Seorang pemuda berusia 25 tahun, harus turun gunung setelah kepergian sang guru. Dia adalah adi saputra.. sosok oemuda yang memiliki masa lalu yang kelam, di tinggalkan oleh kedua orang tuanya ketika dirinya masih berusia lima tahun.
20 tahun yang lalu terjadi pembantaian oleh sekelompok orang tak di kenal yang menewaskan kedua orang tuanya berikut seluruh keluarga dari mendiang sang ibu menjadi korban.
Untung saja, adi yang saat itu masih berusia lima tahun di selamatkan okeh sosok misterius merawatnya dengan baik dari kecil hingga ia berusia 25 tahun. sosok misterius itu adalah guru sekaligus kakek bagi Adi saputra mengajarkan banyak hal termasuk keahliah medis dan menjadi kultivator dari jaman kuno.
lalu apa tujuan adi saputra turun gunung?
Jelasnya sebelum gurunya meninggal dunia, dia berpesan padanya untuk mencari jalan hidupnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarif Hidayat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 Terobosan
KREKK!
DUARR!
Suara terobosan kultivasi bergemuruh tajam di benak Rayan yang tengah berendam di dalam kolam.
Setelah berendam selama satu minggu penuh, menyerap setiap energi murni yang terkandung di air kolam, Rayan akhirnya berhasil menerobos ke Tingkat Kehampaan Tahap Pertama.
Berkat ajaran gurunya, ia tahu bahwa tingkatan kultivasi terdiri dari sembilan level:
Tingkat Bumi
Tingkat Langit
Tingkat Kesempurnaan
Tingkat Kehampaan
Tingkat Kesengsaraan
Tingkat Keabadian
Tingkat Suci
Tingkat Imortal
Tingkat Dewa
Sebuah keberuntungan besar bagi rayan, di usia yang masih sangat muda ia berhasil melampaui Tingkat Kesempurnaan dan mencapai Tingkat Kehampaan—sebuah loncatan yang mustahil bagi kultivator biasa.
Piuuh.
rayan menghembuskan napas kasarnya. Ia sungguh tidak menyangka air kolam itu mampu mendorongnya menembus batas.
"Terima kasih, Guru," lirihnya, melompat ke daratan dan mengenakan kembali pakaiannya. rayan kolam yang awalnya berwarna seperti susu kini berubah menjadi bening, tak berenergi.
"Aku tidak tahu sebenarnya air apa ini. Jika saja di masa depanku bisa menemukan air seperti ini lagi, menerobos ke tingkat selanjutnya bukanlah hal yang mustahil," pikir rayan.
Ia menyapu pandangan ke seluruh ruangan tersembunyi, lalu memasukkan semua tanaman herbal yang ada di sana ke dalam Cincin Penyimpanannya.
Merasa tidak ada alasan untuk berlama-lama, rayan langsung keluar dari balik air terjun.
"Guru, semoga ada cara di masa depan untuk kita bertemu lagi," gumam rayan, lalu melesat pergi meninggalkan tempat itu.
Tujuan pertamanya sebelum pergi ke kota adalah mengunjungi desa tempat orang tuanya dulu tinggal.
(Dendam di Desa Lama)
Dengan kecepatan yang meringankan tubuhnya, tak butuh waktu lama bagi rayan untuk tiba di desa tersebut. Setibanya di sana, rayan melihat kondisi desa itu sangat menyedihkan.
Yang tersisa hanyalah puing-puing rumah penduduk yang hangus terbakar dua puluh tahun lalu. Tidak ada satu pun manusia, bahkan makhluk hidup lain yang tinggal di desa itu.
rayan berjalan perlahan, memasuki reruntuhan rumah orang tuanya.
Air mata rayan tak terasa mengalir, teringat kejadian mengerikan dua puluh tahun yang lalu.
"Ayah, Ibu... Aku berjanji akan mencari tahu dalang utama di balik para bajingan itu," lirih rayan, niat membunuh tak terbendung memancar dari tubuhnya.
Wusss!
Niat membunuh yang sangat kuat itu bahkan membuat puing-puing bangunan di sekitarnya terhempas ke segala arah.
Dengan memegang liontin berisi foto kedua orang tuanya, hati rayan dipenuhi kebencian. Gurunya memang pernah bercerita bahwa ia telah membunuh para perampok itu, tetapi juga mengatan ada seseorang yang besar mengendalikan mereka.
Sesuai pesan gurunya, meskipun zaman ini jauh lebih damai daripada ribuan tahun lalu, di balik kedamaian itu, orang-orang berkedudukan tinggi sering kali bertindak sewenang-wenang terhadap orang lemah.
Wus!
Adu langsung menghilang dari desa itu. Kecepatan menghilangnya sungguh di luar akal sehat manusia.
(Konflik di kota senja)
Di sebuah kota besar bernama Kota senja, di area pasar yang cukup ramai, terjadi kerumunan di sebuah kios kecil. Pusat perhatian adalah sosok pemuda yang sedang menawarkan barang-barang antik.
"Lihat! Ini adalah guci peninggalan kaisar zaman dulu. Jika kalian memilikinya, keberuntungan besar akan terus mengikuti kalian!" ucap pemuda pemilik kios itu, menciptakan bisikan-bisikan penasaran di antara orang-orang.
