Takdir kejam menuntutnya menjadi pengantin pengganti demi menebus sebuah kesalahan keluarga. Dan yang lebih menyakitkan, ia harus menikah dengan musuh bebuyutannya sendiri: Rendra Adiatmaharaja, pengacara ambisius yang berkali-kali menjadi lawannya di meja hijau. Terjebak dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan, Vanya dipaksa menyerahkan kebebasan yang selama ini ia perjuangkan. Bisakah ia menemukan jalan keluar dari sangkar emas Rendra? Ataukah kebencian yang tumbuh di antara mereka perlahan berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elin Rhenore, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teasing Each Others
Berdiri bersandar di kusen pintunya, Rendra memperhatikan sosok yang saat ini sedang tengkurap di atas pelampung besar berwarna orange yang mengambang di atas kolam renang. Ada sekilas senyum tipis saat memperhatikan perempuan itu, ada rasa heran yang tak pernah hilang tiap kali perempuan itu melakukan sesuatu di luar ekspektasinya.
Rendra jengah lama-lama berdiri hanya mengamati saja karena tak ada pergerakan sama sekali dari perempuan yang sedang tengkurap itu ia pun merasa khawatir. Akhirnya, Rendra melepaskan kemejanya dan membuangnya sembarangan lalu melompat ke dalam air.
Riak yang keras membuat sosok itu terkejut sampai terduduk.
"Ada apa? Apa ada gempa?"
Vanya melihat ke sekelilingnya, memastikan jika itu bukan gempa. Tapi jika bukan gempa lalu apa? Apakah ada seseorang yang melempar sesuatu ke dalam kolam.
Dalam kebingungan itu, tiba-tiba saja muncul sesuatu dari dalam kolam yang membuat Vanya terperanjat hingga akhirnya terjatuh juga ke kolam. Vanya bangkit dan melihat sosok yang kini begitu dikenalnya sedang menyandarkan diri di pinggir kolam, menunjukkan sisi tubuhnya yang terpahat begitu rapi dan menggoda.
"Apa yang kamu lakukan, mas? Bikin kaget aja!" Vanya menggerutu, tak terima tidur siangnya terganggu oleh seekor Rendra.
"Bukankah saya sudah pernah bilang jangan tidur sembarangan?" tanya Rendra acuh tak acuh.
"Lalu?"
"Lalu saya hanya berusaha membangunkanmu."
"Caranya sangat elegan sekali."
"Jadi kamu mau cara yang seperti apa?" pertanyaan itu meluncur begitu saja selaras dengan Rendra yang melangkah maju ke arah Vanya.
"Ngapain kamu dekat-dekat?" Vanya mengambil langkah mundur, dengan cepat tangan Rendra yang berada di bawah kolam meraih pinggang Vanya dengan mantap, mengangkatnya ke atas dan mendudukkannya di atas pelampung.
"Apa yang kamu lakukan, Mas?" Suara Vanya tercekat, hanya terdengar seperti ayam tercekik.
"Mencoba membangunkanmu dengan cara yang lain, coba kamu tidur lagi."
Kini Vanya terkekeh dengan geli mendengar permintaan Rendra yang tidak masuk akal dan kekanak-kanakan itu. Tak menyangka pria itu memiliki sisi humor yang seperti ini.
"Ayo, kita coba apakah tukang tidur seperti kamu bisa dibangunkan dengan cara lain."
"Oh, maksud kamu aku ini susah dibanguninnya?" protes Vanya dengan bibir cemberut.
"Masih bertanya? Apa kamu ingat saat pertama kali datang ke rumah ini. Kamu bahkan tidak ingat bagaimana caranya kamu sampai di lantai atas." Rendra menyentil hidung Vanya dengan gemas. Hal kecil itu membuat wajah Vanya bersemu dengan merah.
"Kenapa wajahmu memerah?" tanya Rendra lagi. Secara refleks Vanya menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, berusaha menutupi wajahnya yang memerah tanpa tahu sebabnya itu.
"Ah sudahlah, aku sudah puas berenang." Vanya berusaha mengalihkan pandangannya sembari turun dari pelampung itu, nahasnya, pelampung itu tak seimbang dan membuatnya kini terjatuh tepat di tubuh Rendra, membuat kulit mereka saling bersentuhan.
Air kolam yang semula dingin kini terasa menguap karena panas tubuh mereka yang mulai meningkat. Vanya tak beranjak dari tempatnya, ia membeku saat tangan Rendra menopangnya dengan kuat dan tampak seperti menahannya agar tak berpijak pergi.
