Riana terpaksa menerima lamaran keluarga seorang pria beristri karena keadaan yang menghimpitnya. Sayangnya, pria yang menikahinya pun tidak menghendaki pernikahan ini. Sehingga menjadikan pria tersebut dingin nan angkuh terhadap dirinya.
Mampukah Riana tetap mencintai dan menghormati imamnya? Sedangkan sikap labil sering sama-sama mereka tunjukkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rini sya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memutuskan Pergi
Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua sudah ditakdirkan. Baik pertemuan maupun perpisahan. Semua telah terencana sebagaimana mestinya. Pun dengan pernikahan yang dijalani oleh Langit dan Riana. Hanya saja, lakon dalam cerita ini masih belum menyadari bahwa mereka saling membutuhkan dan bisa saling melengkapi.
Langit begitu egois menyikapi takdir hidup yang terlah ditakdirkan untuknya. Sedangkan Riana, gadis itu terlalu pasrah menerima keadaan. Power yang ia miliki masih belum terlihat. Sehingga membuat Langit begitu mudah menindasnya.
Peristiwa memilukan yang dialami Riana akibat ulahnya. Membuat Langit gelisah. Untuk melawan kegelisahannya itu, ia pun mengeluarkan mobil mewah miliknya. Lalu melajukan kendaraan tersebut, membelah malam di jalanan ibu kota. Pikirannya semrawut tak karuan. Sehingga ia pun berpikir mencari sebuah tempat yang bisa membantunya melupakan sejenak kejahatan yang telah ia lakukan terhadap Riana.
Pilihan Langit tertuju pada salah satu club yang biasa ia kunjungi bersama teman segengnya. Langit duduk termenung seorang diri sambil menikmati minuman beralkohol yang telah ia pesan.
Ia memang sengaja memesan minuman laknat tersebut. Karena ia memang berniat melupakan apa yang telah ia lakukan terhadap Riana.
Pria ini menatap nanar pada kerlip warna-warni lampu yang kini sedang menemani kegelisahannya.
Pikiran Langit kembali berputar tanpa arah. Kenyataan yang ia dapat setelah melakukan itu, nyatanya sanggup menguncangkan jiwa pria ini.
Langit tak menyangka, jika matanya masih sanggup ditipu oleh amarah. Sehingga tidak bisa membedakan mana yang masih gadis dan mana yang sudah terbiasa dipakai.
Sekali lagi, kebencian tanpa alasan itu memang bisa menjerumuskan. Karena kebencian itu telah mengantarkannya ke jurang penyesalan. Kini mata hati pria ini telah terbuka lebar. Sebab apa yang ia pikirkan tentang profesi Riana sebagai pekerja **** komersial adalah salah. Pada kenyatannya gadis yang ia nikahi itu masih suci. Bahkan dia adalah yang pertama untuknya.
"Kenapa lu, Bro? kusut amat! " tanya Yoga, teman akrab Langit.
Langit enggan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh sang sahabat. Ia kembali meneguk minuman laknat itu. Pria ini tetap diam. Namun, pikirannya kembali terpusat pada apa yang telah ia lakukan kepada Riana. Tangisan Riana. Kepasrahan Riana ketika ia memaksa menyatukan tubuh mereka. Jeritan gadis itu. Semua.... semua terngiang jelas diingatan dan pelupuk mata Langit.
Bayangan itu seperti benda tajam yang kini mencabik-cabik hatinya. Entahlah, rasanya, Langit seperti sedang menyiksa dirinya sendiri. Sebab apa yang Riana rasakan, saat ini, detik ini, Langit bisa merasakan betapa sakit dan perihnya luka hati dan luka fisik gadis itu akibat ulahnya.
Kediaman Langit tentu saja membuat curiga salah satu sahabatnya. Bahkan beberapa kali para sahabat yang kini sedang menemaninya pun mengajukan beberapa pertanyaan. Namun, Langit masih enggan menjawab. Enggan menceritakan apa yang sebenarnya ia risaukan. Pria ini tetap menutup mulutnya rapat-rapat sembari menyusun kata untuk meminta maaf pada wanita yang telah ia perlakukan tidak adil tersebut.
***
Di sisi lain, Riana menatap nanar pada tubuh telanjangnya. Goresan bekas sabetan ikat pinggang milik sang suami begitu nyata terlihat.
Di leher juga ada bekas jari-jari Langit yang terlihat memerah. Bibirnya bengkak karena beberapa kali Langit mengigitnya.
