NovelToon NovelToon
Married To Mr. Killer

Married To Mr. Killer

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Nikahmuda
Popularitas:8.2k
Nilai: 5
Nama Author: muliyana setia reza

Intan Puspita Dewi (17) tidak pernah membayangkan masa mudanya akan berakhir di meja akad nikah. Lebih parah lagi, laki-laki yang menjabat tangan ayahnya adalah Argantara Ramadhan—dosen paling dingin, killer, dan ditakuti di kampus tempatnya baru saja diterima.

Sebuah perjodohan konyol memaksa mereka hidup dalam dua dunia. Di rumah, mereka adalah suami istri yang terikat janji suci namun saling membenci. Di kampus, mereka adalah dosen dan mahasiswi yang berpura-pura tak saling kenal.

"Jangan pernah berharap aku menganggap ini pernikahan sungguhan," ucap Arga dingin.

Namun, sekuat apa pun mereka menjaga rahasia, tembok pertahanan itu perlahan retak. Ketika benci mulai terkikis oleh rasa cemburu, dan dinginnya sikap perlahan mencair oleh perhatian, sanggupkah mereka menyangkal bahwa cinta telah hadir di antara skenario sandiwara ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Idola Kampus dan Istri Yang Tak Dianggap

Dua minggu telah berlalu sejak "Tragedi Penjemuran" di lapangan upacara. Masa Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (Ospek) yang penuh drama dan teriakan senior akhirnya usai. Kini, Universitas Pelita Bangsa kembali ke ritme normalnya: mahasiswa yang berlalu-lalang dengan buku tebal, diskusi di koridor, dan aroma kopi yang menguar dari kantin.

Bagi Intan Puspita Dewi, selesainya Ospek berarti satu hal: ia resmi menjadi mahasiswi.

Namun, status barunya ini membawa masalah lain yang tak kalah pelik. Masalah itu bernama: Argantara Ramadhan Fanbase.

Siang itu, di ruang teater Fakultas Ekonomi yang mampu menampung seratus orang, suasana terasa lebih padat dari biasanya. Seharusnya ini adalah mata kuliah Pengantar Manajemen yang membosankan. Tapi, tidak ada satu pun kursi kosong. Bahkan mahasiswa dari kelas lain rela duduk di tangga atau berdiri di belakang demi mengikuti kelas ini.

Alasannya hanya satu. Dosen pengampunya.

"Gila, Tan. Lo lihat nggak tadi Pak Arga senyum pas masuk? Sumpah, gue hampir mimisan," bisik Sarah, teman sebangku Intan yang baru dikenalnya seminggu ini. Sarah sibuk membedaki wajahnya, memastikan penampilannya prima.

Intan hanya memutar bola matanya malas, fokus mencoret-coret buku catatannya. "Biasa aja kali, Sar. Dia cuma senyum, bukan bagi-bagi duit."

"Lo tuh ya, Tan! Nggak ada rasa bersyukurnya banget diajar dosen seganteng itu," timpal Dinda, teman mereka yang duduk di sebelah kiri. "Udah pinter, lulusan luar negeri, mapan, ganteng lagi. Paket lengkap! Kira-kira dia udah punya istri belum ya? Di jari manisnya nggak ada cincin, lho."

Jantung Intan berdesir mendengar kalimat terakhir itu.

Refleks, ia melirik tangan kirinya sendiri yang tersembunyi di bawah meja. Cincin pernikahan emas putih dengan berlian kecil itu sudah ia lepas dan ia simpan rapi di dompet, sesuai perintah Arga di hari pernikahan.

Tentu saja nggak ada cincin, batin Intan kecut. Orang cincinnya dia taruh di laci nakas, nggak pernah disentuh sama sekali.

"Paling juga duda keren," jawab Intan asal, mencoba mematikan topik.

"Hus! Sembarangan lo!" protes Sarah.

Tiba-tiba, suara riuh di kelas senyap seketika. Pintu depan terbuka.

Argantara Ramadhan melangkah masuk.

Hari ini, dia mengenakan kemeja oxford putih yang pas di badan, dipadukan dengan celana bahan abu-abu gelap dan dasi hitam slim. Lengan kemejanya digulung hingga siku, memperlihatkan jam tangan kronograf mahal yang melingkar di pergelangan tangannya yang kokoh. Rambutnya ditata rapi dengan gaya pompadour, membuatnya terlihat segar dan berwibawa.

Sangat berbeda dengan Arga versi "rumah" yang kalau pagi hanya pakai kaos oblong kusut, muka bantal, dan bau minyak angin kalau sedang masuk angin.

"Selamat siang semuanya," sapa Arga. Suaranya berat dan bergema lewat mikrofon, membuat separuh mahasiswi di ruangan itu menahan napas.

"Siang, Paaak..." jawab koor mahasiswi dengan nada mendayu-dayu yang membuat Intan ingin muntah.

