Hampir Semua orang di desa Black Sword membenci Risa Ariz. Anak yatim piatu itu dijauhi, dianggap terkutuk, dan dipercaya menyimpan makhluk kegelapan di dalam dirinya.
Muak diperlakukan layaknya sampah, Ariz memutuskan untuk berbuat onar. Ia tidak melukai, tapi ia pastikan setiap orang di desa merasakan kehadiran dan penderitaannya: dengan menyoret tembok, mengganggu ketenangan, dan menghantui setiap sudut desa. Baginya, jika ia tidak bisa dicintai, ia harus ditakuti.
Sampai akhirnya, rahasia di dalam dirinya mulai meronta. Kekuatan yang ditakuti itu benar-benar nyata, dan kehadirannya menarik perhatian sosok-sosok yang lebih gelap dari desa itu sendiri.
Ariz kini harus memilih: terus menjadi pengganggu yang menyedihkan, atau menguasai kutukan itu sebelum ia menjadi monster yang diyakini semua orang.
"MINOTO NOVEL"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MINOTO-NOVEL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22: TENTANG KUNCI UNTUK MEMBUKA KOTAK RAHASIA...
Ariz berpikir sejenak, lalu senyumnya mengembang. "Mungkin perkataan Bibi benar! Kalau aku olahraga setiap hari, energiku bisa melimpah!" ucapnya penuh semangat. "Dan aku akan berusaha menguasai semua elemen yang ada di desa ini!"
"Huh?" Bibi terheran-heran. "Apa kau pikir semudah itu menguasai semua elemen? Justru, menurut Bibi lebih baik kau menciptakan elemenmu sendiri. Elemen yang diciptakan dan digunakan oleh pemiliknya akan lebih menyatu dengan dirimu. Contohnya elemen angin milik pamanmu itu. Pamanmu pasti sangat terlatih karena elemen itu lahir darinya sendiri. Kekuatannya jadi luar biasa!"
"Jadi Bibi tahu tentang paman, ya?" tanya Ariz sedikit terkejut.
"Hmm." Bibi berdeham, sedikit kesal. "Apa kau lupa, ya? Bibi bisa melihat masa depan."
"Oh, iya! Aku lupa... Hehehe." Ariz tertawa canggung. "Bibi tadi bilang lebih baik aku menciptakan kekuatan sendiri daripada memakai kekuatan orang lain?"
"Tepat!" seru Bibi. "Kalau kau menciptakan kekuatanmu sendiri, kau bisa menggunakannya dengan mudah dan maksimal!"
"Eum... Tapi... bagaimana caranya?" Ariz terlihat bingung. "Bagaimana caranya biar aku bisa menciptakan kekuatanku sendiri?"
Mendengar pertanyaan itu, Bibi ikut terdiam dan berpikir keras. "Sebenarnya... Bibi juga tidak tahu," jawabnya pelan. Ariz terkejut, ia kira Bibi akan tahu jawabannya. "Mungkin... kau bisa coba mengobrol dengan pamanmu. Pamanmu pasti tahu cara menciptakan kekuatan sendiri," lanjut Bibi.
"Andai saja aku bisa," jawab Ariz dengan nada lesu. "Paman sudah pergi tadi siang. Dia bilang akan kembali lagi ke desa ini."
"Mungkin pamanmu sedang diberi tugas," ujar Bibi.
"Kira-kira... seperti apa ya, Desa Astranova itu? Apa sama indahnya dengan desa ini?" Ariz bertanya penuh rasa ingin tahu.
"Desa Astranova itu sangat jauh dari sini. Kau harus naik kapal untuk bisa sampai. Menurut Bibi, desa itu sangat indah. Mungkin... desa itu adalah desa tercanggih dari yang lainnya."
"Ah... Aku jadi ingin pergi ke sana," ucap Ariz penuh harap. "Apa orang-orang di sana lebih ramah daripada di sini?"
"Hmm, entahlah. Mungkin iya," tebak Bibi.
Ariz terdiam, merenung. Ruangan menjadi hening.
"Ah, sudahlah." Bibi memecah keheningan. "Menurutku, Desa Black Sword sama indahnya dengan Desa Astranova. Bahkan, Desa Astranova punya kekurangan yang sangat besar."
"Kekurangan terbesar? Apa itu?" Ariz penasaran.
"Gunung-gunung tinggi itu..." Bibi menunjuk gunung di balik jendela. "Desa Astranova hanya punya sedikit gunung, dan ukurannya tidak sebesar itu. Mungkin itu jadi kekurangan terbesar di sana."
"Hmm... sayang sekali. Itu artinya, setiap desa punya kekurangan dan kelebihannya masing-masing!" simpul Ariz.
"Hehe. Kau benar," Bibi tersenyum. "Tidak ada tempat yang sempurna untuk kita tinggali. Kadang ada tempat yang indah, tapi dihuni oleh orang-orang berhati buruk. Dan kadang ada tempat yang biasa saja, namun penghuninya baik-baik."
"Hmm. Perkataan Bibi ada benarnya juga," jawab Ariz sambil mengangguk.
"Hmm... Perkataan Bibi ada benarnya juga," ujar Ariz sambil mengangguk.
