Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.
Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.
Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saga 18: Kebangkitan yang Sunyi
Kabut tipis menggantung di lereng gunung, melilit pondok kayu tua yang seolah terbuat dari napas waktu. Dalam keheningan itu, hanya suara angin yang mengusap jendela bambu dan denting samar cairan di labu arak yang tergantung di tiang.
Seminggu telah berlalu sejak tubuh muda itu dibaringkan di ranjang sederhana. Namun setiap hari yang lewat bukan membawa ketenangan, melainkan keanehan yang tak dapat dijelaskan oleh akal para kultivator biasa.
Tubuh Liang Chen, yang dulu hancur seperti bejana retak, kini perlahan menutup lukanya. Bekas sayatan di dada, yang semestinya tak mungkin disembuhkan tanpa ramuan spiritual langka, kini telah tertutup kulit baru yang berwarna merah samar, warna yang bukan milik manusia, bukan pula tanda kesehatan.
Warisan Asura bekerja diam-diam di dalam tubuhnya, menyalurkan energi yang tak berasal dari langit, melainkan dari bayangan.
Guru Kui Xing duduk di depan ranjang, menatap anak itu tanpa bicara. Matanya yang tajam seperti kilat dalam malam tampak menilai sesuatu yang tak terlihat. Ia mengangkat labu arak, meneguk sedikit, lalu menghembuskan napas panjang.
Arak itu bukan sekadar minuman baginya; itu adalah media, wadah bagi kekuatan eksentrik yang digunakannya untuk menenangkan energi pembantaian dalam tubuh Liang Chen. Ia bukan menyembuhkan, melainkan menipu racun agar tidur.
Udara pondok itu membawa aroma pahit yang aneh. Di atas meja bambu, beberapa mangkuk kecil berisi ramuan berwarna kelabu gelap mengepul pelan. Campuran akar gunung, darah ular langit, dan tetes arak tua mengeluarkan bau yang menusuk.
Siapa pun yang melihat dari luar akan mengira ini ritual pemanggilan arwah, bukan penyembuhan.
Liang Chen berbaring diam. Hanya napas pelan yang naik-turun di dadanya membuktikan bahwa kehidupan masih bersemayam di tubuh itu. Namun, di bawah kulitnya yang tenang, badai sedang berputar.
Energi Pembantaian, liar, panas, dan penuh dendam, mengalir perlahan di meridian yang telah dibuka secara paksa oleh trauma. Setiap denyut darah membawa jejak api yang tak padam.
Sesekali, tubuhnya kejang kecil, seolah ada sesuatu di dalam dirinya yang berusaha keluar. Setiap kali itu terjadi, Guru Kui Xing hanya mengetuk mangkuk di hadapannya tiga kali dengan jari telunjuk.
Suara itu, nyaris seperti mantra, menenangkan udara di sekitarnya. Aura merah samar yang sempat menyelimuti tubuh Liang Chen mereda, kembali mengendap di dalam daging dan tulangnya.
"Pemulihan yang menolak kedamaian," gumam Guru Kui Xing lirih, suaranya seperti gema di dalam gua kosong. "Tubuh ini pulih karena darah, bukan cahaya. Kau menyerap penderitaan sebagai obatmu, anak muda."
Ia berdiri perlahan, jubahnya yang kusam menyentuh lantai bambu. Setiap langkahnya membuat udara di sekitarnya bergetar lembut, menandakan kekuatan yang terpendam.
Ia menatap keluar jendela, ke arah kabut yang menutupi lembah, lalu menatap kembali anak di hadapannya. Liang Chen tampak tidur, tapi wajahnya tak seperti wajah yang beristirahat. Alisnya berkerut, bibirnya menggigil, seolah mimpi buruk terus mengunjungi.
Di luar pondok, seekor burung gagak menjerit panjang, lalu sunyi lagi. Guru Kui Xing menutup matanya sejenak, mendengarkan dunia yang bahkan anginnya enggan bersuara.
Ia tahu keseimbangan ini rapuh. Energi Asura di dalam tubuh pemuda itu tidak menghilang, hanya menunggu alasan untuk bangkit. Dan alasan itu, ia tahu, telah lama tertanam: kehilangan, amarah, dendam yang tak bisa mati.
Ketika matahari pagi menembus kabut dan mengenai wajah Liang Chen, kulit anak itu berkilau halus seperti logam. Bukan kilau kehidupan, tetapi pantulan dari sesuatu yang lebih tua dan lebih gelap dari dunia fana.
Guru Kui Xing meneguk araknya sekali lagi. “Api yang tidak berasal dari langit,” katanya perlahan, “akan selalu menuntut korban.”
