Revan adalah pria tampan dan pengusaha muda yang sukses. Namun di balik pencapaiannya, hidup Revan selalu berada dalam kendali sang mama, termasuk urusan memilih pendamping hidup. Ketika hari pertunangan semakin dekat, calon tunangan pilihan mamanya justru menghilang tanpa jejak.
Untuk pertama kalinya, Revan melihat kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri. Bukan sekadar mencari pengganti, ia menginginkan seseorang yang benar-benar ingin ia perjuangkan.
Hingga ia teringat pada seorang gadis yang pernah ia lihat… sosok sederhana namun mencuri perhatiannya tanpa ia pahami alasannya.
Kini, Revan harus menemukan gadis itu. Namun mencari keberadaannya hanyalah langkah pertama. Yang lebih sulit adalah membuatnya percaya bahwa dirinya datang bukan sebagai lelaki yang membutuhkan pengganti, tetapi sebagai lelaki yang sungguh-sungguh ingin membangun masa depan.
Apa yang Revan lakukan untuk meyakinkan wanita pilihannya?Rahasia apa saja yang terkuak setelah bersatu nya mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 Menghadapi Bersama
Pagi ini udara terasa begitu segar. Sisa hujan tadi malam masih menetes di ujung dedaunan, sementara embun tipis membungkus taman kecil di halaman hotel tempat keluarga Eliana menginap. Aroma tanah basah berpadu dengan wangi kopi yang baru diseduh, menciptakan suasana damai dan hangat.
Di ruang makan, keluarga Eliana dan keluarga Revan duduk bersama menikmati sarapan. Di meja telah tersaji roti hangat, omelet keju, buah segar, dan teh melati yang mengepul. Serta beberapa pilihan sarapan lainnya. Suasana tampak akrab dan diselingi gurauan kecil.
Nadia yang sejak tadi membantu menata piring sempat berkomentar, “Aduh, andai setiap pagi aku bisa sarapan begini, kayaknya berat badan naik lima kilo dalam seminggu.”
Eliana tertawa kecil, “Kalau begitu kamu nggak usah ke butik lagi, Nad. Cukup jadi tester menu hotel saja.”
Semua tertawa mendengar candaan ringan itu, termasuk nenek Sonya yang sejak pagi sudah tampil rapi dengan kebaya lembut warna krem.
Setelah sarapan usai, suasana menjadi sedikit sendu. Fatma dan Ridwan mulai bersiap untuk pulang ke desa. Eliana yang masih duduk di kursi menatap keduanya dengan mata berkaca-kaca.
“El, ayah dan ibu pulang dulu, ya nak. Kamu jaga diri baik-baik. Nanti begitu waktu pernikahanmu sudah dekat, ayah dan ibu pasti datang lagi,” ujar Ridwan lembut.
Eliana langsung memegang tangan ayahnya. “Ayah, Ibu… apa nggak bisa pulangnya besok atau lusa? El mau ajak jalan-jalan dulu. Sudah lama kita nggak pergi bareng,” pintanya dengan nada memelas.
Surya, ikut menimpali dengan tawa hangat. “Benar, Ridwan. Nikmati saja dulu waktu di sini, jangan buru-buru. Mumpung suasananya adem.”
Ridwan dan Fatma saling berpandangan sejenak. Ridwan lalu menjawab, “Maaf ya, Nak. Bukan ayah dan ibu tidak mau berlama-lama di sini, tapi ada pekerjaan yang harus segera ayah selesaikan. Kalau ditunda, nanti saat mendekati acara pernikahanmu malah belum rampung.”
Eliana mengangguk pelan, menahan kecewa. “Baiklah, Ayah, Ibu. Hati-hati di jalan, ya. Begitu sampai rumah, kabari El.”
Fatma tersenyum dan mengelus pipi putrinya. “Iya, Nak. Kamu tenang saja, kami akan baik-baik saja.”
Ridwan kemudian berpesan, “El, hati-hati di sini. Jaga diri baik-baik, ya.”
Belum sempat Eliana menjawab, Nadia menyahut sambil tersenyum lebar, “Ayah tenang saja, El kan sudah ada Revan yang siap sedia menjaga.”
Eliana spontan menyikut perut sahabatnya itu dengan pelan. “Nad! Jangan asal ngomong, deh!”
Semua yang ada di meja tersenyum melihat tingkah keduanya, kecuali Miranda
Surya kemudian ikut bicara, “Tenang saja, Ridwan. Ada kami di sini. Bukan cuma Revan, tapi aku juga akan menjaga Eliana. Dia bukan hanya calon menantuku, tapi juga anak dari sahabat lamaku.”
Ucapan itu membuat Ridwan merasa lega. “Terima kasih banyak, Surya. Aku tenang menitipkan El pada kalian.”
Miranda yang duduk di sebelah Surya hanya diam. Wajahnya tampak datar, tapi dalam hatinya bergemuruh. Meski semua akan menjaga nya, tapi aku tidak akan menyerah begitu saja, batinnya penuh tekad.
Ridwan kemudian beralih menatap Revan. “Revan, ayah dan ibu pulang dulu, ya. Ayah titip El. Jaga dia baik-baik. Ayah pegang janji yang kamu ucapkan waktu itu.”
Revan berdiri dan menatap penuh hormat. “Iya, Ayah. Re janji akan menjaga Eliana. Ayah nggak perlu khawatir, Re akan pegang janji itu.”
Mereka semua berpamitan, saling bersalaman dan berpelukan. Nenek Sonya pun ikut mengantar sampai depan hotel, menepuk lembut punggung Fatma sebelum naik ke mobil.
