Kematian adik perempuannya yang tragis membuat Rama berubah 180 derajat. Apa lagi ketidak mampuannya sebagai aparat penegak hukum untuk mengungkap siapa dalang dibaliknya membuatnya menjadi lebih frustasi lagi. Hal itulah yang membuatnya selalu bertindak keras terhadap apa pun yang terjadi di sekelilingnya. Hingga sebuah hukuman dari sang komandan membawanya pada keputusan lain.
Namun peristiwa bom bunuh diri di sebuah kafe di tengah kota membawanya bertemu dengan seorang wartawan lepas yang sedang berjuang mempertaruhkan kariernya di kantor berita nasional.
Kaysa Mella yang sedang mencari bahan pemberitaan untuk menaikkan jenjang kariernya di dunia jurnalis yang sangat dia cintai seperti pengembara yang menemukan oase di tengah padang pasir saat bertemu dengan Rama.
Apakah yang akan terjadi setelah mereka bertemu? lebih banyak drama ataukah tragedi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fitTri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aslan Dan Rama
*
*
Kaysa meletakan makanan di meja, pesanan Rama seperti biasanya ketika pria itu datang pada menjelang siang sepulangnya dia menjalankan tugasnya. Nasi rempah, dengan lauk beserta sayuran dan air minumnya. Tak ada hal lain yang pria itu pesan selama seminggu belakangan selain makanan tersebut.
"Terimakasih," katanya, dengan senyum termanis yang dia sunggingkan.
"Apa kamu tidak bosan?" dia mengajaknya bicara sebentar.
"Apa?"
"Pesan makanan ini setiap hari."
"Memangnya kenapa?"
"Tidak kenapa-kenapa, hanya saja kamu selalu memesan hal yang sama setiap hari. Bukankah itu membosankan?"
"Menurutku tidak." pria itu menyuapkan makanannya.
"Saat pertamakali memesannya aku langsung suka, makanya terus memesan ini sampai sekarang. Rasanya enak."
"Hmm ...
"Aku kalau sudah suka sesuatu tidak bisa berpaling ke hal yang lain, begitu juga dengan makanan. Aku akan terus memakannya sampai merasa bosan sendiri. Tapi sepertinya tidak akan merasa bosan untuk yang satu ini."
Kaysa mengerutkan dahi.
Kenapa sekarang pria ini jadi banyak bicara ya? padahal dulu judesnya minta ampun. batinnya bermonolog.
"Oke, ada lagi yang mau kamu pesan?" tawarnya kemudian.
"Tidak, ini sudah cukup." tolak Rama.
"Baiklah kalau begitu." Kaysa hampir saja meninggalkannya saat pria itu kembali berbicara.
"Oh iya, hari ini Aslan pulang jam berapa?"
Kaysa memutar tubuh.
"Seperti biasa, jam 11."
"Baiklah, sebentar lagi aku ke sana." Rama kembali menyuapkan makanannya.
"Apa?"
"Sebentar lagi aku menjemputnya." pria itu memperjelas perkataannya.
"Kenapa?" Kaysa kembali ke hadapannya.
"Apa kamu bisa menjemputnya sendiri? karena sepertinya kamu akan sangat sibuk sebentar lagi." Rama meirik beberapa pengunjung yang baru saja tiba, sementara waktu sudah menunjukkan hampir jam 11 siang.
"Oh, ... astaga!" Kaysa menghembuskan napas keras.
"Jadi aku yang akan menggantikanmu." Rama menyelesaikan kegiatan makannya dengan cepat, kemudian menenggak habis air minumnya.
"Terimakasih." katanya yang kemudian meletakan selembar uang berwarna biru di trey bill, sepeti biasa. Lalu dia bangkit dan meraih jaketnya di kursi lain.
"Tunggu, kembaliannya?" Kaysa hampir menghentikan langkahnya.
"Tidak apa-apa, anggap saja tip." ucap pria itu yang kemudian pergi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Om emang nggak ada kerjaan ya? kok jemput aku lagi?" Aslan duduk di kursi penumpang seperti biasa.
"Sedang santai."
"Polisi kok santai? emang kerjaan om apa?" bocah itu terus bertanya.
"Ya ... seperti biasa."
"Om suka nangkepin orang jahat nggak sih?"
"Kadang-kadang."
"Kalau jam segini om santai, terus om jam berapa kerjanya?"
"Malam."
"Emang kalau malam orang jahatnya banyak?"
"Banyak."
"Kenapa sih malam-malam orang jahatnya masih ada? kenapa nggak tidur gitu?"
Rama menghembuskan napasnya pelan.
"Mereka kerjanya juga malam, jadi om juga harus kerja malam."
"Oh ... gitu." kemudian mereka berdua terdiam.
"Emang apa sih yang mereka lakukan, kok kerjanya malam-malam?" Aslan kembali bertanya.
"Astaga!" Rama bergumam. Semakin hari bocah itu semakin banyak bertanya. Entah seberapa jelas dia menjawab, namun pertanyaannya menjadi semakin spesifik saja.