Pagi ketujuh sejak badai darah itu berlalu tiba dengan cahaya suram. Matahari terbit di balik kabut tebal, memantulkan warna abu pada seluruh pegunungan.
Udara di pondok terasa berat, seolah setiap molekulnya menyimpan sesuatu yang belum terselesaikan. Di sudut ruangan, asap tipis dari dupa herbal melingkar pelan, membentuk bayangan wajah samar di udara, lalu lenyap.
Guru Kui Xing duduk di kursi bambu dekat ranjang, kepala bersandar di tangannya. Labu arak di sampingnya telah hampir kosong. Ia tidak meminum arak untuk mabuk; ia meminumnya untuk berpikir.
Aroma arak itu menjadi pengikat antara dirinya dan kesunyian yang ia ciptakan. Ia memandangi Liang Chen, tubuh muda yang kini bergerak pelan di bawah selimut lusuh.
Gerakan pertama itu begitu kecil, hampir tak terlihat: jari tangan kanan Liang Chen bergetar. Seolah seekor serangga yang baru keluar dari kepompong, tubuhnya mencari bentuk yang tepat di dunia ini.
Lalu, alisnya berkerut, bukan karena sakit, melainkan karena rasa yang datang dari jauh: dingin yang menembus tulang, dingin dari kehilangan yang tak terucap.
Dalam keheningan itu, sesuatu di dalam dirinya mulai bangun. Ia tidak sadar sepenuhnya, tapi pikirannya mengapung di antara dua dunia. Dalam kesadarannya yang setengah mati, ia melihat cahaya merah berdenyut di balik kelopak mata.
Cahaya itu adalah api yang menari di atas genangan darah. Ia mendengar suara langkah kaki di antara api itu, langkah-langkah yang familiar, kemudian hilang ditelan suara raungan yang mengguncang jiwanya.
Suara Asura tidak muncul kali ini. Yang muncul hanyalah gema duka yang panjang, seperti ratapan yang tak berujung.
Liang Chen berjalan di antara kenangan yang terbakar. Ia melihat bayangan ayahnya, berdiri di depan rumah yang sudah menjadi abu, tersenyum sebelum lenyap ditiup angin.
Ia melihat ibunya memanggil namanya dari antara puing, lalu terdiam, tenggelam dalam api merah.
Dunia dalam pikirannya retak, dan dari celah retakan itu mengalir sesuatu yang hangat.
Bukan cahaya, bukan air, tapi dendam, murni dan padat seperti logam cair. Itu bukan kemarahan liar seperti dahulu; ini adalah keheningan yang lebih menakutkan, ketenangan yang mengandung niat untuk membalas.
Dalam pondok, Guru Kui Xing membuka matanya perlahan. Ia merasakan perubahan halus di udara. Aura Pembantaian yang selama ini ia tekan kini mulai bergerak, tapi bukan dalam bentuk kekacauan. Energi itu mengalir lembut seperti aliran sungai, menyesuaikan diri dengan detak jantung Liang Chen.
“Dia mulai menerima,” bisiknya pelan. “Tapi apa yang ia terima bukan kedamaian.”
Liang Chen menggerakkan bibirnya, meski tidak ada suara yang keluar. Guru Kui Xing tahu, dalam kedalaman koma, anak itu sedang berbicara dengan sesuatu yang hanya bisa ia dengar sendiri. Ia bangkit, menatap wajah muda itu, wajah yang masih dibayangi kesedihan, tapi kini mulai menunjukkan ketegasan samar di garis rahang dan keningnya.
“Bangkitlah, tapi jangan terbakar,” ucap Guru Kui Xing lirih, seolah berbicara kepada jiwa yang sedang berjuang di antara dua dunia. Ia meletakkan labu araknya di atas meja, lalu berjalan mendekati ranjang.
Di bawah sentuhan halus telapak tangannya, energi spiritual keluar perlahan dari jari-jarinya. Tidak seperti energi para kultivator ortodoks yang terang dan lembut, energi milik Guru Kui Xing terasa berat dan tua, seperti sungai purba yang mengalir di dalam tanah.
Ia menekan titik di dada Liang Chen dengan satu jari. Seketika, napas Liang Chen tertahan, dan mata tertutupnya bergetar keras.
Dari sela kelopak matanya, cahaya merah samar muncul, berputar perlahan seperti pusaran darah di air jernih. Satu detik, dua detik, lalu hilang lagi. Liang Chen tetap diam. Tapi dalam diam itu, Guru Kui Xing melihat sesuatu: kehendak untuk hidup, tidak lagi berasal dari cinta, tetapi dari sesuatu yang lebih kelam, tekad yang tumbuh dari luka.
