NovelToon NovelToon
Bola Kuning

Bola Kuning

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:93
Nilai: 5
Nama Author: Paffpel

Kisah tentang para remaja yang membawa luka masing-masing.
Mereka bergerak dan berubah seperti bola kuning, bisa menjadi hijau, menuju kebaikan, atau merah, menuju arah yang lebih gelap.
Mungkin inilah perjalanan mencari jati diri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Paffpel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3

Ibu Arpa berasal dari Bandung, dan Arpa lahir di Bandung. Tapi ayahnya berasal dari Jakarta. Mereka tinggal beberapa tahun di Bandung, terus pindah ke Jakarta karena ayahnya lebih suka di Jakarta, Ibu Arpa juga setuju untuk pindah ke Jakarta, dan merekapun pindah ke Jakarta. Mereka punya dua rumah, satu di Bandung dan satu lagi di Jakarta.

Saat pertama kalinya Arpa kecil tinggal di rumahnya yang ada di Jakarta, dia berencana buat keliling, dia pengen berkenalan dengan lingkungan barunya.

Tangan kecil Arpa ngebuka pintu. “Bu!, pak!, aku keluar sebentar ya!”

Ibu Arpa menghampirinya. “Emang kamu mau kemana?” Tanya ibunya.

Arpa diam sebentar. Di menatap fokus sekelilingnya. “Enggak tau,” Arpa tertawa kecil. Matanya sedikit menyipit.

Ibu Arpa menepuk jidatnya sambil menghembuskan napas. “kamu mau pergi, tapi enggak tau mau kemana?”

Arpa mengangguk. “Iya bu, hehe,” dia menggaruk kepalanya.

Ibu Arpa natap fokus ke Arpa. Tangannya megang dagu. “coba kamu ke taman, siapa tau kamu dapet temen.”

Ibu Arpa keluar dari rumah sambil menarik pelan tangan Arpa. “kamu pasti enggak tau tamannya dimana kan, kamu lurus aja dari sini, terus belok kanan, nah terus lurus aja, nanti ada nama tamannya, Taman Semut, paham?”

Arpa mengangguk. “Paham, ya udah aku pergi ya,” Arpa langsung lari sambil melambaikan tangannya.

Setelah Arpa sampai di Taman Semut, dia kaget karena enggak ada siapa-siapa di situ. Hanya ada kucing yang sedang tidur dan burung-burung yang berkicau.

Arpa menyipitkan matanya dan melihat sekelilingnya dengan fokus. “Ini serius enggak ada siapa-siapa?”

Saat fokus mencari-cari, dia ngeliat ada anak yang sedang murung dan duduk sambil setengah bersembunyi. “Dia kenapa? Ngapain dia di situ? Kayanya dia lagi sedih,” Arpa jalan pelan-pelan menuju anak itu.

Arpa melambaikan pelan tangannya sambil natap lembut anak itu. Dia duduk di samping anak itu. “Hai, kamu ngapain di sini? Kayaknya kamu sedih, kenapa?”

Anak itu meringkuk duduk dan menundukkan kepalanya. Dia hanya diam, enggak mau jawab. Arpa tersenyum sambil menepuk punggung anak itu pelan-pelan. “Gapapa kok kalo gamau jawab, tapi aku tetap di sini ya.”

Setelah beberapa menit yang hening, anak itu mengangkat kepalanya dan melirik Arpa. Arpa nyadar dan langsung menengok. Anak itu langsung memalingkan dan menurunkan wajahnya lagi. Arpa memiringkan kepalanya sedikit. “Kenapa? Tadi kamu ngelirik aku loh,” Arpa bergeser mendekati anak itu.

Kepalanya sedikit terangkat dan ngeliat Arpa “Ga-gapapa,”. Dia langsung menurunkan kepalanya lagi.

Alis Arpa terangkat cepat. Kepalanya condong ke depan. “Oh! Kamu akhirnya mau bicara juga, siapa nama kamu?”