"Om?"
"Ya?"
"Orang jahat itu kerjaannya apa sih? kok om tangkepin?"
"Banyak."
"Misalnya apa?"
"Ya, berbuat hal-hal yang di larang."
"Iya, misalnya apa?"
Rama terdiam sebentar.
"Menjual barang-barang yang tida boleh di jual, atau menjahati orang."
"Oh, ... jadi kalau jahat sama orang juga bisa om tangkap ya?"
"Bisa lah, kan melanggar hukum."
"Kalau misalnya ada anak yang jahat, om tangkap juga?"
"Kenapa kamu tanya seperti itu?" Rama membelokan mobilnya ke area apartemen di mana bocah itu tinggal, kemudian berhenti di parkiran.
"Nggak, cuma tanya aja."
"Apa ada teman yang jahat kepadamu?"
Aslan terdiam.
"Aslan?"
"Ya om?"
"Ada teman yang menjahatimu?"
Anak itu tidak langsung menjawab, namun malah menatap wajah Rama untuk beberapa saat.
"Nggak ada." jawabnya sambil membuang pandangan, kemudian turun dari mobil.
Rama mengerutkan dahi ketika melihat sesuatu yang aneh pada anak itu. Tali pada tasnya tampak tidak tertaut dengan baik, dan ada beberapa sobekan. Kemudian kemeja bagian belakangnya tampak sangat kotor.
"Tas kamu kenapa?" dia mengikutinya seperti biasa.
"Nggak apa-apa."
"Tapi sobek-sobek?"
"Oh, ... cuma nyangkut di pagar."
"Kenapa nyangkut di pagar?"
"Waktu itu aku kesiangan, terus naik ke pagar."
"Benar?"
"Iya."
"Tapi talinya juga putus? kamu talikan sendiri ya?" Rama meraih tali pada bagian bawah tasnya.
Aslan tak menjawab hingga mereka tiba di depan unit apartemennya.
"Mama kamu tahu?"
"Apaan?" dia meletakan tas di sofa, kemudian melepaskan alas kakinya dan melakukan segala hal yang biasa dilakukannya sepulang sekolah.
"Tas kamu sobek-sobek begini?"
"Nggak."
"Kenapa sampai tidak tahu? mama kamu tidak memperhatikanmu ya?"
"Aku nggak bilang."
"Kenapa?"
"Kasihan."
"Kenapa kasihan?"
"Nanti mama kepikiran, terus harus beli tas lagi. Padahal tasnya kan baru aja di beliin papa."
"Ya beli saja, cuma tas."
"Nggak boleh, mama nggak punya uang. Kan baru masuk kerja? Ada yang di kasih sama papa juga kan untuk makan."
"Astaga Aslan!"
"Om udah makan belum? soalnya aku mau makan." anak itu mengambil makanan seperti biasanya. Hanya nasi putih dengan beberapa buah nugget ayam dan segelas air minum.
"Sudah tadi di tempat kerja mama mu."
"Oh iya lupa, om sebelum jemput aku ke tempat kerja mama dulu kan ya?"
"Hu'um." Rama menganggukkan kepala. Kemudian dia membiarkan anak itu makan dengan lahap, seperti baru saja menemukan makanan setelah sekian lama.
"Om sebentar ya, aku nyuci dulu." Aslan bergegas kr kamar mandi setelah mengganti pakaiannya di kamar, membawa seragam yang baru saja di pakainya ke dalam kamar mandi.
"Nyuci?" pria itu mengerutkan dahi.
"Iya, ini nya udah kotor." jawab Aslan yang menunjukkan seragam sekolahnya. Padahal ini baru saja hari senin.
"Memangnya mama mu tidak mencucinya hari minggu kemarin?"
"Udah."
"Terus kenapa kamu cuci lagi?" dia mengikutinya ke kamar mandi. "Masa baru hari senin sudah kotor?" Rama memperhatikan.
Dan memang benar saja, seragam anak itu tampak sangat kotor apa lagi di bagian belakangnya. Seperti sengaja di nodai entah dengan apa.
Aslan membasahinya dengan air, kemudian memberinya begitu banyak sabun. Menyikatnya sekeras yang dia bisa, namun tetap saja nodanya tidak bisa hilang.
"Yah, ... kok nggak hilang-hilang?" Aslan dengan raut kecewa.
"Memang tadinya kena apa sih sampai sekotor ini?"
Aslan tidak menjawabnya.
Kemudian Rama meraih kedua seragam tersebut kemudian mencoba membersihkannya. Melihat anak itu melakukannya sendiri membuat hatinya merasa iba.
Bagaimana cara Kaysa mendidiknya hingga dia bisa seperti ini? karena segala yang di lakukannya sangat-sangat tak biasa di lakukan oleh anak seusianya.
"Aslan, apa kamu jatuh sehingga seragamnya sekotor ini?"
"Nggak." Aslan berdiri di sudut kamat mandi kecil itu memperhatikan pria tersebut.
"Terus kenapa bisa kena kotoran seperti ini?"
