Raisa tidak menyangka bahwa hidup akan membawanya ke keadaan bagaimana seorang perempuan yang menjalin pernikahan bukan atas dasar cinta. Dia tidak mengharapkan bahwa malam ulang tahun yang seharusnya dia habiskan dengan orang rumah itu menyeretnya ke masa depan jauh dari bayangannya. Belum selesai dengan hidup miliknya yang dia rasa seperti tidak mendapat bahagia, malah kini jiwa Raisa menempati tubuh perempuan yang ternyata menikah tanpa mendapatkan cinta dari sang suami. Jiwanya menempati raga Alya, seorang perempuan modis yang menikah dengan Ardan yang dikenal berparas tampan. Ternyata cantiknya itu tidak mampu membuat Ardan mencintainya.
Mendapati kenyataan itu Raisa berpikir untuk membantu tubuh dari orang yang dia tempati agar mendapatkan cinta dari suaminya. Setidaknya nanti hal itu akan menjadi bentuk terima kasih kepada Alya. Berharap itu tidak menjadi boomerang untuk dirinya. Melalui tubuh itu Raisa menjadi tahu bahwa ada rahasia lain yang dimiliki oleh Ardan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eloranaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
03. Liontin Semanggi
Keluarga Ardan memiliki sebuah peraturan untuk tidak menempati rumah sendiri dan berpisah dengan orang tua sekalipun sudah berkeluarga. Hal tersebut tercetus dari ide Santi— ibu Ardan. Perempuan itu tidak ingin kesepian di hari tuanya dengan sang suami saja, Wardana. Meskipun begitu Gerald tetap membangun rumah yang masih dalam satu kota walau dia bersama istri dan anaknya lebih sering berada di rumah orang tuanya. Tempat seluruh kenangan terukir dari kecil hingga kini.
Bangunan besar dengan pintu tinggi dan tembok bercat putih, tidak lain rumah orang tua Ardan adalah wajah pertama yang Raisa lihat saat turun dari mobil. Tepat hari kepulangan ‘badan Alya’ dari dirawat di rumah sakit Raisa sekarang melihat hal baru dari kehidupan Alya.
Satpam rumah menyapa, “Selamat malam, Non. Sudah baikan?” Raisa mengangguk dan melempar senyum.
Dia beriringan masuk mengikuti langkah ibu Ardan memasuki tempat yang sangat asing baginya. Hal pertama menyita perhatian Raisa adalah foto yang menggantung pada dinding sisi kanan rumah. Sebuah foto keluarga besar terpampang di sana, kemudian di sebelahnya ada figura berukuran sedang menampilkan foto pernikahan Gerald dan Isma, Ardan dan Alya. Seluruh foto keluarga kecil Wardana bertengger manis dengan latar bukanlah di Indonesia, yang Raisa percayai itu diambil ketika hari kelulusan Gerald karena toga terpasang hanya ditubuhnya, terlihat setiap manusianya menunjukan senyum terbaik. Kemudian bingkai di sebelahnya berhasil membuat Raisa menjatuhkan pandangan begitu lama.
Sebuah bingkai kosong tanpa isi.
Apakah itu seharusnya diisi dengan foto kelulusan Ardan? Mengingat informasi yang dia dapat sebelumnya.
“Kamu ganti baju dulu ya, Al. Nanti kalau sudah ikut makan bareng. Sekalian kalau Ardan masih ada di kamar tolong panggil keluar suruh ikut makan malam.” Suara Santi menginterupsi dan mendapatkan anggukan Raisa.
“Tuh anak beneran bikin pusing, tahu kamu pulang bukannya jemput. Capek Ibu sama dia.” Santi melanjutkan, memijat pelipisnya penat.
Berjalan baru dapat lima langkah Raisa seketika berhenti. Telapaknya bergerak menggeplak dahi satu kali lantas berbalik, dalam hati terkekeh geli. Bisa-bisanya dia percaya diri begitu untuk ke kamar! Kan, dia tidak tahu tempatnya! Tidak mungkin dia harus mengelilingi rumah sebesar itu sekarang.
Raisa menatap Santi yang senantiasa melihatnya. Dia meringis samar dan berkata, “Menurut ibu Ardan ada di kamar yang mana?”
Santi menunjuk salah satu pintu di ruangan lantai dua.
“Hahaha, biasanya kamu selalu nggak perlu disuruh bakal lari sendiri ke kamar. Ini kenapa Nak Alya nunda buat bercanda dulu?”
“Lagi males ketemu Ardan, Bu.” Raisa menjawab sekenanya. Tanpa menunggu reaksi Santi dia melengos pergi dengan niat untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi Raisa seratus persen tahu, kehidupan baru yang dia jalani entah sampai kapan ini tidak akan sesusah itu untuk beradaptasi sebab ternyata sejauh ini orang-orang yang berhubungan dengan Alya tidak begitu mempermasalahkan atas keanehan yang Raisa tunjukan. Atau, memang itu masih termasuk kejanggalan yang dia tunjukan dalam batas wajar?
...****************...
Sesampainya di depan kamar yang dituding mertua Alya. Raisa berhenti sebentar, dia mendadak gugup dan jantungnya berpacu tak keruan. Ini kenapa begini? Rasanya dia seperti melakukan hal tidak benar karena mengunjungi tempat yang berisi suami Alya, entah ada atau tidak intinya dia gugup.
Berkali-kali dia memegangi kenop pintu, kemudian melepasnya. Ragu-ragu. Apa yang harus dia lakukan nanti kalau sudah ada di dalam? Ganti baju? Lalu? Bicara dengan Ardan dan memintanya untuk makan bersama? Nah, itu memang agendanya. Tapi… setelah selesai dia akan bagaimana di kamar itu? Baiklah, mungkin untuk hari ini dia akan tidur. Kemudian besok? Dan hari-hari setelahnya?
