Cerita ini mengisahkan perjalanan lima teman—Aku, Danang, Rudi, Indra, dan Fandi—yang memutuskan mendaki Gunung Lawu. Namun, perjalanan mereka penuh ketegangan dan perdebatan sejak awal. Ketika mereka tiba di pasar aneh yang tampaknya terhubung dengan dimensi lain, mereka terperangkap dalam siklus yang tidak ada ujungnya.
Pasar Setan itu penuh dengan arwah-arwah yang terperangkap, dan mereka dipaksa untuk membuat pilihan mengerikan: memilih siapa yang harus tinggal agar yang lainnya bisa keluar. Ketegangan semakin meningkat, dan mereka terjebak dalam dilema yang menakutkan. Arwah-arwah yang telah menyerah pada pasar itu mulai menghantui mereka, dan mereka semakin merasa terperangkap dalam dunia yang tidak bisa dijelaskan. Setelah berjuang untuk melarikan diri, mereka akhirnya sadar bahwa pasar setan itu tidak akan pernah meninggalkan mereka.
Keputusasaan semakin menguasai mereka, dan akhirnya mereka harus menerima kenyataan bahwa mereka ternyata tidak pernah keluar dari pasar setan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pradicta Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masalah Sejak Awal
Pagi itu, kami akhirnya memutuskan untuk berangkat ke Gunung Lawu. Setelah berhari-hari merencanakan perjalanan, menyiapkan peralatan, dan membahas segala kemungkinan yang bisa terjadi, akhirnya kami berada di titik ini. Pendakian yang kami tunggu-tunggu. Meskipun dengan semangat tinggi, tetap saja ada perasaan cemas yang terus menghantui pikiran kami.
Kami memulai perjalanan dari basecamp sekitar pukul tujuh pagi. Udara pagi itu cukup segar meskipun awan mulai terlihat menutupi langit yang sebelumnya cerah. Semangat kami masih tinggi saat memulai langkah pertama. Semua perlengkapan sudah kami bawa dan kami semua terlihat antusias meskipun sedikit tegang. Aku sendiri juga galau antara bersemangat dan khawatir karena pertama kalinya kami semua mendaki gunung yang menantang.
"Gais, ini bakal jadi petualangan yang luar biasa!" Fandi mengatakan dengan penuh semangat dan mencoba memecahkan ketegangan yang terasa di antara kami.
Tak lama setelah kami mulai melangkah, suasana berubah sedikit mencekam. Danang, yang biasanya ceria dan santai, terlihat mulai serius. Dia memandang ke arah jalur pendakian yang semakin menanjak dan berbatu, lalu berkata, "Gue rasa, perjalanan ini nggak akan mudah, bro. Jalurnya udah mulai berat dari sini."
Rudi yang berjalan di depan mendengarnya, kemudian menoleh dan menyahut, "Ya, memang bakal capek. Tapi kan kita udah siap fisik dan mental. Kita pasti bisa dan pasti sampai puncak."
Indra yang sebelumnya tampak tenang, kali ini terlihat agak cemas. "Tapi, cuaca mulai nggak bersahabat nih," ujarnya sambil menatap langit yang mulai mendung. "Kita harus waspada, jangan sampai cuaca buruk datang tiba-tiba."
Aku ikut memperhatikan langit yang memang mulai berubah. Awan-awan gelap berkumpul di atas dan angin mulai bertiup kencang sehingga membuat pepohonan di sekitar kami ikut bergoyang. "Iya, nih. Harus hati-hati, jangan sampai kita ketemu hujan lebat," kataku yang mulai merasa khawatir.
Fandi yang masih terlihat ceria mencoba untuk menenangkan kami semua. "Nggak usah khawatir. Hujannya belum tentu datang. Dan kalaupun nanti hujan, kita cari tempat berlindung. Yang penting kita tetap semangat dan terus maju."
Tapi, ketegangan mulai terasa, terutama di wajah Danang. "Lo bisa bilang gitu karena lo gak tahu seberapa kuat fisik kita. Ini baru awal, tapi jalurnya udah mulai susah. Gue khawatir nanti kita bakal kehabisan tenaga di tengah jalan."
Rudi menatap Danang dan agak tersinggung dengan perkataannya. "Jangan pesimis, Nang! Kita pasti kuat, kok. Gak ada alasan buat mundur. Lagian, masih jauh ke puncak, kita baru mulai."
Tapi aku bisa merasakan bahwa ketegangan itu mulai terasa lebih nyata. Kami semua mulai merasakan bahwa perjalanan ini bukan sekadar soal fisik, tapi juga soal mental yang harus kuat untuk terus melangkah. Bukan hanya Danang yang merasa berat, aku juga mulai merasakan kepenatan yang mulai menggerogoti semangat kami. Kami semua memang sudah mempersiapkan segala sesuatu, tapi kenyataannya lebih sulit dari yang kami bayangkan.