Mulut anak itu terkunci rapat.
"Aslan?" Rama memalingkan pandangan, dan mendapati anak itu terdiam dengan mata yang berkaca-kaca.
"Kenapa?"
"Kita ini temen kan?" Aslan malah bertanya.
"Iya." Rama menghentikan kegiatannya.
"Kalau aku cerita om bakalan percaya nggak?"
"Cerita apa?"
"Soal bajunya."
"Oh, cerita saja."
"Beneran?"
"Iya, ceritalah."
"Tadi aku di lempar air kotor sama kakak kelas."
"Oh ya? kenapa?"
"Karena nggak ngasih uang jajan."
"Apa? uang jajan?"
"Hu'um." Aslan menganggukkan kepala.
"Kenapa bisa begitu?"
"Ya karena aku nggak kasih."
"Dia minta uang jajan kamu?"
"Iya, tapi nggak aku kasih. Soalnya aku kan nggak bawa uang jajan."
Rama terdiam.
"Aku kan nggak pernah bawa uang jajan ke sekolah." aku nya kepada Rama.
"Kenapa nggak bawa uang jajan?"
"Nggak di kasih sama mama."
"Apa?"
"Soalnya aku di kasih bekal makanan, tapi itu di ambil juga."
Pantas saja dia seperti kelaparan tadi? batinnya ketika ingat kejadian sebelumnya.
"Mereka ambil makanan kamu, juga minta uang jajan?"
"Iya. Terus kalau nggak ngasih ya kayak gini." Aslan menunjuk seragamnya yang masih berbusa.
Rama benar-benar menghentikan kegiatannya, kemudian menarik Aslan keluar dari kamar mandi. Dia mendudukannya di sofa, kemudian dengan serius menatapnya.
"Mama mu tahu soal ini?"
"Nggak."
"Kamu tidak mengatakannya?"
Aslan menggelengkan kepala.
"Kenapa?"
"Nggak boleh, nanti mama datang ke sekolah terus lapor ke guru."
"Ya tidak apa-apa, memang harusnya seperti itu."
"Nggak boleh."
"Kenapa?"
"Nanti mereka bully aku lebih parah."
"Aslan, ...
"Waktu itu juga ada temen aku yang lapor ke guru, besoknya di pukulin. Kan kasihan mama kalau aku kayak gitu, nanti kepikiran."
"Terus kamu maunya bagaimana?"
"Ya nggak gimana-gimana. Cuma mau bilang gitu aja. Tapi om harus janji, nggak bilang soal ini sama mama."
"Kenapa om tidak boleh mengatakannya kepada mama?"
"Ish, ... om nggak ngerti ya apa yang aku bilang tadi? kan kasihan nanti mama jadi kepikiran."
"Terus kalau nanti mama mu tanya soal seragamnya yang tidak bisa di bersihkan bagaimana?"
Aslan tampak berpikir.
"Bilang jatuh aja lah, kayak biasa."
"Biasa? memangnya mereka sering melakukan hal ini kepadamu?"
"Iya."
"Dan mama mu tidak tahu?"
"Nggak."
"Kalau sewaktu-waktu tanya?"
"Ya aku bilang jatuh kek, atau apa gitu."
"Bohong! kamu bilang bohong itu dosa? kok kamu begitu?"
Aslan terdiam lagi.
"Terus gimana dong?"
"Ya bilang mama mu, nanti dia akan bertindak."
"Pokoknya nggak boleh bilang mama." Aslan dengan matanya yang berkaca-kaca.
"Om harus janji nggak bilang mama."
"Tapi Aslan, ini tidak bisa di biarkan."
"Kalau gitu aku nggak mau temenan lagi sama om!" Aslan bersedekap lalu memalingkan wajah.
"Kamu mengancam?"
Aslan cemberut.
"Kepada om kamu berani bicara begitu, tapi kepada teman yang menindasmu kamu tidak berani melawan?"
"Mereka itu banyakan, kalau om kan sendirian. Lagian om kan baik, nggak jahat kayak mereka."
Rama menghela napas dalam.
"Ya om? harus janji nggak bilang mama."
Rama tak menjawab.
"Om?"
"Ah, ... baiklah baik. Kenapa juga sih kamu ini? keras kepala. Seperti mama mu!"
"Ya emang."
"Apa itu juga yang terjadi dengan tasnya?"
"Iya, di sayat pakai cutter."
"Astaga, anak-anak!" geram Rama dengan kesal.
"Terus seragamnya bagaimana?"
"Nah itu yang aku bingung. Ada sih satu lagi, tapi nanti kalau mama tanya gimana ya?" Aslan menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Sudah, begini saja." Rama kembali ke kamar mandi, kemudian membungkus seragam basah itu dengan kantung kresek yang dia temukan di sekitar meja makan.
"Ini kita buang, terus beli lagi yang baru."
"Beneran? uangnya?"
"Ada. Kamu mau ikut atau tunggu di sini?"
"Ikut aja."
Kemudian mereka berdua pun pergi.
ini keren thoooorrr...