Aurelia Nayla, tumbuh sebagai gadis lugu yang patuh pada satu-satunya keluarga yang ia miliki: Dario Estrallo. Pria yang dingin dan penuh perhitungan itu memintanya melakukan misi berbahaya—mendekati seorang dosen muda di universitas elit demi mencari sebuah harta rahasia.
Leonardo Venturi. Dosen baru, jenius, dingin, dan tak tersentuh. Tak ada yang tahu siapa dia sebenarnya, kecuali Dario—musuh lama keluarganya.
Yang tak diketahui Dario, kode untuk membuka brankas warisan sang raja mafia justru tersembunyi di tubuh Leo sendiri, dalam bentuk yang bahkan Leo belum ketahui.
Sementara Aurelia menjalankan misinya, Leo juga bergerak diam-diam. Ia tengah menyelidiki kematian misterius ayahnya, Alessandro Venturi, sang raja mafia besar. Dan satu-satunya jejak yang ia temukan, perlahan menuntunnya ke gadis itu.
Dalam labirin rahasia, warisan berdarah, dan kebohongan, keduanya terseret dalam permainan berbahaya.
Cinta mungkin tumbuh di antara mereka,
tapi tidak semua cinta bisa menyelamatka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tantangan tak terduga
Lia berjalan terburu-buru menuju asrama. Setiap langkah terasa berat, seolah beban di dadanya semakin menumpuk. Ia teringat kata-kata ayahnya yang selalu mengancam, dan tidak bisa menghindari perasaan cemas yang semakin menguasai dirinya. Ada banyak hal yang masih belum ia katakan, baik kepada ayahnya maupun kepada Leo. Semua perasaan itu bercampur aduk di dalam dirinya.
Saat memasuki kamar, Lia mencoba menenangkan dirinya dengan menarik napas dalam-dalam. Tapi, setiap kali ia berpikir tentang pertemuan dengan Leo, hatinya berdebar keras. Terlebih setelah kejadian di bar semalam, ia tidak tahu harus mengatakan apa atau bagaimana menghadapinya.
Namun ketakutannya ternyata bukan hanya sekadar perasaan. Tak lama kemudian, suara langkah kaki berat terdengar dari luar pintu asrama. Lia menoleh, dan sebelum ia sempat bereaksi, pintu asrama terbuka dengan keras. Dario muncul begitu saja, wajahnya dipenuhi amarah yang menyala. Lia terkejut dan mundur sedikit, namun tak sempat menghindar ketika Dario melangkah maju dengan cepat.
Tanpa peringatan, Dario mengangkat tangan dan menampar wajah Lia dengan keras. Suara tamparannya begitu keras hingga membuat Lia terhuyung ke belakang. Wajahnya terasa panas dan memerah, dan saat ia menyentuh pipinya, ia merasakan rasa sakit yang tajam. Darah mulai keluar dari bibirnya yang tergigit, sementara matanya terasa berkunang-kunang.
“Apa yang kau lakukan, Lia?” Dario berkata dengan suara serak, mengancam namun penuh amarah. "Kau gagal lagi."
Lia terdiam, hanya bisa menahan tangis yang mulai menggenang di matanya. Tanpa memberikan kesempatan untuk berbicara, Dario menoleh dan pergi begitu saja, meninggalkan Lia yang berdiri termangu di depan pintu. Langkah Dario yang cepat dan dingin seakan meninggalkan jejak yang sangat dalam di hati Lia. Kenapa semuanya terasa begitu kejam?
Dengan tangan yang gemetar, Lia menyentuh pipinya yang lebam. Ia merasa dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Dirobek oleh rasa sakit fisik dan emosional, Lia merasa terperangkap dalam permainan yang tidak pernah ia pilih. Apa yang harus ia lakukan? Mengapa setiap kegagalannya selalu dibayar dengan kekerasan seperti ini?
Lia menghela napas berat, mencoba mengusir semua perasaan itu. Meskipun wajahnya terasa nyeri, ia tetap bersikeras untuk pergi ke kelas. Tidak ada pilihan lain, ia harus melanjutkan hidupnya. Lagi pula, hari itu Leo tidak mengajar, jadi mungkin ini kesempatan untuk mengalihkan pikirannya.
Dengan langkah pelan, Lia pergi menuju gedung kampus. Meskipun terasa berat, ia berusaha menyembunyikan bekas tamparan di wajahnya, menutupi rasa sakitnya. Namun, takdir sepertinya tidak berpihak padanya. Di tengah perjalanan, Lia tanpa sengaja berpapasan dengan Leo.
Leo memandang Lia dengan tatapan tajam, dan dalam sekejap, ia bisa melihat bahwa ada yang tidak beres. Mata Leo menatap wajah Lia, dan ia melihat jelas bekas lebam yang tercetak di pipi Lia. Rasa prihatin langsung terpatri di wajahnya, namun ekspresi itu cepat digantikan oleh sesuatu yang lebih serius. Dia mendekat dan menggenggam lengan Lia dengan lembut, seolah-olah ingin memastikan bahwa Lia baik-baik saja.
