Tamparan, pukulan, serta hinaan sudah seperti makanan sehari-hari untuk Anita, namun tak sedikitpun ia mengeluh atas perlakuan sang suami.
Dituduh menggugurkan anak sendiri, membuat Arsenio gelap mata terhadap istrinya. Perlahan dia berubah sikap, siksaan demi siksaan Arsen lakukan demi membalas rasa sakit di hatinya.
Anita menerima dengan lapang dada, menganggap penyiksaan itu adalah sebuah bentuk cinta sang suami kepadanya.
Hingga akhirnya Anita mengetahui pengkhianatan Arsenio yang membuatnya memilih diam dan tak lagi mempedulikan sang suami.
Follow Instragramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Membela Istri
Lampu-lampu kecil di ruang makan telah menyala, memancarkan cahaya hangat kekuningan yang menciptakan suasana nyaman yang membungkus malam. Di dapur, Arsen tampak sibuk. Wajahnya serius, namun penuh semangat. Tangannya cekatan menyiapkan bahan-bahan makanan, walaupun sesekali ia harus melihat layar ponselnya untuk memastikan langkah-langkah resep yang diikuti.
Ini bukan kali pertama Arsen masuk dapur, tetapi bisa dibilang ini adalah kali pertama ia benar-benar berusaha membuat sesuatu dari awal, dengan niat penuh. Ia tidak ingin membuat sesuatu yang mewah atau terlalu rumit—ia hanya ingin membuat makan malam yang hangat dan sederhana untuk Anita.
Di atas meja dapur, terlihat sepanci kecil sup bening berisi potongan wortel, kentang, dan ayam yang dimasak perlahan. Di sampingnya, terdapat sepiring telur dadar gulung yang dipotong rapi, serta sepiring tumis buncis dan jagung muda. Arsen juga telah menanak nasi dan menyiapkan teh hangat di teko kecil. Semua itu tampak sederhana, namun sarat makna.
Ia menata makanan di meja makan dengan penuh perhatian, bahkan sempat mengganti taplak meja dengan kain putih bersih dan menambahkan bunga kecil dalam vas di tengah-tengah meja.
Sementara itu, Anita masih berada di kamar, duduk bersandar di tempat tidur sambil membaca buku. Ia merasa sedikit lebih segar setelah tidur siang dan berbincang dengan Miranda sebelumnya. Pikirannya masih dipenuhi oleh kehangatan yang ditinggalkan oleh ibu mertuanya. Saat ia mencium aroma makanan dari arah dapur, ia sedikit terkejut.
Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan pelan di pintu kamar.
“Anita, makan malam sudah siap,” kata Arsen dari balik pintu.
Anita tersenyum kecil dan bangkit perlahan. Saat ia keluar dari kamar, pandangannya langsung tertuju ke arah meja makan yang tertata rapi. Ia tertegun sejenak.
“Ini semua... Papih yang siapkan?” tanyanya pelan.
Arsen mengangguk, sedikit gugup. “Iya. Tidak seberapa, tapi semoga kamu suka. Aku ingin mencoba lebih banyak membantu.”
Anita berjalan mendekat, lalu duduk di kursinya. Ia menatap makanan yang terhidang di depannya dengan mata berkaca-kaca. “Papih... terima kasih. Ini sangat berarti untukku.”
Arsen duduk di kursi seberang, mengusap tengkuknya sendiri dengan canggung. “Aku tahu selama ini aku tidak terlalu peka. Tapi aku akan lebih banyak belajar.”
Anita tersenyum lembut. “Papih sudah mulai melakukannya sekarang. Dan itu sudah cukup membuatku bahagia.”
"Kalau begitu, makanlah. Mumpung masih hangat"
Mereka mulai menyantap makan malam bersama. Anita menikmati setiap suapan dengan perlahan, menghargai setiap rasa yang dihadirkan Arsen di piringnya. Sup yang hangat mengalir di tenggorokannya, membuat tubuhnya terasa lebih ringan. Ia bahkan sempat memuji tumisan buncis yang menurutnya lebih enak dari yang ia duga.
Sesekali mereka berbicara, dengan percakapan ringan namun jujur. Arsen bertanya tentang apa saja yang membuat Anita merasa nyaman selama hamil, dan apa saja yang harus ia hindari. Anita menjawab dengan sabar, dan bahkan sesekali tertawa ketika Arsen mengajukan pertanyaan konyol.
Makan malam itu, meskipun tanpa kemewahan atau bumbu yang istimewa, menjadi momen yang begitu berharga. Ada ruang yang terbuka di antara mereka—ruang untuk tumbuh bersama, untuk saling memahami, dan untuk memperbaiki hal-hal yang dahulu mungkin terlewatkan.
Setelah selesai makan, Arsen merapikan piring dan membawa semuanya ke dapur. Ia bersikeras tidak membiarkan Anita membantu, dan memintanya duduk santai di ruang tamu. Sementara suara air mengalir dari wastafel terdengar dari dapur, Anita bersandar di sofa dengan perasaan hangat yang sulit dijelaskan.
