Ariana harus menerima pukulan terberat dalam hidupnya, ketika suaminya ketahuan selingkuh dengan adiknya. Siapa yang mengira, berkas yang tertinggal suatu pagi membawa Ariana menemukan kejam suatu perselingkuhan itu.
Berbekal sakit hati yang dalam, Ariana memutuskan untuk pergi dari rumah. Namun dibalik itu, dia secara diam-diam mengurus perceraian dan merencanakan balas dendam.
Apakah Ariana berhasil menjalankan misi balas dendamny??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ristha Aristha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AKU UDAH GAK PENGANGGURAN LAGI
Jika dihitung, sudah tiga bulan sejak aku sengaja memutus hubungan dengan keluarga Papa. Berarti semenjak itu juga, aku tidak pernah mendengar kabar tentang mereka. Bagaimana kondisi manusia-manusia itu sekarang, ya?
Ya, mana aku peduli. Hidupku terlalu singkat , jadi tidak ada gunanya memikirkan mereka yang sama sekali pernah perhatian padaku sejak dulu. Kecuali, Papa mungkin? Meski membuat luka, tapi aku berharap Papa baik-baik saja.
Sekarang daripada terus menoleh kebelakang, lebih baik aku fokus pada apa yang aku jalani saat ini. Seperti musim badai sudah selesai, aku mulai menemukan keberuntungan-keberuntungan yang sempat hilang.
Yap! Aku sudah kembali menemukan pekerjaan. Risna yang kalian kenal, sekarang bukan lagi seorang pengangguran.
Kuhela napas dalam-dalam, mengusir rasa gugup yang merayapi perutku. Di cermin, aku melihat pantulan diriku dalam pakaian semi formal yang kupilih dengan hati-hati. Blazer abu-abu yang pas dibadan, dipadukan dengan blus putih bersih dan celana panjang hitam yang rapi. Setiap detail di pertimbangkan, mulai dari potongan rambut yang tertata rapi, hingga riasan wajah yang natural namun tetap memberi kesan profesional.
Sepatu hak rendah yang nyaman namun elegan melengkapi penampilanku. Aku berputar sekali lagi, memeriksa setiap sudut, memastikan tidak ada yang kurang. Setiap lipatan pakaian harus terlihat sempurna, setiap aksesoris harus tepat pada tempatnya. Aku tidak bisa membiarkan diriku terlihat sembarangan di hari pertama ini.
Sebuah senyum tipis menghiasi wajahku. "Ini udah cakep belum, ya?" Gumamku lagi, sedikit lebih percaya diri. Bayangan di cermin nampak mantap dan siap menghadapi perusahaan serta setumpuk pekerjaan baru.
"Kayaknya udah cukup", putusku sambil merapikan blazer sekali lagi. Aku tahu penampilan yang baik bisa memberikan kesan pertama yang positif. Dan itu adalah langkah kecil tapi penting untuk memulai karir sebagai seorang editor di perusahaan sebesar Fujiko.
Ya, akhirnya aku melamar pekerjaan yang Kenzi bilang waktu itu. Entah karena aku beruntung atau aku kompeten, aku langsung di terima satu Minggu setelah tes pertama.
Ketika dirasa sudah mendekati sempurna, aku memutuskan untuk berangkat. Tidak lucu jika terlambat. Pokonya aku harus memberikan kesan pertama yang terbaik.
"Oh, udah mau berangkat?"
Aku menoleh, itu Kenzi. Dilihat dari celana training dan kening yang basah karena keringat, aku tebak dia baru selesai olahraga. "Ya. Kamu habis joging?"
Kenzi mengangguk. "Iya", ucapnya singkat, tapi tatapannya.... memandangiku lekat-lekat.
"Gimana menurutmu?" Aku memutar badan kesamping sedikit, menunjukkan penampilan sebelum berangkat kerja. "Apa menurutmu ini udah, oke?"
"Cantik __" Kenzi tiba-tiba mendelik. "Maksudku udah oke. Kamu udah kayak pegawai kantoran, Riana".