"Aurelia," kata Leo dengan suara lembut, namun penuh perhatian. "Apa yang terjadi pada wajahmu?"
Lia yang terkejut oleh pertanyaan itu hanya bisa menunduk, menghindari tatapan Leo. "Tidak apa-apa," jawabnya terburu-buru, meski jelas terlihat bahwa ia berusaha menutupi rasa sakitnya.
Leo tetap tidak melepaskan genggaman tangannya. "Jangan bohong," katanya dengan nada yang lebih serius. "Aku tahu kamu terluka."
Lia mengangkat wajahnya perlahan, perasaan canggung dan bingung bercampur. "Ini hanya kejedot tembok," jawabnya cepat.
Tanpa banyak berkata-kata, Leo menariknya menuju ruangan kosong yang ada di dekat situ. Lia hanya bisa menurut, meskipun hatinya berdebar keras, bingung dengan reaksi Leo yang penuh perhatian namun tetap tegas.
Di dalam ruangan, Leo memeriksa wajah Lia dengan teliti. Tangannya yang besar terasa hangat saat ia mengusap perlahan di sekitar pipi Lia yang lebam. Lia menahan napas, canggung dengan kedekatan ini. Semua yang terjadi begitu cepat, dan ia merasa terperangkap antara rasa bingung dan ketakutan.
Leo menarik napas, lalu mengambil peralatan pertolongan pertama dari meja. Tanpa berkata apa-apa, ia mulai mengobati luka di wajah Lia dengan lembut. Setiap gerakannya sangat hati-hati, hampir seperti sebuah ritual yang dia kuasai. Lia hanya bisa diam, matanya mengikuti setiap gerakan Leo yang terfokus pada wajahnya.
Sekali lagi, tatapan mereka bertemu. Leo menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Ada rasa prihatin yang jelas terlihat di matanya, tetapi ada juga sesuatu yang lebih gelap yang tersembunyi di baliknya. Lia merasa hatinya berdegup lebih cepat, seolah ada yang tertahan di dalam dirinya.
Ditengah keheningan dan perasaan aneh yang Lia rasakan, ia seolah kembali teringat akan sesuatu. "Soal yang semalam, kenapa aku bisa tidak sadarkan diri setelah meminum air yang pelayan berikan? Padahal hanya beberapa teguk?" Lia akhirnya mengeluarkan pertanyaan, seolah mencoba mengalihkan perhatian dari situasi canggung ini. "Dan siapa yang memindahkan aku ke kamar?" pertanyaan itu meluncur begitu saja, meskipun dirinya sadar betul bahwa itu hanya pertanyaan kosong.
Lia melirik ke samping, mencoba menutupi rasa gugupnya dengan kalimat basa-basi. Ia merasa malu dan bingung, mencoba mencari jawaban untuk hal-hal yang seharusnya sudah jelas baginya.
Namun, Leo tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum samar, tapi senyumnya itu berbeda. Senyum itu tidak ceria seperti biasanya, lebih seperti senyum yang penuh rahasia, yang membuat Lia semakin tidak mengerti.
Leo tetap melanjutkan pekerjaannya dengan tenang, mengobati luka Lia, tanpa terburu-buru memberikan jawaban atas pertanyaannya. Wajahnya kembali serius, tetapi senyumnya yang samar tetap ada, menyiratkan sesuatu yang lebih dalam yang tidak bisa Lia pahami.
Lia merasa semakin bingung. Tatapan Leo, sikapnya yang penuh perhatian, namun di sisi lain juga terlihat ada sesuatu yang tersembunyi. Lia tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Leo, atau apa yang harus ia lakukan untuk meresponsnya. Semua yang terjadi begitu cepat, dan Lia merasa dirinya terperangkap dalam dunia yang semakin membingungkan.
Tanpa berkata banyak, Leo akhirnya meletakkan peralatan pertolongan pertama di meja dan berdiri dari kursi. "Kamu harus beristirahat," katanya dengan suara yang lebih lembut, meskipun ada ketegasan yang sulit diabaikan. "Tapi jangan lupakan ini, Lia. Jangan biarkan dirimu dihancurkan oleh apa pun."
Lia hanya bisa menatap Leo dengan tatapan kosong, merasa bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Tatapannya mengikuti setiap langkah Leo yang meninggalkan ruangan. Tetapi dalam hatinya, ada satu pertanyaan yang terus berputar.
Apa yang sebenarnya Leo inginkan darinya?
Apa yang ia sembunyikan?
Satu hal yang pasti, Lia tidak bisa menghindari permainan ini. Dan entah kenapa, ia merasa seperti sedang berjalan di jalan yang tak bisa kembali.