Indra yang berjalan di sampingku akhirnya berbicara, "Kalian yakin kita nggak salah jalur? Gue mulai ngerasa jalur ini semakin menanjak dan makin susah aja."
Fandi yang berjalan di depan mendengar kekhawatiran kami dan menjawab, "Kita nggak salah jalur, kok. Jalurnya memang curam, tapi ini jalur yang sudah banyak dilalui pendaki. Jangan terlalu khawatir, kita bisa istirahat kalau udah capek."
Kami melanjutkan perjalanan meskipun langit semakin mendung dan angin bertiup semakin kencang. Danang yang awalnya terlihat lebih santai, kini mulai terlihat lelah. Dia sering berhenti sejenak, menghela napas panjang, dan menatap jalur yang semakin terjal. Setiap kali kami melanjutkan langkah, ada perasaan tidak nyaman yang muncul. Kami berusaha tetap optimis, tapi semakin lama perjalanan ini terasa semakin berat.
Tiba-tiba, Rudi yang berjalan di depan berteriak, "Awas, batu licin!" Kami semua langsung berhenti dan berusaha menjaga keseimbangan. Ternyata, salah satu jalur pendakian memang dipenuhi batu besar yang licin yang membuat kami harus berhati-hati saat melewatinya.
Indra yang sudah agak kelelahan menatap jalur di depan dengan penuh kekhawatiran. "Gue rasa kita harus cari tempat berlindung deh. Cuaca makin nggak bersahabat dan jalanan semakin susah."
Fandi menoleh ke belakang dan melihat kami semua tampak lebih lelah. "Gimana kalau kita berhenti dulu? Istirahat sebentar sambil nunggu cuacanya lebih baik."
Kami semua setuju. Setelah itu, kami berhenti di sebuah dataran kecil di pinggir jalur. Angin semakin kencang dan kami merasa perlu melindungi diri dari hujan yang mulai turun. Kami mengeluarkan jaket, mempersiapkan perlengkapan pelindung dari hujan, dan duduk sejenak untuk mengumpulkan tenaga. Kami semua diam dan merenung masing-masing. Ketegangan semakin terasa dan rasa cemas yang mulai timbul semakin sulit untuk diabaikan.
"Lo yakin kita bisa lanjut?" tanya Danang, dengan nada yang lebih serius. "Jalur ini semakin berat, cuaca nggak mendukung, dan gue mulai ngerasa capek banget."
Indra mengangguk pelan, "Gue juga khawatir. Tapi kita harus tetap coba. Gue nggak mau kita gagal di tengah jalan. Ini bisa jadi kesempatan terakhir kita buat ngerasain sesuatu yang berbeda."
Aku menatap wajah mereka semua. Mereka semua terlihat kelelahan dan ada sesuatu yang terasa berat di udara. Keputusan untuk melanjutkan perjalanan sekarang bukan hanya tentang kekuatan fisik, tapi juga tentang keberanian untuk menghadapinya. Aku bisa merasakan ketegangan itu semakin dalam. Dan sejujurnya, aku pun mulai ragu.
Tapi Fandi, dengan semangatnya yang tak tergoyahkan, memecah kebisuan itu. "Gais, gue ngerti kalian capek, tapi ini belum seberapa. Kita belum sampe puncak dan gue yakin kita bisa lanjut. Kita semua bisa, asal kita nggak menyerah."
Aku menghela napas, mencoba menguatkan diri. "Kita bener-bener harus kuat, Gais. Gak cuma fisik, tapi mental kita juga diuji di sini. Kita nggak boleh kalah sama rasa lelah ini."
Danang yang awalnya ragu, akhirnya mengangguk. "Oke, kalau gitu, kita lanjut. Tapi kita harus hati-hati, jangan sampe ceroboh."
Dengan semangat yang mulai terkumpul kembali, kami melanjutkan perjalanan. Setiap langkah terasa lebih berat, tapi kami berusaha untuk terus maju. Angin yang semakin kencang dan hujan yang mulai turun membuat perjalanan semakin menantang. Jalur yang curam dan licin semakin membuat kami berhati-hati. Kami harus ekstra waspada setiap kali melangkah karena setiap batu dan jalanan yang licin bisa membuat kami terjatuh.
Meskipun cuaca semakin buruk, kami tetap melangkah dengan perlahan. Keputusan untuk melanjutkan pendakian ini sudah kami buat dan kami harus berjuang untuk bisa mencapainya. Perjalanan ini tidak akan mudah dan kami mulai menyadari bahwa tantangan yang lebih besar masih menanti di depan. Ketegangan, kekhawatiran, dan keraguan semakin membuat kami semakin semangat untuk menatap puncak Gunung Lawu.