Sejak usia lima tahun, Raya Amelia hidup dalam neraka buatan ayahnya, Davin, yang menyalahkannya atas kematian sang ibu. Penderitaan Raya kian sempurna saat ibu dan kakak tiri masuk ke kehidupannya, membawa siksaan fisik dan mental yang bertubi-tubi. Namun, kehancuran sesungguhnya baru saja dimulai, di tengah rasa sakit itu, Raya kini mengandung benih dari Leo, kakak tirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
03
Aku terdiam. Tidak berani menjawab. Kata-katanya seperti belati yang menembus tulang, mencabik-cabik luka lama yang belum juga mengering. Di dalam hati, aku berteriak. Aku ingin membalas. Aku ingin menjerit, mengutuk semua kebencian yang ditumpahkan padaku. Tapi tak ada suara yang keluar. Hanya bisu dan rasa sakit yang semakin menyesakkan dada.
Linda menatapku dengan jijik, lalu berbalik meninggalkanku tanpa kata. Suara langkah sepatunya menggema di lantai marmer, seperti gema kekuasaan yang ia banggakan di rumah ini. Aku berdiri kaku di depan pintu, tak tahu harus ke mana, tak tahu harus berbuat apa.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, lalu melangkah menuju kamar. Kamar kecil di ujung lorong lantai dua yang sepi dan dingin, seolah sengaja dijauhkan dari kehidupan keluarga mereka yang "sempurna".
Begitu pintu tertutup, aku langsung tersungkur di lantai. Aku menangis tanpa suara, memeluk lututku erat-erat. Di sinilah tempatku melarikan diri. Di ruangan ini, aku bisa menjadi diriku sendiri, meskipun hanya dalam diam.
Mataku menatap meja kayu kecil di sudut kamar. Di atasnya, tergeletak sebuah foto tua. foto Mama yang sudah mulai pudar warnanya. Aku meraih bingkainya perlahan, membelai permukaannya seolah bisa menyentuh kulit Mama lagi.
"Mama... kalau Mama masih di sini, apa Mama juga akan membenciku?" bisikku pelan, suara tercekat oleh isak yang kutahan sejak tadi.
Aku tahu, semua ini bukan salahku. Aku tahu... Tapi kata-kata Linda terus berputar di kepalaku, membuatku ragu akan kebenaran yang sesungguhnya.
Lalu, suara langkah kaki berat terdengar dari luar. Langkah itu, aku sangat mengenalnya. Langkah yang selalu membuatku ketakutan.
Leo.
Jantungku berdegup kencang. Napasku tercekat.
Aku buru-buru meletakkan kembali bingkai foto ibuku dan beranjak berdiri. Mengunci pintu kamarku dengan cepat. Tanganku gemetar saat memutar kunci. Meski sudah terbiasa, ketakutan itu selalu datang dengan kekuatan yang sama.
“Kamu di dalam, Ray?” terdengar suara Leo dari balik pintu. Nadanya datar, tapi mengandung sesuatu yang membuat bulu kudukku meremang.
Aku tidak menjawab. Tidak berani.
“Buka pintunya, Raya. Aku cuma mau ngobrol,” katanya lagi.
Aku memundurkan diri pelan, menahan napas, berharap dia menyerah dan pergi.
Namun yang kudengar berikutnya adalah suara pintu diketuk pelan, ritmis, seperti irama ancaman yang ia ciptakan sendiri. Ketukan itu semakin cepat, semakin kuat.
“Raya, kamu tahu aku bisa buka pintu ini kan, kalau aku mau?”
Tubuhku mulai gemetar. Tangan dan kakiku lemas. Rasa takut yang dulu sempat mereda kini kembali menguasai tubuhku, melumpuhkan logikaku. Ini bukan sekadar ketukan... Ini adalah pengingat bahwa aku tidak pernah benar-benar aman di rumah ini.
Dan saat ketukan itu berhenti, sunyi justru menjadi lebih menakutkan. Aku menatap gagang pintu, berharap waktu berhenti.
Brakk...
Pintu terbuka, hanya dalam satu kali tendangan.
" Kau, ingin bermain-main dengan ku, ya," ucap Leo, dengan seringai yang menakutkan di wajahnya.
Aku terhuyung mundur, punggungku menabrak dinding. Napasku tercekat saat melihat sosok Leo berdiri di ambang pintu, tubuhnya tinggi besar menghalangi cahaya dari lorong, menciptakan bayangan pekat yang menjalar ke seluruh kamar.