Guru Kui Xing menatapnya lama, sebelum menghela napas berat. “Kau bangun bukan untuk hidup,” katanya perlahan. “Kau bangun karena dendam.”
Ia menatap api kecil di tungku yang hampir padam. “Api itu akan menghangatkan darahmu, tapi juga membakar jiwamu kalau kau biarkan tumbuh liar.”
Ia tidak tahu apakah Liang Chen mendengarnya. Tapi entah bagaimana, wajah anak itu menjadi lebih tenang. Aura merah yang tadi sempat berkedip kini mereda, tenggelam lagi ke dalam daging dan tulang. Di luar pondok, kabut mulai menipis, tapi udara masih pekat, seperti dunia yang menahan napas.
Guru Kui Xing meneguk araknya lagi. “Baiklah,” gumamnya, “kalau kau ingin berjalan di antara api dan arang, aku akan ajarkan caranya agar tidak terbakar.”
Cahaya senja merayap perlahan ke dalam pondok, menembus sela jerami atap yang kasar. Titik-titik debu menari di udara, berkilau samar diterpa sinar terakhir hari itu. Keheningan meresap dalam, hanya sesekali dipecah oleh bunyi tetesan air dari gentong bambu di sudut ruangan. Di ranjang kayu sederhana, Liang Chen perlahan membuka matanya.
Sekilas cahaya merah sempat melintas di pupilnya, namun segera padam, tergantikan warna gelap yang muram. Pandangannya kabur, seolah dunia masih berada di balik tirai air.
Napasnya berat, seperti setiap tarikan udara adalah pertempuran melawan sesuatu yang tak kasat mata. Ia menatap langit-langit jerami itu lama, membiarkan pikirannya mencari bentuk, mencari arah, tapi yang datang hanya kehampaan.
Kehangatan tidak ada. Suara tidak ada. Hanya detak jantungnya sendiri, lambat dan berat, menggema di telinga seperti dentang gendang perang yang jauh.
Lalu perlahan, sesuatu menembus lapisan kabut di pikirannya. Sebuah bau. Arak. Kuat dan menyengat, tapi anehnya membawa sedikit ketenangan.
Di balik aroma itu ada hal lain: wangi herbal pahit yang samar, seperti bekas ramuan yang direbus terlalu lama. Ia menatap ke samping. Di atas meja kecil di dekat ranjang, sebuah labu besar tergeletak miring, masih setengah penuh.
Labu itu tampak sederhana, tetapi dari permukaannya yang kusam menguar hawa spiritual yang lembut, berbeda dari aura liar yang pernah ia rasakan.
Di bawahnya, api kecil masih menyala di tungku. Cahayanya memantulkan bayangan seseorang di dinding pondok: sosok tua dengan rambut acak dan jubah lusuh, duduk bersila sambil menatap ke luar jendela.
Liang Chen berusaha berbicara, tapi tenggorokannya terasa seperti terbakar pasir. Hanya suara napas parau yang keluar. Ia menutup matanya sesaat, mencoba mengingat sesuatu, wajah, nama, suara.
Tapi ingatan itu datang seperti pecahan kaca: potongan darah di tanah, suara teriakan yang patah, dan tangan ibunya yang terakhir kali menyentuh pipinya.
Dadanya terasa sesak. Bukan karena luka fisik, tapi karena kehampaan yang menyelimuti batinnya. Dunia yang ia kenal telah lenyap, digantikan sunyi yang menakutkan. Ia ingin menjerit, namun yang keluar hanyalah air mata. Air mata yang jatuh tanpa suara, meresap ke bantal usang di bawah kepalanya.
“Sudah bangun?”
Suara itu rendah, serak, tapi dalam. Liang Chen menoleh pelan. Sosok tua itu masih menatap keluar, tak menoleh padanya. Hanya labu arak yang terangkat, dan uap hangatnya memenuhi udara.
Liang Chen membuka mulutnya, suaranya pecah, serak dan kering. “Siapa… kau?”
Guru Kui Xing meneguk araknya, lalu tertawa pendek. “Pertanyaan yang bagus.” Ia menurunkan labu itu, akhirnya menatap Liang Chen. Mata tua itu tajam seperti bilah pedang yang disimpan terlalu lama, tidak berkilau, tapi memotong udara hanya dengan pandangan.
“Kau tak perlu tahu siapa aku sekarang,” katanya tenang. “Yang penting adalah, kau masih hidup.”