"Dih ..., aku kan emang pegawai kantoran sekarang", timpalku setengah becanda. "Btw, aku deg-degan banget tapi juga excited. Nggak nyangka aku bisa di terima di penerbit terbesar di Fujiko. Pasti banyak penulis-penulis besar disana. Aku nggak sabar banget ".
Aku mengatakan itu dengan penuh semangat. Sampai aku tidak sadar, jika Kenzi sudah terkekeh disana. Apa ada yang lucu?
Keningku mengkerut. "Kamu ngetawain apa?" Tanyaku tidak terima.
Namun Kenzi justru menggeleng, senyumnya terlihat semakin melebar. "Aku cuma lagi ragu, bener gak sih kamu lebih tua dariku?"
Aku semakin mengernyit. Yang Kenzi katakan tadi itu adalah sebuah pujian atau ejekan karena aku bertingkah sangat semangat tadi, dia pasti melihatku seperti anak-anak. Apapun itu, aku akan membiarkannya karena suasana hatiku yang sedang senang.
"Kamu masuk siang hari ini?" Tanyaku lagi, mengalihkan topik pembicaraan.
Kenzi mengiyakan. "Aku tinggal mengurus beberapa berkas sebelum selesai magang bulan depan, jadi agak santai ".
Kali ini aku yang mengangguk-angguk. "Okedeh. Kalo gitu kakak perempuanmu yang pekerja keras ini berangkat kerja dulu, ya".
Lagi-lagi Kenzi terkekeh. Namun, tiba-tiba tangannya diangkat, dan aku bisa merasakan sebuah telapak tangan besar mendarat di kepalaku. Dia mengelus rambutku.
Aku membeku terkejut sesaat . Sebelum akhirnya kupukul tangan kenzi. "Kamu ngapain?" Tanyaku sambil merapikan rambut. "Aku nata rambut sampe setengah jam tau? Kamu main acak-acak aja!"
Bukannya langsung minta maaf, Kenzi malah terlihat bersenang-senang. Apa ini yang sering dikatakan para boomer, jika anak sekarang terlalu santai dengan orang yang lebih tua?
Itu memang yang aku katakan dalam hati. Namun entah kenapa, jantungku justru ... berdebar sebentar, lalu wajahku... Tiba-tiba terasa panas.
"Awas kalo berantakan!" Sambungku, mencoba menghilangkan perasaan salah tingkah yang datang entah dari mana.
"Kamu masih cantik, tenang saja", katanya.
Mataku menyipit, curiga jika Kenzi memuji karena ada maunya. Buru-buru aku merogoh tas. "Berapa yang kamu mau?" Tanyaku, pura-pura mengambil uang sogokan.
Aku hanya becanda, tentu saja. Buktinya Kenzi juga ikut tertawa.
"Kamu ini. Udah cantik, lucu lagi".
Tidak mungkin. Ada apa dengan Kenzi? Aku memang meminta dia agar berbicara santai, tapi merayu secara ugal-ugalan seperti ini, bukankah anak ini sedikit melewati batas? Yah, walaupun senang sih. Tapi tetap saja, yang dia lakukan tetap tidak aman untuk jantung seorang janda kembang sepertiku.
"Simpan itu buat cewek yang kamu suka", kataku. Tak mau jantung bekerja keras dipagi hari, aku harus bergegas pergi dari hadapan Kenzi. "Dahlah, aku berangkat dulu. Bisa telat kalo lama-lama disini".
"Ya. Hati-hati dijalan, Riana. Semoga hari pertamamu lancar ", sahut Kenzi sambil melambaikan tangan, senyum khasnya berubah menjadi tengil.
Aku mengangguk, lalu melangkah keluar, menghirup udara pagi yang segar. Jantung yang berdebar membuatku tiba di parkiran tanpa sadar.
Setelah memasukkan tas kedalam kursi penumpang, aku duduk di belakang kemudi dan menyalakan mesin. Dengan hati-hati, aku keluar dari kompleks apartemen dan mulai menyusuri jalan menuju kantor. Musik favoritku mengalun pelan di radio, membantu mengusir rasa gugup.