Arga meletakkan tabletnya di podium, lalu berjalan santai ke tengah panggung. Dia tidak duduk di kursi dosen. Dia lebih suka berdiri, berjalan, dan berinteraksi. Kharismanya tumpah ruah.

"Hari ini kita akan membahas tentang Planning dalam fungsi manajemen. Mengapa rencana itu penting? Ada yang bisa kasih pendapat sebelum saya tunjuk?" tanya Arga, matanya menyapu seluruh ruangan.

Tatapannya tajam, cerdas, dan mengintimidasi. Tatapan yang membuat Intan selalu merasa telanjang karena dia tahu rahasia di balik tatapan itu.

Seorang mahasiswi cantik di barisan depan mengangkat tangan dengan semangat. "Saya, Pak! Rencana penting supaya kita tahu arah tujuan, sama kayak hubungan kita yang butuh kepastian."

Satu kelas tertawa dan bersorak. "Cieeee!"

Arga hanya tersenyum tipis—sangat tipis, namun sukses membuat mahasiswi itu tersipu malu.

"Analogi yang menarik, meski sedikit out of context," respon Arga tenang. "Tapi benar. Tanpa perencanaan, manajer ibarat nakhoda yang berlayar tanpa kompas. Kalian akan terombang-ambing."

Intan menopang dagu dengan tangan, menatap suaminya dengan pandangan bosan. Dia harus mengakui, Arga sangat jago mengajar. Penjelasannya runtut, mudah dimengerti, dan dia selalu menyelipkan studi kasus nyata dari dunia bisnis. Dia bukan dosen yang hanya membaca slide PowerPoint. Dia benar-benar menguasai panggung.

Sayang banget, pikir Intan. Di luar dia kayak malaikat pendidikan, di rumah kayak sipir penjara.

Tiba-tiba, mata elang Arga berhenti bergerak. Tatapannya terkunci pada satu titik di barisan tengah. Tepat pada Intan yang sedang melamun menatapnya.

Intan tersentak. Waduh, jangan panggil aku. Jangan panggil aku.

"Yang duduk di barisan tengah, pakai kemeja kotak-kotak biru," tunjuk Arga.

Sial. Itu Intan.

Intan menengok kanan-kiri, pura-pura bingung. Sarah menyikut lengannya. "Lo dipanggil, Tan!"

Dengan berat hati, Intan berdiri. Lututnya sedikit lemas.

"Ya, Pak?" jawab Intan, berusaha terdengar senormal mungkin.

"Siapa nama kamu?" tanya Arga basa-basi. Padahal tadi pagi mereka sempat berebut kamar mandi karena Intan telat bangun.

"Intan, Pak."

"Oke, Intan," Arga berjalan mendekat ke tepi panggung, melipat tangan di dada. "Menurut kamu, apa risiko terbesar dari sebuah perencanaan strategis jangka panjang?"

Pertanyaan yang cukup berat untuk mahasiswa semester satu yang baru masuk dua minggu. Suasana kelas hening, menunggu jawaban Intan. Sarah menatap Intan cemas.

Intan menarik napas panjang. Dia tidak mau terlihat bodoh di depan suaminya. Dia ingin membuktikan bahwa dia bukan "beban" seperti yang pernah dituduhkan Arga.

"Ketidakpastian lingkungan eksternal, Pak," jawab Intan lantang. "Rencana lima tahun bisa hancur dalam sehari kalau ada perubahan regulasi pemerintah, bencana alam, atau krisis ekonomi global. Jadi, rencana yang terlalu kaku justru bisa jadi bumerang. Perusahaan butuh fleksibilitas."

Hening sejenak.

Alis Arga terangkat satu. Ada kilatan terkejut di matanya, yang kemudian berubah menjadi... apresiasi? Sangat samar, tapi Intan bisa melihatnya.

"Jawaban yang bagus," puji Arga singkat. "Duduk."

Intan kembali duduk, jantungnya berdegup kencang. Teman-temannya menatapnya kagum.

"Gila lo, Tan! Pinter banget!" bisik Dinda.

Namun, drama belum selesai.

Saat mata kuliah berakhir, Arga tidak langsung keluar. Dia dirubung oleh sekelompok mahasiswi yang modus bertanya soal materi, padahal mata mereka menatap wajah Arga dengan lapar.

"Pak, kalau saya mau konsul materi ini di luar jam kuliah boleh nggak?" tanya salah satu mahasiswi dengan nada manja.

"Silakan buat janji lewat asisten saya atau datang saat jam kerja di ruangan saya. Pintu saya terbuka, tapi tidak dikunci," jawab Arga diplomatis, membuat para gadis itu terkikik.

Intan membereskan bukunya dengan cepat, ingin segera kabur dari situasi memuakkan ini. Dia berjalan menuju pintu keluar bersama Sarah dan Dinda.

"Intan!"

Sebuah suara memanggil. Bukan suara Arga, tapi suara yang tak kalah familiar.