Perlahan-lahan anak itu berani mengangkat kepalanya. “J-Juan, Juan Yu-Yundara,” bahunya agak naik dan kaku. Dia kadang melirik Arpa lalu berpaling cepat.

“Juan Yundara! Itu nama yang keren, aku Arpa, Arpa Nuanta,” kata Arpa sambil menunjuk dirinya sendiri.

Arpa memiringkan kepalanya sambil megang dagu. “Hmmm, aku harus manggil kamu apa? Ju? An? Enggak enak banget, gimana kalau Jun?” Arpa menatap Juan dengan mata berbinar.

Juan sedikit tersentak.”e-eh? Jun? Ya udah deh.” Juan mengangguk pelan.

Juan sering menatap Arpa tapi langsung memalingkan mukanya. “Gi-gimana kalau aku panggil kamu Rap?”

Arpa bergerak cepat dan tiba-tiba. “Wow! Rap? Itu keren! Oke, kalau gitu aku manggil kamu, Jun, dan kamu manggil aku Rap ya,” Arpa tersenyum lebar.

Kepala Arpa mendekati Juan. Arpa menatap fokus Juan. “Kamu mau jadi temenku, Jun?”

Juan tersentak sedikit dan alisnya naik. Badannya sedikit menjauh dari Arpa. “Be-berteman? K-kenapa?”

Bahu Arpa tegak dan dadanya terbuka. “Enggak tau,” dia tersenyum puas.

Badan Juan tersentak dan matanya membesar cepat. “hah? Enggak tau? Kamu sedikit aneh ya, pfft–” Juan menutup mulutnya, menahan tawa yang hampir keluar. Kepalanya menunduk.

Arpa diam dan menatap fokus sebentar Juan. Dia menyenggol Juan sambil tersenyum. “hehe, kamu tadi ketawa ya?”

“Gimana? Kamu mau jadi temenku?” Tanya Arpa. Dia mengulurkan tangannya, seolah ingin berjabat tangan tapi hanya membuka dua jari.

Juan menggaruk tengkuknya. Matanya menyipit dan mulutnya sedikit terbuka. “Berjabat tangan? Kenapa hanya dua jari…?”

Dada Arpa sedikit membusung. Kepalanya terangkat ringan. “ini adalah jabat tangan yang aku buat sendiri, coba kamu angkat tanganmu dan tutup semua jari kecual jari telunjuk dan jari tengah, dan rapatkan keduanya, seperti dua orang yang berdiri bersama dan berdekatan kan? Jadi saat kita berdua berjabat tangan, itu seperti simbol agar kita berdua terus bersama dan berdekatan,” Arpa tersenyum.

Badan Juan condong ke depan. Tangannya sedikit terangkat. “Wow! Itu keren,” matanya membesar dan berbinar.

Merekapun berjabat tangan hanya dengan dua jari. Daun-daun berterbangan karena angin berhembus. Pohon-pohon bergoyang-goyang pelan. itu seperti janji

mereka berdua, agar terus saling menjaga dan membantu satu sama lain.

Tapi tiba-tiba ada gerombolan anak-anak yang datang ke taman itu. Mereka seperti ingin bermain bersama. Salah satu dari mereka sadar jika Juan ada di sana.

“Loh Juan? Ngapain masih di sini? Mending kamu pergi sekarang, kamu kan enggak punya ayah,” anak itu tersenyum miring. Anak-anak lain pun menertawakan Juan.

Mata Juan berkaca-kaca. Dia membuang mukanya sambil menggenggam erat celananya. Arpa ngelirik Juan dan langsung marah.

Arpa langsung bangun dari duduknya dan menatap tajam gerombolan anak-anak itu. “Hey! Kalian siapa?! Kenapa kalian mengejek Jun?!”