Eliana berdiri di samping Revan, matanya tak lepas memandangi mobil yang membawa orang tuanya pergi hingga hilang di tikungan jalan.
Di dalam mobil, Ridwan dan Fatma tampak berbincang ringan. Namun, Fatma masih menyimpan rasa khawatir. “Pak, apa Bapak merasa Miranda agak berbeda?” tanya Fatma pelan.
Ridwan mengangguk pelan. “Iya, Bu. Bapak juga merasa begitu. Dulu Miranda orangnya banyak bicara, sekarang kok dingin sekali.”
“Ibu khawatir, Pak… jangan-jangan dia tidak benar-benar menerima Eliana.”
Ridwan menghela napas panjang. “Sudahlah, Bu. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kita doakan saja, semoga putri kita selalu dalam lindungan-Nya.”
---
Saat yang lain masih berada di bawah, Miranda segera naik ke lantai atas dan menuju kamar hotel tempat mereka menginap semalam. Ia duduk di depan meja rias, menatap pantulan wajahnya di cermin. Ada kekhawatiran yang sulit ia sembunyikan.
Tangannya meraih ponsel yang tergeletak di nakas. Beberapa panggilan tak terjawab terpampang di layar. Begitu dilihatnya, semuanya berasal dari Dian.
Miranda segera menekan tombol panggilan. Tak lama kemudian terdengar suara dari seberang.
“Mira, kenapa kamu tidak menjawab panggilanku?” suara Dian terdengar cemas dari ujung sana.
“Maaf, Dian. Tadi aku di bawah, ponselku tertinggal di kamar,” jawab Miranda sambil menarik napas pelan. “Ada apa? Sepertinya penting sekali sampai kamu menelepon berkali-kali.”
“Aku ingin bertanya... apa kau bertemu dengan Celin?”
Mendengar nama itu disebut, Miranda langsung menegakkan tubuhnya. “Celin? Maksudmu... Celin sudah pulang?” tanyanya cepat.
“Iya, sore semalam Celin pulang,” suara Dian terdengar berat. “Aku dan papanya sudah menjelaskan semuanya, tapi dia tidak bisa menerima. Setelah itu dia langsung pergi ke tempat acara pertunangan Revan, dan sampai sekarang belum ada kabar darinya.”
Miranda terdiam sesaat, pandangannya kosong menatap ke arah cermin. “Tidak, aku tidak bertemu dengannya,” ucapnya datar. “Apa jangan-jangan Celin langsung menemui Revan?”
“Entahlah, aku juga tidak tahu pasti,” jawab Dian dengan nada khawatir. “Ya sudah, kalau begitu aku tutup dulu. Selamat pagi, Mira.”
Miranda menatap layar ponsel yang kini gelap. Jemarinya menggenggam benda itu erat. “Kenapa kamu baru pulang sekarang, Celin,” gumamnya lirih, “setelah Revan memilih wanita lain.”
Ia berdiri dengan cepat, mengambil tasnya. “Aku harus menemuinya. Dia pasti ada di apartemennya,” ucapnya dengan nada tegas.
Baru saja Miranda melangkah ke pintu, tiba-tiba Surya masuk. Pria itu menatap istrinya yang tampak tergesa-gesa.
“Kamu mau ke mana, Ma? papa mau bicara denganmu,” kata Surya sambil menutup pintu.
“Nanti saja, aku buru-buru,” sahut Miranda cepat tanpa menoleh.
“Mau ke mana buru-buru begitu?” Surya bertanya lagi, nadanya mulai terdengar serius.
“mama mau menemui Celin. Dia sudah pulang semalam,” jawab Miranda terus terang.
Wajah Surya langsung menegang. “Untuk apa kamu menemuinya? Papa ingatkan, jangan berbuat yang tidak-tidak, Ma. Papa tidak akan tinggal diam kalau mama membuat masalah.”
Namun Miranda tidak menggubris peringatan itu. Ia terus melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun, meninggalkan Surya yang hanya bisa menghela napas panjang.
Sementara itu, Revan sudah bersiap menuju kantor. Dan langsung mengantarkan Eliana kebutik nya.
Di dalam mobil, suasana terasa hening. Eliana hanya memandang keluar jendela, menatap sisa hujan yang masih menetes dari pepohonan di pinggir jalan.
Revan melirik sekilas, lalu tersenyum kecil. “Kamu kenapa diam saja, El? Ada yang kamu pikirkan?” tanyanya lembut. “Atau jangan bilang kamu menyesal dengan ikatan yang sudah kita jalin?”
Eliana menoleh pelan. “Tidak, Re. Aku tidak menyesal,” ucapnya dengan tenang. “Aku yakin ini yang terbaik untukku. Hanya saja...” ia menunduk sejenak, suaranya melemah, “aku cuma khawatir dengan sikap mamamu. Bagaimana kalau nanti Celin kembali dan mamamu memintamu untuk kembali padanya?”
Revan tersenyum tipis, lalu menggeleng. “Kamu tidak perlu memikirkan itu, aku harap kamu bisa sabar menghadapi mama. Tapi percayalah, kalaupun Celin kembali, aku tidak akan berpaling darimu. Sekalipun itu permintaan Mama.” Ia menatap Eliana dalam-dalam. “Kita hadapi semuanya bersama, oke?”
Eliana tersenyum lembut. “Aku percaya padamu, Re. Aku yakin kamu adalah takdir ku.”
Revan membalas senyumnya, lalu menggenggam tangan Eliana sebentar sebelum kembali fokus menyetir.
Sementara itu, Miranda sudah tiba di apartemen Celin. Ia datang tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Miranda membuka pintu dengan mudah karena ia juga memiliki akses masuk.
“Celin!” panggil Miranda dengan nada tinggi.