Rangga Pangestu berdiri di dekat pintu kelas, tersenyum lebar sambil melambaikan tangan. Kakak tingkat populer itu mengenakan jaket denim yang membuatnya terlihat santai dan cool.

"Eh, Kak Rangga," sapa Intan kaget.

Kehadiran Rangga langsung menarik perhatian separuh kelas, termasuk Argantara yang sedang dikerumuni mahasiswi di depan. Mata Arga langsung beralih, menatap tajam ke arah pintu.

Rangga berjalan mendekat, mengabaikan tatapan kepo mahasiswa lain. Dia menyodorkan sebuah kotak bekal berwarna biru.

"Nih, ketinggalan di ruang BEM tadi pas lo balikin formulir pendaftaran UKM," ucap Rangga santai.

Intan menepuk jidatnya. "Ya ampun! Kotak makan gue! Makasih banget ya, Kak. Maaf jadi ngerepotin terus."

"Santai aja. Sekalian gue mau ngajak lo ke kantin, anak-anak teater lagi ngumpul. Lo jadi ikut audisi kan?" tanya Rangga antusias.

"Jadi dong!"

Intan tersenyum lebar. Rangga adalah satu-satunya alasan dia betah di kampus ini. Senior itu sangat baik padanya sejak insiden pingsan waktu itu.

Saat Intan dan Rangga hendak melangkah keluar, suara baritone yang dingin menginterupsi.

"Saudari Intan."

Langkah Intan terhenti. Ia menoleh. Argantara sudah membelah kerumunan mahasiswi dan berdiri tegak menatap mereka berdua. Jarak mereka sekitar lima meter, tapi hawa dinginnya terasa sampai ke tulang.

Suasana kelas mendadak hening lagi. Semua mata memandang drama kecil ini.

"Ya, Pak?" tanya Intan was-was.

"Kamu adalah penanggung jawab kelas (PJ) untuk mata kuliah ini, bukan?" tanya Arga.

Intan melongo. "Hah? Bukan, Pak. PJ-nya si Budi."

"Budi sedang sakit," dusta Arga dengan wajah datar tanpa dosa. Budi yang duduk di pojok belakang dengan sehat walafiat hendak protes, tapi Arga memberinya tatapan diam-atau-nilai-kamu-E. Budi langsung kicep.

"Mulai hari ini, kamu wakil PJ," putus Arga sepihak. "Ada berkas silabus yang harus kamu ambil di ruangan saya sekarang. Jangan pulang dulu."

Arga kemudian mengalihkan pandangannya ke Rangga. Tatapannya berubah menjadi tatapan permusuhan yang disembunyikan di balik topeng profesionalisme.

"Dan untuk Mas Rangga, tolong jangan ganggu mahasiswi saya di jam transisi kuliah. Biarkan dia fokus akademik dulu, jangan diajak pacaran atau nongkrong tidak jelas."

Wajah Rangga memerah, antara malu dan kesal. "Kami cuma mau ke kantin, Pak. Bukan pacaran."

"Saya tidak tanya," potong Arga tajam.

Arga kembali menatap Intan. "Ke ruangan saya. Sekarang. Saya tunggu lima menit."

Setelah itu, Arga berbalik dan berjalan keluar kelas dengan langkah lebar, meninggalkan keheningan yang canggung.

Sarah menyenggol Intan. "Gila... lo ditandain Pak Arga, Tan! Antara lo sial banget atau beruntung banget bisa dipanggil ke ruangannya!"

Intan hanya bisa tersenyum kecut. Beruntung apanya, batinnya merana. Itu artinya aku bakal disidang lagi gara-gara ngobrol sama Rangga.

Intan menatap Rangga dengan rasa bersalah. "Maaf ya, Kak. Dosen itu emang agak... sentimen kayaknya sama aku."

Rangga tersenyum maklum, meski matanya menyiratkan kekhawatiran. "Hati-hati, Tan. Kalau dia macem-macem, lapor gue."

Intan mengangguk, lalu berjalan gontai menuju "kandang singa"—ruangan suaminya sendiri.

Di dalam hati, Intan mengutuk nasibnya. Di kampus suaminya jadi idola yang dipuja-puja, tapi di balik layar, pria itu adalah diktator cemburuan yang bahkan tidak mau mengakui perasaannya sendiri. Dan Intan, adalah korban dari ego pria itu.

Perjalanan menuju ruang dosen terasa sangat jauh. Intan tahu, percakapan di dalam sana nanti tidak akan membahas silabus sama sekali.

1
Miramira Kalapung
Suka banget sama cerita nya Thor, semoga cepat update yah🥰🥰
sarinah najwa
miris sekali hudupnu pak dosen 😅silahkan menikmati buah dari perbuatAnmu ..
Rian Moontero
lanjuuuttt👍👍😍
Sri Wahyuni
Luar biasa
☠ᵏᵋᶜᶟ𝕸y💞Putri𖣤​᭄
sukurin Arga....
makan tuh gengsi Segede gaban😄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!