“hah? Jun? Siapa tuh? Lagian kamu yang siapa, si Juan enggak punya ayah sih,” kata anak itu sambil menyilangkan tangannya.

Arpa mengepal tangannya dan berlari menuju gerombolan itu. Arpa menonjok anak yang mengejek Juan hingga anak itu terjatuh.

Anak itu langsung nangis. Badannya gemetaran. “Ka-kamu, be-beraninya kamu, a-aku akan melaporkan kamu ke ayahku,” anak itu berlari pergi dari taman itu.

Arpa menatap tajam anak-anak lain. “Apa?! Kalian mau juga?!” Arpa memperlihatkan tangannya yang mengepal. Mereka semua ketakutan dan lari terbirit-birit.

Juan mengusap matanya. Matanya membesar cepat dan mulutnya terbuka. “Kamu menonjok mereka? K-kenapa?” Juan menatap Arpa.

Arpa menghampiri Juan. Dia duduk lagi di samping Juan. Pelan-pelan dia jadi tenang lagi. “Ya… mereka kan mengejek kamu, yaudah aku tonjok aja deh.”

Juan perlahan-lahan memalingkan wajahnya dari Arpa dan menatap tanah. “Ma-makasih ya.”

Arpa merangkul Juan. Dia nyengir puas. “Santai aja, kita sekarang kan temen, tapi kenapa mereka mengejekmu?”

Juan menurunkan kepalanya. “Mereka awalnya adalah temenku, tapi sejak ayahku meninggal, mereka selalu mengejekku, tadi aku murung juga karena mereka.”

Arpa tiba-tiba berdiri dan mengangkat tangannya sedikit. “Jun, mereka bukan temenmu lagi sekarang, karena temen itu tidak pernah mengejek, sekarang biar aku yang jadi temenmu,” Arpa tersenyum hangat dan mengulurkan tangannya.

Juan mengangkat kepalanya dan menatap Arpa. Matanya membesar cepat. Dia memegang tangan Arpa. Arpa menarik tangan Juan dan langsung merangkul Juan.

“Ayo kita pulang, Jun,” kata Arpa sambil tersenyum hangat.

Mereka berdua jalan bersama di bawah langit sore yang indah banyak burung-burung terbang di langit, mereka berdua saling berdekatan dan penuh dengan senyuman.

Di tengah perjalanan Arpa tiba-tiba terhenti dan diam sebentar. “Tapi rumahmu itu di mana, Jun?”

Juan menunjuk salah satu rumah yang lumayan jauh dari mereka. “Itu, yang itu, keliatan ga?”

Arpa menyipitkan matanya dan fokus menatap. “Yang catnya warna biru? di samping rumah cat warna hijau?” Tanya Arpa.

Juan mengangguk. “Iya, yang itu rumah ku.”

Arpa bergerak tiba-tiba dan cepat. Alisnya terangkat. “beneran?! Rumahku yang cat hijau, persis di samping rumahmu, berarti kita tetangga?”

Mata Juan membesar dan berbinar. “Wah! Itu bagus, berarti kita bisa ketemu dengan gampang.”

Mereka berdua melompat-lompat terus berlari dengan semangat menuju rumah mereka masing-masing sambil tertawa.

Merekapun sampai dan berada di depan rumahnya masing-masing. “Selamat tinggal, Jun,” Arpa tersenyum lebar.

Juan mengangguk. “Ya, selamat tinggal, Rap,” Juan tersenyum.

Mereka berdua masuk ke rumahnya masing-masing. Itulah kisah awal mula persahabatan mereka terbentuk, persahabatan yang penuh kebahagiaan dan kejujuran. persahabatan mereka mungkin akan retak nanti, tapi… mereka pasti akan kembali dan saling merangkul lagi.

1
HitNRUN
Nguras emosi
tecna kawai :3
Masih nunggu update chapter selanjutnya dengan harap-harap cemas. Update secepatnya ya thor!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!