Liang Chen menatapnya lama. Kata itu,hidup, menggema di pikirannya, tapi terasa kosong. Ia ingin menjawab, tapi hanya diam.
Guru Kui Xing melanjutkan, “Tubuhmu mestinya sudah mati tujuh kali. Tapi sesuatu di dalam dirimu menolak mati. Energi yang tidak mengikuti hukum langit.” Ia berdiri, langkahnya ringan, lalu berdiri di sisi ranjang.
“Sesuatu di dalamku…” Liang Chen berbisik, memandang tangannya yang gemetar. Kulitnya tampak normal, tapi di bawahnya ia bisa merasakan denyutan aneh—hangat, tapi penuh tekanan. “Apa itu?”
“Warisan.”
Suara Guru Kui Xing datar, tapi berat. “Keturunan kekuatan yang seharusnya tidak ada lagi di dunia ini. Jalan Asura.”
Liang Chen menatapnya, mata yang masih redup memantulkan ketakutan dan kebingungan. Guru Kui Xing menatap balik, tanpa emosi, lalu mengangkat tangannya. Ia menunjuk dada Liang Chen.
“Di sana. Itu tempatnya bersemayam. Luka yang hampir membunuhmu kini menjadi pintu bagi sesuatu yang lebih tua dari sekte mana pun yang ada di benua ini.”
Liang Chen tak menjawab. Ia hanya merasakan denyut di dadanya semakin kuat. Di balik kulitnya, seolah ada sesuatu yang berputar, seperti pusaran darah yang tenang tapi berbahaya.
“Kau seharusnya sudah mati,” lanjut Guru Kui Xing, “tapi Warisan itu menolak. Ia menggunakan amarahmu untuk menenun hidup baru di dalam tulangmu. Kau bukan hanya bertahan, kau dilahirkan ulang oleh kemarahanmu sendiri.”
Guru Kui Xing berbalik, mengambil kursinya lagi. “Tapi ingat ini, anak muda. Kekuatan seperti itu tidak gratis. Ia akan menuntut harga, dan harga itu adalah dirimu sendiri.”
Suara itu tenang, tapi setiap kata terasa seperti batu yang dilemparkan ke permukaan air tenang. Liang Chen menatapnya lama, napasnya gemetar. “Apa yang harus kulakukan…?”
Guru Kui Xing menatapnya. Senyum kecil muncul di wajah tuanya, bukan senyum kebahagiaan, melainkan kelelahan. “Untuk sekarang, bernapaslah. Lihatlah dunia. Rasakan bahwa kau masih ada di dalamnya. Karena jika kau kehilangan rasa itu, maka kekuatan di dalam tubuhmu akan menjadi tuan atas dirimu.”
Ia bangkit lagi, berjalan perlahan ke jendela. Angin senja bertiup, membawa aroma lembah dan sisa hujan. “Amarah bisa menjadi api, tapi juga bisa menjadi pedang,” katanya sambil menatap jauh ke
gunung di timur.
“Api akan membakar segalanya. Tapi pedang…” ia berhenti sebentar, meneguk araknya sekali lagi, “pedang akan memilih siapa yang layak untuk dipotong.”
Liang Chen tidak menjawab. Pandangannya tertuju pada langit di luar jendela, yang kini memerah lembut. Dalam kehangatan cahaya itu, ia merasa sesuatu berdenyut dalam jiwanya, sebuah tekad yang belum punya bentuk.
Guru Kui Xing menaruh labu araknya di meja dan berbalik.
“Tidurlah lagi. Besok, jika tubuhmu masih bertahan, aku akan bicara tentang jalan yang menunggu di depanmu.”
Liang Chen menatapnya sekali lagi, ingin bertanya banyak hal, tapi bibirnya hanya bergerak sedikit. “Kenapa… kau menolongku?”
Guru Kui Xing menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis. “Karena aku sudah terlalu tua untuk membiarkan dunia ini mengulang kesalahannya.”
Ia berjalan keluar pondok, meninggalkan Liang Chen dalam keheningan. Di luar, angin malam bertiup, membawa bau arak yang samar dan gema suara burung malam dari lembah jauh.
Liang Chen menatap ke langit-langit jerami. Untuk pertama kalinya, ia merasakan denyut hidup yang nyata di dadanya. Tapi di balik denyut itu, sesuatu bergetar, dendam yang lembut, yang tidak lagi meledak, tapi membara tenang, menunggu saatnya untuk menyala.
Malam turun. Pondok tenggelam dalam gelap. Hanya seberkas cahaya merah samar di dada Liang Chen yang terus berdenyut pelan, seperti jantung kedua yang terbuat dari api.
Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.
Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.
Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.