Terlalu larut dalam pikiran hingga Raisa tidak sadar dia menggigiti bibir bawahnya kuat sampai desis kesakitan keluar darinya.
“Keparattt! Denger panggilan gue nggak?!! Woi!!”
Jantung rasanya turun ke perut mendengar seruan keras dari dalam kamar. Sebuah seruan yang seperti sarat akan frustasi. Buru-buru, tanpa keraguan lagi Raisa memutar daun pintu dan menyelonong masuk.
“Ardan?” Suaranya kecil, memastikan.
Dari tempatnya berdiri Raisa mendengar kucuran air dan tanpa ragu dia mencari sumbernya. Sebuah kamar mandi dari kaca yang dilengkapi fitur smart-glass dia dekati. Tidak mampu dia lihat apa yang sedang terjadi di dalam. Raisa mengepalkan tangan dan membawa buku jarinya mengetuk lapisan buram tersebut.
“Ardan?” panggilnya lagi.
Tidak ada jawaban dari dalam meski sudah berusaha Raisa panggil berkali-kali akhirnya dia memutuskan untuk menjauh dari sana. Duduk di sisi ranjang.
Netranya bergerak liar mengamati kamar tersebut. Dinding putih kosong melompong, satu meja rias, meja belajar tetapi lebih pantas disebut meja kerja diisi PC yang harganya dia tahu itu semahal apa, lemari besar, ranjang besar yang sedang dia duduki, sofa panjang berlapis beludru dengan bantal kecil dan selimut yang jatuh berantakan di sisi.
Raisa yang sedang terlarut hampir lupa bahwa dia harus berganti baju. Buru-buru dia mencari pakaian ganti. Selepas mencapai lemari, sebuah kotak kecil mengganggunya, dia meraih, membukanya.
Sebuah kalung perak dengan liontin semanggi berdaun empat berkilau dan mawar putih kecil terlihat segar di atasnya, dia perhatikan seksama.
“Jangan berani lo sentuh itu!”
Raisa terpelonjat. Cepat berbalik ke belakang. Mata Ardan semacam belati memandang ke arahnya. Dengan susah payah Raisa menelan ludah, ketakutan membuncah. Dia cepat-cepat meletakan kotak tersebut ke tempat asal. Kembali menatap Ardan, rambut lelaki itu setengah basah dengan handuk putih menggantung di sekitar pusar sampai lutut bawah lutut, tubuh atasnya mengkilap karena air.
Sempat tertegun dengan bentuk tubuh Ardan yang proporsional Raisa segera menggeleng kepala. Dipelototi Ardan pandangannya seketika menunduk ke bawah. Reaksi alami sebab dia merasa bersalah.
Raisa justru malah beralih melihat ke arah telapak kanan Ardan yang menggenggam. Meskipun berusaha disembunyikan sebuah cairan merah kental tetap menetes ke lantai setitik demi setitik.
Raisa bergerak mendekat, Ardan mundur.
Raisa mendekat lagi, Ardan menjauhi .
Satu langkah Raisa melangkah ke depan, tiga kali Ardan ke belakang.
Akhirnya Raisa berhenti. “Tangan kamu kenapa?”
Segaris horizontal tampak menganga ketika lelaki itu sempat mengecek kondisinya tanpa disadari. Membuat Raisa ngilu melihatnya.
“Bukan urusan lo.” Ardan mendesis, Raisa tahu lelaki itu seperti menahan sakit dari mimik wajahnya. “Dan jangan berani lo sentuh benda tadi lagi!!” lanjut Ardan memeringati. Dia bergerak gesit, menyambar kotak kecil yang Raisa pegang tadi dengan tangan kirinya. Lantas berderap kembali ke kamar mandi.
Raisa mendengkus. Dia mengikuti Ardan. Lelaki itu langsung mengunci diri.
Bergerak mengetuk-ketuk kaca, Raisa berseru, “Tangan kamu nggak papa?? Boleh aku obatin?”
Tidak mendapat jawaban.
“Ardan?”
“Pergi, gila!”
“Nggak. Itu tangan kamu luka. Keluar, Dan, aku bantu obatin.” Raisa menggeleng tanda pertidaksetujuan atas perintah Ardan.
“Gue bisa sendiri! Pergi nggak lo!!!”
Mendengar teriakan frustasi Ardan, Raisa mengangguk samar. Mungkin lelaki tersebut enggan diganggu, terlebih lagi, dalam cerita teman Alya pria itu tidak menyukai Alya. Menurutnya jika dia terus memaksa, Ardan akan tambah murka. Dan tentu saja hal itu tidaklah baik.
“Oke, aku nggak bakal maksa lagi.” Akhirnya Raisa memilih menyetujui. “Habis ini tolong ke bawah ya, makan malam bareng. Bukan buat aku, tapi mama kamu. Atau nggak buat kamu sendiri biar nggak laper.”
Raisa perlahan bergerak kembali ke arah lemari, mencari baju nyaman untuk dia kenakan. Awalnya dia kebingungan, kebanyakan baju Alya ternyata tidak sesuai dengan seleranya. Kekurangan bahan, jika dia diminta untuk menggambarkan seperti apa koleksi bajunya. Hingga dia berakhir melihat pakaian yang lumayan lantas meraihnya.
Sebuah kaos putih polos yang kebesaran di badannya disetel dengan celana longgar. Pas. Dia tersenyum kemudian segera turun ke bawah bergabung dengan keluarga Ardan.