Vanya bisa merasakan debaran jantung mereka yang berpacu kencang, rasanya terdengar seperti debaran itu lebih cepat dari detik waktu. Ia bisa merasakan detak jantung Rendra di bawah kulitnya — cepat, keras, dan nyata.
Rendra tak bergeming. Tatapan matanya mengunci wajah Vanya yang kini hanya berjarak sejengkal. Rambut Vanya yang basah terurai sebagian di wajahnya, meneteskan air, namun pria itu tak mengeluh sedikit pun. Sebaliknya, ia menatap gadis di hadapannya seakan tak percaya, bahwa hari-hari seperti ini benar-benar akan terjadi di dalam hidupnya.
"Mas, aku mau pergi." Vanya berbisik, begitu lirih sampai Rendra tak bisa mendengarnya.
Bukannya melepaskannya, Rendra mengeratkan genggamannya pada pinggang Vanya, tak rela membiarkan perempuan itu.
"Mas ... aku tahu apa yang coba kamu lakukan." Vanya menyentuh dada Rendra dan mendorongnya lembut, terdengar geraman rendah dari mulut Rendra, pria itu sedang menahan gejolak yang sedang menggelora di dalam tubuhnya.
"Kamu tidak akan berhasil menipuku, Tuan Rendra Adiatmaharaja."
Nama lengkapnya disebut membuat Rendra tersentak kembali pada kenyataan, dia melepaskan tangannya begitu saja dan kini menatap Vanya dengan alis yang terangkat.
"Memangnya apa yang coba aku lakukan, Little Cat?"
"Kamu ingin pamer bahumu yang sexy ini, 'kan? Makanya tidak membiarkan aku pergi. Kamu ingin aku melihatnya supaya aku tahu kalau bahumu itu sexy."
Tawa Rendra langsung meledak seketika, kemana perginya suasana gairah di antara mereka yang jelas sekali terasa tadi? Sungguh, kenapa perempuan ini ... Rendra bahkan kehabisan kata-katanya. Vanya memang selalu punya pikirannya sendiri.
"Jadi kamu mengakui kalau saya sexy?" tanya Rendra setelah tawanya lenyap, ia menunjukkan raut nakal di wajahnya.
"Bukan kamu ya, Mas. Tapi bahumu itu."
"Sama saja, Little cat. Kemarilah dan lihat lebih lama kalau kamu menyukainya."
Vanya menggelengkan kepalanya dengan kuat, ia segera melangkah ke pinggir kolam mencoba untuk kabur dari situasi yang membuat seluruh tubuhnya panas. Benar sekali, tubuhnya terasa begitu panas dan berkeinginan kuat untuk dipeluk, bagaimana jika tadi dia refleks memeluk Rendra begitu saja, bukankah akan jadi masalah?
"Tidak, aku tidak mau menodai mataku yang masih suci ini ya, Pak Tua Mesum!"
Bukannya tersinggung, Rendra hanya terkekeh mendengar ejekan Vanya.
"Tapi tanganmu sudah meraba-raba tubuh saya tadi."
"Ihhh! Itu beda ya mas, itu bukan meraba! Itu mendorong. MEN-DO-RONG!" Vanya menegaskan sembari melangkah keluar dari kolam renang.
Rendra enggan menjawab. Bibirnya terkatup rapat, tapi matanya... matanya bicara banyak. Di sisi kolam yang lain, dari balik permukaan air yang tenang, sorotnya tajam, dalam, nyaris lapar. Ia tak hanya melihat — ia mengamati. Mengikuti setiap gerakan Vanya dengan perhatian yang menggoda bahaya.
Tubuh Vanya perlahan naik dari kolam, kaki jenjangnya melangkah menaiki anak tangga satu per satu. Otot-otot Rendra menegang tanpa sadar, napasnya memburu saat matanya mengikuti garis air yang mengalir menuruni lekuk punggung Vanya, mengusap kulitnya yang lembut dan bersinar diterpa cahaya senja. Rambut Vanya yang basah menempel di punggungnya, menambah nuansa sensual yang nyaris tak tertahankan.
Tetes demi tetes air jatuh dari ujung rambutnya, menyusuri tulang selangkanya, menggoda mata yang tak pernah lepas darinya. Rendra menelan ludah, gerakannya lambat namun penuh ketegangan yang tertahan. Ada sesuatu dalam dirinya yang bangkit — bukan hanya hasrat, tapi rasa ingin memiliki. Rasa ingin menyatu.