"Iya. Jika dipikir-pikir lagi, Bibi sudah lama tidak melihat Desa Astranova. Kampung Bibi ada di sana," kata Bibi, suaranya terdengar pelan.
"Itu berarti, Bibi dulunya tinggal di Desa Astranova?" tanya Ariz, menebak.
"Ya... begitulah. Tapi sejak peperangan sepuluh tahun yang lalu, Desa Astranova hancur. Banyak warga yang terpaksa pindah ke desa-desa tetangga. Salah satu yang paling banyak menampung warga Astranova adalah desa ini, Black Sword."
"Wah... kedengarannya menyeramkan, ya?" Ariz bergidik. "Pasti banyak korban yang dihabisi oleh Azura."
"Lebih tepatnya, para bawahan Azura juga. Astranova hancur karena ledakan yang sangat dahsyat. Bibi sampai lupa apa penyebabnya," Bibi terdiam sejenak. "Dan bukan hanya berdampak ke Astranova saja. Kau tahu Desa Vendora dan Desa Velmur? Kedua desa itu juga kena dampak ledakan, mungkin karena lokasinya dekat dengan Astranova."
"Desa Velmur dan Desa Vendora? Hmm..." Ariz terlihat berpikir keras, mencoba mengingat-ingat. "Rasanya tidak asing dengan kedua nama desa itu."
"Mungkin pamanmu pernah menceritakannya?" tebak Bibi.
"Ah! Benar!" seru Ariz. "Bibi pasti tahu, karena minggu lalu paman memang pernah cerita tentang dua desa itu." Ariz mengira, Bibi sudah tahu segalanya.
"Hah? Tidak, Bibi cuma menebak," jawab Bibi sambil tersenyum geli. Ternyata tebakannya benar.
"Lho? Bukannya Bibi bilang bisa melihat masa depan seseorang? Seharusnya Bibi sudah tahu apa yang kulakukan sebelum bertemu dengan Bibi."
"Eum... tidak, Ariz. Walaupun Bibi bisa melihat masa depan, Bibi hanya bisa melihat hal-hal yang benar-benar berpengaruh saja! Atau... mungkin Bibi bisa melihat masa depan orang yang Bibi kenal. Tapi, kan, Bibi baru kenal Kau seminggu yang lalu..." Bibi tiba-tiba menghentikan ucapannya, seperti ada sesuatu yang tidak ingin dia lanjutkan.
"Bibi bisa melihat masa depan yang berpengaruh? Seperti apa contohnya?" Ariz langsung memotong, penasaran. Mendengar pertanyaan itu, Bibi tampak sedikit lega.
"Ah... Eummm..." Bibi berpikir, seolah tidak mau melanjutkan perkataannya tadi. "Mungkin... Kunci yang diberikan pamanmu itu?"
"Kunci?" Ariz langsung merogoh sakunya dan mengeluarkan kunci. "Ini! Bagaimana Bibi bisa tahu? Apa kunci ini sangat berpengaruh?"
"Tentu saja. Kau harus cepat menemukan kotaknya. Karena di dalam kotak itu ada benda yang sangat luar biasa!"
"Hah! Benarkah?!" mata Ariz membulat. "Beri tahu aku, benda apa itu!"
"Eits! Bibi tidak akan memberitahu Kau, sebelum Kau menemukan kotaknya!" Bibi tertawa kecil.
Ariz terlihat kecewa. "Hah... bagaimana caranya?"
"Kenapa jadi lemas begitu? Seorang laki-laki sejati tidak boleh pantang menyerah! Apa yang pamanmu katakan sebelum dia pulang? Dia tidak akan memberitahu Kau letak kotak itu, 'kan? Itu artinya, Kau harus berusaha sendiri untuk mendapatkan apa yang Kau mau!"
"Eum... mungkin... perkataan Bibi benar?" ujar Ariz, setengah ragu.
"Tentu saja! Ingat! Usaha tidak pernah mengkhianati hasil!" Bibi menyemangati.
"Hmm... Bibi benar! Usaha tidak mengkhianati hasil! Aku akan terus berusaha mencari kotak itu!" semangat Ariz kembali membara.
"Nah, begitu baru hebat."
"Yap! Kalau begitu, aku pamit pulang! Aku akan coba mencari kotak itu di rumah!" Ariz bergegas berpamitan.
"Ah... tunggu sebentar!" Bibi masuk ke dalam rumah. Beberapa saat kemudian, dia kembali membawa sekotak makanan. "Bawa semua makanan ini. Jangan lupa dihabiskan, ya."
"Wah! Terima kasih banyak!" Ariz tersenyum lebar.
"Sama-sama. Sekarang Kau bisa mencari kotak itu dengan semangat, ya."
"Eum!" Ariz berjalan cepat menuju pintu. "Kalau begitu aku pamit, ya. Sampai jumpa, Bibi!" Ariz langsung berlari keluar, sambil melambaikan tangannya.
Melihatnya, Bibi tersenyum dan melambaikan tangan. "YA! HATI-HATI DI JALAN!"
bukan mencari kekuatan/bakat yang baru. sesuatu bakal bagus, kalau kita rajin👍