Beruntungnya, lalu lintas pagi ini cukup lancar. Aku tiba di depan gedung pencakar langit dengan tulisan besar "FUJIKO PUBLISHING" tanpa kendala berarti. Gedung yang megah ini akan menjadi tempatku bekerja mulai hari ini. Aku berdiri sejenak di depan gedung, menatapnya dengan perasaan campur aduk antara kagum dan gugup.
Dengan langkah mantap, aku masuk kedalam lobi gedung. Seorang resepsionis menyambut ku dengan senyum ramah. "Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?" Tanyanya.
"Selamat pagi, saya Riana. Karyawan baru di bagian editorial ", jawabku.
"Oh, selamat datang di Fujiko. Silahkan menuju lantai sepuluh, Bu Hana sudah menunggu anda disana", ujar resepsionis sambil menunjuk kearah lift.
Aku mengucapkan terimakasih dan segera menuju lift. Sepanjang perjalanan menuju lantai sepuluh, pikiranku berputar tentang apa yang akan kutemui nanti. Akhirnya, pintu lift terbuka, dan aku melangkah keluar menghirup menuju area kantor yang terlihat modern dan profesional.
Diujung lorong, seorang wanita paruh baya dengan wajah ramah menyambut ku. "Selamat datang. Saya Hana, kepala departemen editorial. Senang sekali kamu bisa bergabung dengan kami. Bisa sebutkan nama kamu?" Katanya sambil menjulurkan tangan.
Aku menjabat tangannya dengan hangat. "Terimakasih, Bu Hana. Saya Ariana, senang bisa bergabung disini".
"Oh, jadi kamu yang bernama Ariana?" Tanya Bu Hana tiba-tiba, seperti dia sudah pernah mendengar tentangku sebelumnya. "Baiklah, mari saya tunjukkan meja kerjamu dan memperkenalkanmu pada tim ", katanya sambil mengajakku berkeliling kantor.
Namun sayang sekali, rasa penasaranku tidak terjawab, Bu Hana sama sekali tidak memberikan kesempatan bagiku untuk bertanya atau sekedar basa-basi. Dia terlihat sangat bersemangat mengajakku tur seisi departemen editor.
Setelah berkenalan dengan tim, Bu Hana membawaku ke mejaku. "Ini tempatmu, Ariana. Jika ada yang perlu ditanyakan, jangan ragu untuk menghubungi saya atau rekan-rekanmu".
Aku mengangguk dan tersenyum. "Terimakasih Bu Hana. Saya akan berusaha sebaik mungkin ".
Dia tersenyum balik. "Semangat ". Kemudian dia berbalik dan pergi.
Ketika Bu Hana pergi, aku duduk di kursi ku, mengatur beberapa barang dan mulai menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Suasana di sini lebih kondusif daripada kantor tempat aku bekerja sebelumnya. Inikah kesenjangan antara perusahaan besar dan kecil? Aku bahkan bisa melihat mesin kopi hampir memenuhi setiap lorong tadi.
Namun saat aku baru saja memuji suasana disini tenang, tiba-tiba aku mendengar bisik-bisik para karyawan. Yah, tidak masalah, sepertinya hal seperti ini bisa ditemuin dimana saja.
Hingga tiba-tiba, seseorang menghampiriku. "Kamu Ariana, kan?"
Aku mengangguk dan mencoba tersenyum seramah mungkin. "Benar, saya Ariana".
"Begini..." Wanita yang terlihat seumuran denganku terlihat ragu-ragu. "Aku dengar katanya ada editor baru yang masuk karena dibawa anak presdir langsung. Apa itu kamu?"
Hah? Darimana tebakan itu berasal? Apakah manusia seperti aku terlihat memiliki koneksi dengan anak presdir dari perusahaan sebesar ini?
Aku menggeleng. "Ah, bu__"
Namun belum sempat aku menjelaskan, perhatian kami tiba-tiba disita oleh seseorang yang baru saja masuk. Dari tampilannya yang mencolok, bisa jadi anak itu orangnya, kan?