Menikah dengan orang yang aku cintai, hidup bahagia bersama, sampai akhirnya kami dikaruniai seorang putra tampan. Nyatanya setelah itu justru badai perceraian yang tiba-tiba datang menghantam. Bagaikan sambaran petir di siang hari.
Kehidupanku seketika berubah 180 derajat. Tapi aku harus tetap kuat demi putra kecilku dan juga ibu serta adikku.
Akankah cinta itu kembali datang? Sementara hatiku rasanya sudah mati rasa dan tidak percaya lagi pada yang namanya cinta. Benarkah cinta sejati itu masih ada?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iin Nuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Papa Surya
Surya membuka pintu kamarnya perlahan. Dilihatnya Wulan, istrinya, sedang duduk menangis di atas tempat tidur mereka. Surya kemudian masuk ke dalam kamar dan menutup kembali pintu kamar tersebut.
Surya berjalan menghampiri Wulan. Duduk di sebelah istrinya itu, kemudian dipegangnya pundak Wulan yang bergetar karena tangisannya.
"Kenapa nangis?" tanya Surya lembut.
"Papa nggak denger omongan Awan tadi? Awan mau nikah sama bundanya Keinan, Pa. Seorang janda beranak satu," jawab Wulan masih belum bisa terima.
"Memangnya kenapa kalau bundanya Keinan?"
"Pa, ini pernikahan pertama Awan loh, Pa. Masak dia nikah sama janda sih," keluh Wulan yang sudah mulai reda tangisannya.
"Apa salahnya kalau janda, Ma? Bukankah Bunda Khadijah juga seorang janda? Lagian, siapa sih Ma yang mau menyandang status sebagai seorang janda? Kalau boleh milih, mereka juga pasti nggak akan mau jadi janda, Ma."
Wulan terdiam. Wulan akui kalau perkataan suaminya itu memang benar.
"Bukannya Mama sayang ya sama Keinan? Dan lagi, Mama kan juga udah tau sendiri gimana ceritanya sampai Shofi bisa menjadi seorang janda kayak gitu."
Wulan memicingkan matanya. Dilihatnya wajah suaminya itu dengan tatapan penuh selidik.
"Papa kok kayak nggak kaget gitu denger Awan mau nikah sama bundanya Keinan? Pasti Papa udah tau duluan ya tentang masalah ini?"
"Hehe, iya," jawab Surya dengan menunjukkan cengirannya.
Wulan membelalakkan kedua matanya.
"Jangan-jangan yang Keinan sering diajak main kesini itu juga ide dari Papa ya buat ngambil hatinya Mama lebih dulu?" tebak Wulan kemudian.
"Pinter istrinya Papa," kata Surya seraya mencubit pelan hidung Wulan.
"Tuh kan... Aaahhh... Nggak asik ah. Papa jahat. Pokoknya Mama mau ngambek," rajuk Wulan yang kemudian langsung cemberut dan membalikkan badannya seraya menyilangkan kedua tangannya di atas perutnya.
"Yakin nih Mama mau ngambek?" goda Surya.
"Iya, pokoknya Mama ngambek," tegas Wulan.
"Emang bisa Mama ngambek sama Papa?" goda Surya lagi seraya mengusel di pundak kanan istrinya itu.
"Iiissshhh, Papa sana ahhh. Jangan deket-deket sama Mama," seru Wulan dengan mendorong pelan pipi Surya.
"Nggak mau. Kan Mama tau sendiri kalau Papa nggak bisa jauh-jauh dari Mama," kata Surya yang kembali mengusel di pundak kanan Wulan.
"Papa iiissshhh,,, Mama kan lagi ngambek."
"Ya udah ngambek aja nggak pa-pa. Kan Papa juga cuma mau manja-manja sama Mama aja."
"Papa iiissshhh, sana. Mama kan lagi ngambek sama Papa."
Lagi dan lagi Wulan kembali mendorong tubuh Surya agar menjauh dari dirinya. Tetapi Surya juga tetap saja kembali mengusel kepada istrinya itu.
"Ngambek aja. Silahkan. Nggak pa-pa kok."
Surya mulai mendongakkan wajahnya. Dan dalam sekejap saja, Surya pun sudah mulai menciumi pipi kanan Wulan berkali-kali.
"Papa....." rengek Wulan.