Memang benar apa yang dikatakan Vanya, dia adalah pria mesum, dia menginginkan setiap inci tubuh itu untuk dirinya sendiri. Tapi tidak hari ini, tidak saat perempuan itu bahkan selalu mendorongnya menjauh. Akan ada saatnya nanti perempuan itu jatuh ke dalam pelukannya.
"Mas, jangan lama-lama. Ingat kita harus pergi ke rumah orang tuamu."
Dan kalimat itu menutup semua akses imaji Rendra Adiatmaharaja.
*
Di dalam wardrobenya, Vanya termenung untuk sesaat, ada beberapa gaun yang sudah disiapkan untuknya tapi dia tidak tahu harus mengenakan pakaian yang mana. Sekitar ada selusin gaun di sana.
"Apa aku minta pendapat Mas Rendra aja ya," gumamnya. Ia pikir itu adalah ide yang bagus. Bagaimana pun ini adalah keluarganya, Rendra pasti tahu mana pakaian yang cocok untuk bertemu dengan keluarga mereka.
Akhirnya Vanya pun mencoba sebuah gaun berwarna kuning cerah, ia memotret dirinya menggunakan smartphone dan mengirimkannya kepada Rendra yang berada di ruang kerjanya. Tapi ... saat menyadari sesuatu ia membuka kembali membuka pesannya.
Mata Vanya langsung melotot karena ia salah mengirimkan foto, itu bukan fotonya menggunakan gaun kuning yang baru saja ia kenakan tapi foto dirinya menggunakan lingerie hitam. Vanya langsung panik, ia pun segera menghapus pesan tersebut, berharap bahwa Rendra belum sempat melihat pesan tersebut. Tapi sayang sekali, balasan pesan yang diterima oleh Vanya sungguh di luar ekspektasinya. Rendra sudah melihat fotonya.
(Bisa dilihat isi pesannya ada di IG Author : _tearosee)
"Aduh, bodohnya aku. Kenapa bisa kirim foto itu sih. Dia pasti kegirangan dapat foto begitu. Dasar pria mesum!" geram sekali Vanya pada dirinya sendiri.
Untuk menghilangkan rasa malunya, Vanya berjalan mondar-mandir, berpikir apakah ia harus menjelaskan kesalahan ini pada Rendra agar pria itu tidak berpikir macam-macam tentang dirinya. Dia bukan perempuan yang mudah seperti itu, mengapa dia harus mengirimkan koleksi foto pribadinya kepada Rendra. Sial sekali.
"Jadi ...."
Suara maskulin ini mengejutkan Vanya, tubuhnya langsung membeku di tempat. Bahkan untuk menoleh melihat sosok itu pun Vanya tak bisa. Dia terlalu malu. Sangat malu. Vanya memang suka menggunakan pakaian yang sexy dan memotret dirinya sendiri tapi tidak pernah berniat mengirimkan seluruh koleksinya pada orang lain.
"Mana gaun yang ingin kamu tunjukkan kepada saya, Little Cat."
Vanya masih mematung di tempatnya.
"Saya tahu kamu coba buat flexing tubuh kamu yang sexy itu, sini mana saya lihat." Suara itu semakin dekat.
Jantung Vanya berpacu semakin kencang. Dia menggigit bibir bawahnya kesal.
"Kenapa sekarang kamu malu-malu? tadi kamu sangat bersemangat saat menunjukkannya kepada saya."
"Bukan maksudku ngirim koleksi pribadiku ya, Mas. Duh!" Vanya berbalik, wajahnya terlihat sangat kesal sekali, ia menatap Rendra dengan tajam. "Siapa juga yang mau flexing."
"Hmmm, kalau pakai gaun ini sih kamu tidak terlihat flexing memang," balas Rendra sembari memandangi Vanya dengan gaun kuning cerah yang menunjukkan figurnya seperti seorang gadis yang sangat ceria. Tapi bukan istri ceria yang diinginkan Rendra untuk dipertemukan dengan keluarganya.
"Coba kamu ganti yang lain!" pinta Rendra.
Vanya menatap Rendra tak percaya, apakah Rendra tidak membahas perihal foto yang salah kirim itu lagi?
"Kenapa malah diam, katanya kamu mau flexing. Ayo ganti yang lain. Itu ada banyak. Saya punya banyak waktu untuk melihatnya."
Vanya memutar bola matanya, ternyata tetap saja sama. Tapi dia tetap melakukan apa yang dipinta oleh Rendra.
Satu per satu Vanya mengambil gaun yang sudah disediakan itu, ia membawanya di fitting room dan membiarkan Rendra menunggu di luar.