Di lengan kanan kirinya juga ada bekas gigitan. Air mata Riana kembali mengucur deras tanpa bisa ia kendalikan. Terlebih ketika ia mengingat apa yang ia banggakan telah raib.
Selama ini Riana berbohong kepada Langit. Mengiyakan apa yang Langit pikirkan, tak lain dan tak bukan, itu memang bermaksud supaya Langit jijik padanya. Agar Langit tidak mau menyentuhnya.
Namun, harapan itu kini telah hilang. Bersama dengan kejahatan yang telah Langit perbuat padanya.
Tak salah, jika saat ini kebencian begitu nyata Riana rasakan. Ingin rasanya Riana melaporkan kejadian ini kepada pihak yang berwajib. Namun, ia takut. Takut jika apa yang orang tua Langit berikan kepada ayahnya akan diambil kembali. Lalu bagaimana dia bisa melepaskan orang tuanya dari belenggu utang itu.
Kini, tak ada lagi yang bisa Riana banggakan dari tubuhnya. Tak ada lagi yang harus ia jaga. Semuanya telah hancur. Lalu, apa gunanya dia hidup jika begini.
Tanpa berpikir lagi, Riana segara memakai bajunya. Kemudian ia berjalan tertatih, mengambil sebilah pisau di dapur. Tentu saja untuk mengakhiri hidupnya. Agar Langit puas. Agar pria kejam itu tak punya kesempatan untuk menyakitinya lagi.
"Ini kan yang kamu inginkan dari ku ha? aku mati kan maunya kamu ha? Dasar pria jahat tak berperasaan. Puas sekarang kamu puas!" teriak Riana sembari terus berusaha mengiris pergelangam tangannya.
Tak sengaja, teriakan Riana didengar oleh Minah. Yang saat itu mau membuang air kecil. Tentu saja wanita paruh baya ini segera berlari dan merebut pisau itu dari Riana.
"Jangan Bi, jangan ambil pisau itu. Biarkan aku mati!" ucap Riana sembari berusaha merebut kembali benda tajam itu.
Minah tak mau kalah. Ia pun langsung menarik tangan Riana dan membawa wanita malang itu ke dalam kamarnya.
"Jangan gila, Non!" bentak Minah kesal.
"Aku sudah mati, Bi. Aku hancur!" balas Riana, tangis itu kembali pecah. Terlebih ketika Minah memeluknya.
Minah ikutan menangis melihat bibir Riana yang bengkak itu. Belum lagi goresan-goresan yang ada di kedua tangan Riana. Minah seperti ikut kelihangan nyawanya. Melihat keadaan Riana yang semakin memperihatinkan, seketika Minah pun mendapatkan ide untuk mengeluarkan Riana dari jurang nestapa ini.
"Sabar, Non sabar. Non pergi saja dari sini ya!" ucap Minah. Seketika Riana pun mengangkat wajahnya. Menghapus air matanya. Semangatnya kembali bangkit. Ia pun menyetujui usul Minah.
"Sebaiknya aku memang pergi, Bi. Aku nggak mau bertemu dengan pria jahat itu lagi. Aku benci padanya Bi," ucap Riana.
"Iya iya, sebaiknya begitu. Ayo Non siap-siap. Biar Bibi carikan taksi. ini Bibi baru terima gaji. Non bawa aja, pokonya Non pergi jauh dari sini, ya," ucap Minah sembari menyodorkan uang yang ia miliki pada Riana.
"Nggak usah, Bi. Ria punya sendiri," tolak Riana.
"Bibi tahu, Putriku. Tapi Bibi akan lebih tenang kalo kamu bawa semua uang ini. Sebagai bekal ya, untuk pegangan. Ingat jangan pernah kembali lagi ke rumah ini. Apapun yang terjadi. Jangan pernah menengok ke belakang. Mengerti!" ucap Minah.
Kemudian, wanita paruh baya ini pun mengambilkan baju gamis miliknya. Meminta Riana untuk memakainya. Tak lupa ia juga mengambilkan kerudung dan juga mengambilkan masker untuk menutup luka yang ada di bibir Riana.
Tangis Minah pecah ketika melihat sekujur tubuh Riana yang penuh luka. Hati wanita ini kembali tersayat. Entahlah, rasa sakit yang Riana rasakan, nyatanya bisa membuat hati Minah ikut merasakan sakit itu. Entahlah, mungkin karena Minah juga seorang ibu. Seorang wanita. Maka ia tak rela jika melihat wanita lain tersiksa dan menderita seperti ini.
Bersambung....
msh merasa paling tersakiti