"Karena hari ini adalah hari baik bagiku, maka aku akan menjualnya dengan harga sepuluh juta rupiah!" lanjutnya.
Harga yang disebutkan itu sontak mengejutkan kerumunan.
"Hei bocah, jangan menipu banyak orang dengan barang palsumu itu!"
Seorang pria kekar tiba-tiba muncul dengan tiga pria lain di belakangnya. Dilihat dari penampilannya, jelas mereka adalah preman pasar setempat.
"Palsu pantatmu! Beraninya kamu, pria jelek, mengatai barangku palsu! Apakah kamu belum tahu siapa aku? Aku adalah Sabdi sutena, dari keluarga pedagang kuat di pasar ini! Beraninya kamu mengeluarkan kata-kata sampahmu terhadap barang daganganku!" Pemuda pemilik kios itu langsung naik pitam.
"Astaga, pantas saja aku merasa semua barang di kios pemuda itu tampak bagus. Ternyata dia adalah keturunan dari keluarga sutena!" seru salah satu pengunjung.
"Ya, aku pernah dengar bahwa keluarga sutena punya aset kekayaan puluhan miliyar rupiah. Kedudukan mereka di kalangan pedagang memang cukup tinggi," timpal yang lain.
"Tapi kurasa pemuda itu tidak akan bernasib baik. Meski keluarganya kuat, dibandingkan dengan kedudukan pemilik pasar ini, jelas dia tidak bisa dibandingkan," bisik seorang pengunjung.
Semua orang di sana mengenali sosok pria kekar itu. Mereka hanya bisa diam, merasa iba melihat situasi yang akan terjadi.
"Bagus. Tidak heran kamu berani berbicara seperti itu padaku, bocah. Cih... Memangnya kenapa jika kamu keturunan keluarga Wira? Apakah kamu tahu siapa aku?" Pria kekar itu menyeringai.
"Biar aku jelaskan padamu. Aku adalah Robert, orang yang memegang kendali pasar ini. Jika aku mengatakan barangmu palsu, tentu saja barangmu adalah palsu!"
Pemuda itu—Sabdi—cukup terkejut mendengarnya. Ia tidak menyangka pria jelek di depannya adalah Robert, preman pasar yang terkenal kejam.
"Sial, aku tidak berharap bisa bertemu dengannya secepat ini," pikir Sabdi. Meskipun belum pernah bertemu langsung, ia sering mendengar reputasi buruk Robert.
"Bocah, karena kamu berasal dari keluarga sutena, aku akan memberimu keringanan atas sikapmu padaku, dan juga barang palsumu itu. Tapi sebagai balasannya, kamu harus memberikan semua barangmu itu padaku, dan selama satu bulan, kamu tidak boleh berjualan di pasar ini." Robert menatap Sabdi yang terdiam.
Brak!
"Kamu pikir aku orang bodoh, hah?! Jelas-jelas kamu datang untuk mengacau dan mengambil keuntungan dariku!"
"Robert, jangan tidak tahu diri! Kamu hanyalah bawahan Tuan Paul. Beraninya kamu bersikap tak tahu malu dengan kedudukanmu sebagai bawahan!"
"Biar aku tegaskan padamu, barangku asli! Semua barang yang aku jual asli! Jadi, kamu jangan mengira aku bodoh dan takut padamu. Jika memang barangku palsu, tolong buktikan!" teriak Sabdi.
Semua orang menahan napas. Situasi tampaknya semakin tak terkendali.
"Hahah, bagus-bagus! Aku menyukai keberanianmu, bocah. Hanya saja, kamu tampaknya tidak mengerti situasi." Robert tertawa keras.
"Kalian bertiga, beri bocah ini pelajaran!" Robert memberi perintah kepada ketiga bawahannya.
Robert sengaja berkeliling mencari hadiah ulang tahun untuk Tuan Paul, bos yang memgang kendali atas pasar ini. Saat melihat Sabdi memamerkan guci, Robert langsung tertarik dan sengaja mengatakan benda itu palsu demi keuntungan pribadi. Ia tidak menyangka Sabdi akan seberani ini melawan.
"Ka-kalian, apa yang ingin kalian lakukan? Biar aku tegaskan sekali lagi, aku adalah Tuan Muda dari Keluarga sutena! Jika kalian berani macam-macam padaku, aku pas—"
Belum sempat Sabdi menyelesaikan kata-katanya, salah satu dari tiga preman itu langsung memotongnya.
"Memangnya kenapa dengan Keluarga sutena? Memangnya kenapa jika kamu seorang Tuan Muda? Berani melawan Bos Robert, hanya penderitaan yang akan didapat!"
"K-kalian...?" Sabdi langsung merasa putus asa. Keberaniannya langsung lenyap. Meskipun ia seorang ahli beladiri, tingkatannya hanya berada di level dasar.
"Maaf, aku baru saja mendengar kamu akan menjual guci itu seharga sepuluh juta. Apakah aku boleh memeriksa keasliannya?"
Tepat ketika semua orang terdiam, merasa iba melihat nasib buruk Sabdi yang akan segera terjadi, sebuah suara tiba-tiba memecah ketegangan.