Gaun pertama yang keluar adalah gaun berwarna biru saphire, beludru, melekat pas, dengan gloves sampai di lengan atas. Vanya terlihat cantik dan menawan, tapi sepertinya gaun itu lebih cocok digunakan saat gala dinner, bukan family dinner.
"Next." Rendra hanya melihatnya sekilas, lalu memainkan I-padnya lagi.
Kali ini Vanya dengan hati-hati memilih pakaiannya, ia mengambil sebuah gaun berwarna gold. Terlihat sangat heboh bahkan dirinya sendiri pun melihat di cermin berpikir bahwa gaun ini terlalu heboh. Tapi tak ada salahnya mencoba, ia lalu keluar dan menunjukkannya pada Rendra.
Bahkan pria itu hanya melirik saja. Tidak mengamatinya dengan baik.
"Kamu bukannya mau pergi ke Meet Gala, Anantari."
Vanya tersenyum konyol lalu kembali ke dalam wardrobe dan memilih pakaiannya. Ia kembali memilih-milih pakaian, melihat mana yang cocok.
Sebuah tangan tiba-tiba terulur saat ia memilih gaun tak sengaja menyentuh tangannya. Vanya menoleh dan mendapati Rendra sudah berdiri di belakangnya, pantas saja ia merasakan kehangatan di belakang punggungnya. Vanya hanya bisa menahan nafasnya ketika tubuhnya seperti dibungkus tubuh Rendra seperti ini.
"Pakai ini, coba dulu dan tunjukkan pada saya." Setelah memberikan gaun itu pada Vanya.
Vanya segera mencoba gaun tersebut, itu adalah gaun satin berwarna merah anggur tua dengan tali spaghetti yang lembut dan belahan tinggi di paha. Terkesan mewah dan berkelas. Vanya memutar tubuhnya beberapa kali untuk memastikan bahwa gaun itu pas di tubuhnya.
"Gaun itu sangat cocok."
"Eh, Mas! Kok kamu masuk tiba-tiba sih! Gimana kalo aku masih telanjang terus tiba-tiba kamu masuk!"
Rasanya Rendra ingin memijit pelipisnya dengan celotehan Vanya yang tak ada habis itu.
"Apa saya harus mengingatkanmu berkali-kali kalau kamu adalah istri saya, Anantari?"
"Hanya istri bohongan, jadi kita harus tetap jaga jarak."
"Bagaimana kalau saya tidak ingin melakukannya?"
Suara Rendra rendah dan dalam, seperti gumaman yang menggetarkan udara di antara mereka. Tangannya mendarat di pinggang Vanya, menariknya pelan hingga tubuh mereka tak lagi terpisahkan oleh jarak.
Vanya terdiam. Hembusan napasnya terhenti separuh jalan saat dadanya menyentuh dada Rendra yang hangat. Detak jantung mereka berpadu dalam irama yang tak terucap, namun terasa—di kulit, di dada, hingga ke dasar perut yang bergetar entah karena gugup... atau karena gairah yang mulai menyala.
"Mas..." bisik Vanya, nyaris tak terdengar.
Namun pria itu tak menjawab. Tatapannya menelusuri wajah Vanya perlahan—seolah ingin mengingat setiap jengkalnya, setiap detil kecil yang membuatnya kehilangan kendali. Jemarinya bergerak naik, menyentuh tulang belakang Vanya dengan sentuhan ringan, seakan menyulut bara di balik kulitnya.
Mata mereka terkunci. Napas mereka saling menyentuh. Dan di ruang kecil yang dipenuhi panas dan ketegangan itu, segala sesuatu terasa mungkin—bahkan sesuatu yang tak pernah mereka akui satu sama lain.
Tangan Rendra naik, menyentuh sisi leher Vanya, lalu berhenti di sana—tidak melangkah lebih jauh. Ia mendekat, hingga bibir mereka nyaris bersentuhan. Nafasnya menyapu bibir bawah Vanya yang sedikit bergetar.
"Saya ini pria normal, Anantari. Mengapa kamu terus menggoda saya."
"Aku tidak ...." Suara Vanya tercekat, ia hampir tak bisa mengeluarkan suaranya.
"Bahkan hanya dengan kehadiranmu ...."
"Mas, sadarlah ... tidak ada cinta di antara kita, pernikahan kita—" Belum sempat Vanya menyelesaikan kalimatnya, Rendra sudah membungkam bibir merah muda itu dengan bibir hangat miliknya.
...-- Bersambung --...
... ...
...Object Of Desire | 2025...
semangat nulisnyaa yaaaa