu kedua menantunya. Tadinya ia pikir mamanya hanya ingin bertemu Agnes tapi ternyata Fiona juga, bahkan membuatkan makanan untuk keduanya.
"Kita berangkat sekarang?"
Bu Diah mengangguk. "Sebentar ya, Mama masukin ke wadah dulu." Wanita paruh baya itu dengan gesit mengambil rantang dan memindahkan makanan untuk kedua menantunya ke dalam rantang itu.
"Yuk, berangkat," ajaknya.
Teddy pun mengambil alih rantang tersebut dan menggandeng tangan sang mama menuju mobilnya. Sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman tipis, membayangkan andai saja Fiona tetap akan berada di sisinya setelah melahirkan bayinya. Mereka tetap bersama-sama mengurus anak itu. Tapi, itu hanyalah sebuah harapan yang tidak akan pernah bisa tercapai, sebab ada Damar yang senantiasa menunggu Fiona, dan Agnes yang tidak akan pernah mau berbagi suami. Dan satu hal lagi yang lebih tidak memungkinkan untuk mewujudkan harapannya adalah, Fiona tidak pernah menyukainya.
*******
Teddy said: Senangnya dalam hati kalau beristri dua. 😁
Damar said: Jangan mimpi! 😏
Agnes said: Aku tidak rela, Mas! 😠
Fiona said: 🙃🙃🙃... .
Reader said: 😡😡😡🔨🔨🔨🔪🔪🔪⚒️⚒️⚒️🪚🪚🪚🪓🪓🪓🪛🪛🪛✂️✂️✂️💉💉💉🔫🔫🔫
Author said: 😭😭😭 Yang baru mampir jangan lompat-lompat bacanya, retensi bisa anjlok!