Wulan kemudian membalikkan tubuhnya dan langsung menghujani Surya dengan pukulan-pukulan ringan di dadanya. Dan bukannya kesakitan Surya justru tertawa kemudian menarik tubuh istrinya itu untuk masuk ke dalam pelukannya.
Surya mencium puncak kepala Wulan kemudian mengusap-usap rambutnya penuh sayang. Tidak lama setelah itu justru terdengar isakan kecil dari Wulan. Ya, Wulan kembali menangis, tapi kali ini dia menangis di dalam pelukan hangat suaminya.
Surya tentu saja sudah hafal betul dengan tabiat istrinya itu. Wulan bukan orang yang memiliki hati yang keras. Hanya saja memang butuh waktu kalau ingin merubah penilaian Wulan terhadap sesuatu.
"Kenapa harus bundanya Keinan sih, Pa? Kenapa Awan harus menikah dengan seorang janda?" tanya Wulan lagi pada akhirnya.
"Ma, niat Awan baik lho. Dia ingin mengangkat derajat Shofi dan Keinan. Melindungi mereka dari stigma negatif masyarakat dan juga hinaan serta bully-an yang selama ini sering mereka dapatkan. Awan juga ingin memberikan keluarga yang lengkap untuk Keinan. Agar anak itu memiliki sosok seorang ayah dan bisa merasakan kasih sayang serta perhatian dari seorang ayah. Mama harusnya bangga dong dengan putra Mama itu. Pemikirannya sudah sangat dewasa," jawab Surya mencoba menjelaskan.
Wulan terdiam. Mencoba meresapi semua yang dikatakan oleh suaminya itu. Belaian lembut tangan Surya di kepalanya perlahan-lahan mulai memberikan Wulan rasa nyaman, meski sesekali Wulan juga masih terdengar sesenggukan.
"Tapi kan, Pa, pernikahan kan untuk waktu yang lama. Bahkan kalau bisa cuma sekali dalam kehidupan kita. Mama juga tentunya ingin yang terbaik untuk Awan, Pa," lirih Wulan.
"Terbaik menurut Mama belum tentu untuk Awan, Ma. Dan juga, kita sebagai orang tua, tugas kita adalah untuk merestui pilihan anak-anak kita. Anak-anak kita sudah besar, Ma. Kita tidak bisa memaksakan kehendak kita kepada mereka terus. Mereka sudah bisa memilih dan memutuskan jalan untuk mereka sendiri. Selagi itu bukan hal yang menyimpang, bukan hal yang buruk dan dilarang oleh agama, alangkah lebih baiknya kalau kita mendukung dan merestui niat baik anak-anak kita, Ma," jawab Surya panjang lebar.
"Tapi rasanya hati Mama masih belum bisa menerimanya, Pa."
"Pelan-pelan aja, Ma. Satu yang Papa tau, Shofi adalah wanita yang baik, sopan, dan pekerja keras. Papa yakin Mama pasti juga akan menyukainya kalau sudah mengenalnya nanti. Untuk sementara ini, Mama bisa meyakinkan hati Mama dulu kalau ini semua demi kebaikan Keinan. Mama sayang kan sama Keinan?"
Dan tepat sasaran. Ya, Wulan memang sudah terlanjur sangat menyayangi Keinan dan simpatik dengan jalan cerita kehidupan bocah kecil itu. Ah, Surya memang paling mengerti bagaimana mengambil hati istrinya itu.
"Mama sayang sama Keinan. Tapi rasanya hati Mama juga masih belum bisa menerima, Pa," keluh Wulan, masih dalam pelukan Surya.
Lagi-lagi Surya tersenyum.
"Kan Papa udah bilang, pelan-pelan aja, Ma. Seiring berjalannya waktu, biarkan hati Mama mulai bisa menerima Shofi. Demi kebahagiaan Awan juga, Ma."
Wulan tidak menjawab lagi. Sepasang suami istri itupun akhirnya terdiam dengan saling berpelukan. Keduanya masih hanyut dengan pemikiran masing-masing.
Wulan yang masih memikirkan semua perkataan dari suaminya tadi. Sementara Surya yang mencoba untuk menenangkan dan meyakinkan hati istrinya itu untuk bisa merestui niat baik Awan untuk menikahi Shofi.