Malam itu, ia tidak hanya merasa kenyang oleh makanan, tetapi juga oleh perhatian yang ia terima dari pasangan. Dalam diam, ia berdoa dalam hati—semoga hari-hari berikutnya terus seperti ini, dengan cinta yang perlahan tumbuh dan harapan yang kembali mekar.
***
Aktivitas di perusahaan Arsen mulai berjalan dengan ritme yang sibuk. Ia duduk di balik meja kerjanya, serius memeriksa laporan keuangan kuartal terakhir. Namun ketenangan itu segera terusik oleh ketukan pintu dari luar.
“Selamat siang, pak Arsen” suara resepsionis terdengar melalui interkom. “Ada tamu yang ingin bertemu. Mengaku adik Anda, namanya Ananda.”
Arsen mengerutkan kening. “Suruh dia masuk.”
Beberapa menit kemudian, pintu terbuka dan seorang perempuan melangkah masuk tanpa ragu. Wajahnya cantik namun ekspresinya penuh selidik. Ia mengenakan blouse pink dan rok selutut, rapi dan elegan, seperti biasa. Namun tatapan matanya menunjukkan bahwa kedatangannya bukan untuk sekadar mengunjungi.
“Mas,” sapa Ananda singkat, lalu duduk tanpa diminta.
“Tumben ke sini,” ujar Arsen sambil meletakkan dokumen di atas meja. “Ada apa?”
“Aku baru dari rumah Mama tadi pagi. Mama bilang mbak Anita hamil. Apa benar?”
Arsen menarik napas dalam-dalam. Ia sudah menduga pembicaraan ini akan datang cepat atau lambat. “Iya. Itu benar.”
Ananda menyilangkan tangan di dadanya. “Kenapa aku tidak diberi tahu langsung? Saudara kita yang lain pun tidak diberitahu, kenapa cuma mama saja yang mas kabari?" desaknya menuntut jawaban.
“Karena kamu dan Anita tidak pernah benar-benar akur,” jawab Arsen jujur, meskipun nadanya tetap tenang. “Aku tidak ingin memicu ketegangan saat ini, apalagi di masa kehamilan awalnya yang cukup rentan.”
Ananda mendengus pelan. “Aku tidak pernah berniat membuat masalah. Tapi aku juga tidak bisa pura-pura akrab dengan seseorang yang pernah mengkhianati kakakku sendiri, yaitu kamu Mas”
Arsen menatap Ananda dengan tajam. “Aku tidak pernah menyuruh kamu untuk membencinya, aku juga tidak menyuruh kamu untuk mengikuti sikapku”
“Mas juga tidak pernah melarang aku dan yang lain untuk tidak bersikap baik kepada mbak Anita, baru sekarang saja mas menegurku. Setelah mbak Anita hamil kami belum bisa sepenuhnya menerima kelakuan dia dimasa lalu. Aku tidak seperti Mama yang bisa berpura-pura lembut sepanjang waktu.”
“Mama bukan berpura-pura. Dia memang tulus. Jujur saja, saat ini mas sedikit ragu jika Anita sengaja menggugurkan janin kami, meskipun cctv sudah memperlihatkan kejadiannya”
Ananda terdiam sesaat, lalu berdiri. “Jadi sekarang mas sepenuhnya membelanya?”
“Bukan soal membela. Ini tentang menjaga istri dan anakku. Aku tidak akan membiarkan siapa pun, termasuk kamu, membuatnya stres. Aku ingin dia tenang, dan kehamilannya kali ini lancar. Jika kamu datang ke sini hanya untuk mempertanyakan kehamilan itu dan melemparkan keraguanmu, lebih baik kamu pergi sekarang.”
Ekspresi Ananda berubah. Ada luka yang tampak jelas di matanya, tapi juga harga diri yang ia pertahankan kuat. “Aku tidak berniat menyakiti siapa pun, Mas. Justru aku membela mas, jangan terlalu menerima langsung mbak Anita hanya karena dia hamil, bisa saja kan dia berniat menggugurkan anak kalian lagi dengan alasan yang lain”
Arsen bangkit dari kursinya. “Jaga bicaramu, Ananda. Dari pada kamu pusing-pusing mengurus rumah tangga mas, lebih baik kamu fokus pada Nindi. Lagipula seharusnya kamu senang karena akhirnya mas akan punya anak lagi"
"Sebaiknya kamu pergi sekarang, mas tidak ada waktu untuk mengurus masalah seperti itu" ucap Arsen mengusir sang adik secara tidak langsung.
Ananda memandang Arsen sekali lagi, kemudian melangkah keluar tanpa berkata apa pun lagi. Suara langkah sepatunya menggema di lorong luar ruangan, lalu perlahan menghilang.
Arsen berdiri membeku di tempatnya. Ia tahu, percakapan barusan akan menimbulkan jarak baru antara dirinya dan adiknya. Namun, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak menyesal membuat pilihan—sebab kini, ia memilih untuk berdiri di sisi Anita, apapun risikonya.
tinggal Takdir yg menentukan..
dan bagaimana respon dr yg menjalani setiap takdir nya tsb 👍
jagain dari jauh, doain yang terbaik buat Anita...
maaf y thor gak salah judul y
🤭