Dia melangkah masuk perlahan, seperti seekor pemangsa yang tahu korbannya tak punya tempat berlari. Wajahnya masih menampilkan seringai itu, dingin, penuh kemenangan.
"Aku sudah capek kamu terus-terusan menghindar," katanya, menutup pintu di belakangnya dengan tenang. Klik. Suara kunci diputar dari dalam.
Aku tahu aku harus melakukan sesuatu. Tapi tubuhku beku. Otakku berteriak untuk kabur, untuk melawan, tapi kakiku menolak bergerak. Yang bisa kulakukan hanyalah menatapnya, sambil menahan air mata yang ingin tumpah lagi.
Leo mendekat. Setiap langkahnya seperti beban di dadaku.
"Raya, kamu manis kalau diam begini," ujarnya, tangannya terulur, mencoba menyentuh wajahku.
Aku reflek menepisnya.
"Jangan sentuh aku!" jeritku, suaraku pecah, tapi akhirnya keluar juga.
Dia terdiam. Hanya sebentar. Lalu tawanya pecah, rendah dan mengejek.
"Akhirnya bisa teriak juga, ya?"
Aku merogoh ke bawah laci meja, tanganku menemukan sesuatu, pena logam. Bukan senjata, tapi lebih baik daripada tidak ada apa-apa.
"Keluar dari kamarku," kataku pelan, mencoba tegar, meski suaraku bergetar. "Atau aku bakal... aku bakal lapor ke polisi."
" Hahaha... Polisi. Laporkan saja, lagi pula siapa yang akan percaya kepada mu," ujarnya sembari terus mendekat ke arahku. Aku tersudutkan dan tidak bisa melarikan diri, aku mencoba melayangkan pena yang berada di tangan ku, namun dengan mudah Leo menepisnya.
Leo mencengkeram pergelangan tanganku dengan kuat, membuatku meringis kesakitan. Pena yang tadi kugunakan untuk mencoba melindungi diri kini tergeletak tak berguna di lantai, tak mampu menjadi tameng sekecil apa pun.
“Kak, aku mohon… jangan lakukan itu,” ucapku dengan suara bergetar. Mataku memohon. Aku takut, sangat takut.
Namun yang kulihat di wajah Leo hanya kepuasan. Senyum licik yang muncul ketika dia tahu aku tak berdaya.
“Kenapa? Bukankah kamu sendiri yang membuatku kesal, Del?” katanya dingin.
“Kamu pikir kamu bisa terus lari dariku?”
Aku mencoba menarik tanganku, tapi cengkeramannya semakin kuat. Rasanya seperti tulangku hendak remuk. Air mataku jatuh, tapi aku menahan isak. Aku tidak mau dia melihat aku benar-benar hancur.
Tubuh kecil ku di lempar ke atas ranjang, lalu segera ia mengunci pintu. Tubuhku bergetar, air mataku mengalir deras membasahi pipi. Hal menjijikan itu akan terulang lagi, batinku.
Leo segera membuka kancing kemeja yang ia kenakan, dan melemparkannya ke sembarang tempat.
Ia mulai naik keatas ranjang sembari berkata.
" Kau akan terus menjadi budak nafsuku, Raya" suaranya terdengar serak, dan nafasnya mulai memburu.
" Jika, kamu melakukan itu, aku akan teriak," ucapku, mencoba untuk melawan. Namun aku tau itu akan percuma.
" Teriaklah sekeras yang kamu bisa, karena di rumah ini, hanya ada kita berdua," ujarnya dengan tangan yang mulai menggerayangi setiap inci tubuhku. Aku memberontak, mencoba menendang, dan memukuli tubuhnya. Namun itu tidak berpengaruh pada apapun, karena tubuhku jauh lebih kecil darinya.
" Bagus. Terus lah memberontak, itu akan menimbulkan sensasi tersendiri, dan aku sangat menyukai nya," ucapnya dengan seringai yang mengejek.
Dengan mudah, ia merobek pakaian yang aku kenakan. Dan dengan rakus ia mulai menghisap dadaku, hingga menimbulkan rasa aneh di dalam diriku. Aku jijik dan terus mengutuk diriku sendiri. Karena tidak sanggup untuk melawan.
" Hentikan.. jangan lakukan itu. Aku mohon," ucapku dengan airmata yang berlinang, saat Leo mulai menyatukan dirinya dengan ku.
Namun percuma, teriakkan dan tangisan ku tidak di dengar, Leo terus melanjutkan aktivitas nya. Seakan suaraku adalah melodi kelasik untuk memuaskan nafsunya.