NovelToon NovelToon
Brautifully Hurt

Brautifully Hurt

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Seiring Waktu / Nikahmuda / Sistem / Nikah Kontrak
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: PrettyDucki

Narendra (35) menikah untuk membersihkan nama. Adinda (21) menikah untuk memenuhi kewajiban. Tidak ada yang berencana jatuh cinta.

Dinda tahu pernikahannya dengan Rendra hanya transaksi. Sebuah kesepakatan untuk menyelamatkan reputasi pria konglomerat yang rusak itu dan melunasi hutang budi keluarganya. Rendra adalah pria problematik dengan citra buruk. Dinda adalah boneka yang dipoles untuk pencitraan.

Tapi di balik pintu tertutup, di antara kemewahan yang membius dan keintiman yang memabukkan, batas antara kepentingan dan kedekatan mulai kabur. Dinda perlahan tersesat dalam permainan kuasa Rendra. Menemukan kelembutan di sela sisi kejamnya, dan merasakan sesuatu yang berbahaya dan mulai tumbuh : 'cinta'.

Ketika rahasia masa lalu yang kelam dan kontrak pernikahan yang menghianati terungkap, Dinda harus memilih. Tetap bertahan dalam pelukan pria yang mencintainya dengan cara yang rusak, atau menyelamatkan diri dari bayang-bayang keluarga yang beracun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrettyDucki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Proposal Hidup

ISTANA NEGARA - RUANG TAMU PRIBADI

Dinda duduk di sofa berbalut kulit coklat tua, tubuhnya tegak tapi jari-jarinya saling menggenggam erat di pangkuan. Ruangan itu dingin. Entah karena pendingin ruangan, atau karena tekanan yang menggantung di udara.

Pintu terbuka.

Brata masuk dengan jas biru tua dan langkah mantap. Meski rambutnya sudah mulai memutih, posturnya masih tegap. Tatapannya tajam, suara sepatu kulitnya menggema di lantai marmer.

"Dinda," sapanya ramah, terlalu ramah untuk sesuatu yang sifatnya politis.

Dia mengulurkan tangannya pada Dinda dan mereka berjabat tangan.

Lalu ia duduk di hadapan gadis itu, "Terima kasih sudah datang."

"Sama-sama, Pak." Dinda mengangguk sopan, aman, netral. Ia tidak ingin salah langkah.

Brata menatapnya sejenak, "Maaf ya, kamu pasti terkejut waktu dengar kabar dari ayahmu soal permintaan saya."

Dinda diam, tidak tau harus menjawab apa. Bahkan napasnya pun ia atur, jangan sampai terlihat gugup.

"Ayahmu orang yang saya hormati," lanjut Brata. "Kami sudah melewati banyak hal bersama. Dan saya percaya, putri Seno pasti bukan anak biasa."

Entah kenapa Dinda merasa kata-kata manis itu terdengar seperti tali yang siap menjeratnya.

Brata tersenyum, "Kamu mirip ibumu, ya. Tenang. Tapi sepertinya keras kepala kalau sudah punya pendirian."

"Mungkin.. Nggak banyak yang bilang gitu, Pak." Jawab Dinda seadanya. Ia tahu komentar itu basa-basi, pembuka untuk sesuatu yang lebih besar.

Brata menautkan jemarinya, berdehem sekali sebelum melanjutkan, "Jadi, saya tahu ini bukan pertemuan biasa. Bukan juga permintaan biasa. Kamu pasti sudah dengar dari ayahmu... Rendra butuh pasangan. Dan kamu... menurut saya, pilihan yang paling tepat."

"Kenapa saya?" Kali ini Dinda mengangkat wajahnya, suaranya tenang tapi tajam.

"Saya bukan siapa-siapa. Saya bahkan belum punya gelar sarjana. Saya juga nggak pernah bertemu dengan Mas Rendra."

Brata tersenyum samar, "Saya butuh seseorang yang tidak punya agenda. Tidak tertarik kekuasaan. Bukan bagian dari permainan politik."

"Saya akan dijadikan semacam... boneka?" Tanya Dinda tanpa basa-basi.

Tatapan Brata mengeras sedikit. Tapi ia tetap tenang, "Saya tidak sedang mencari boneka, Dinda. Saya hanya berusaha menyelamatkan reputasi anak saya."

Jujur. Setidaknya pria ini tidak bertele-tele.

"Saya tahu apa yang orang pikirkan soal Rendra. Dan saya tahu kamu juga sudah dengar semuanya. Tapi dia bukan pria yang kamu dengar dari media. Dia hanya... hidup dalam sorotan yang tidak dia minta." Ia berhenti sebentar, lalu sambil menatap Dinda lekat ia berkata, "Saya ingin kamu tahu, ini bukan paksaan. Ini tawaran dan permintaan tolong." Pria itu menyampaikannya dengan kata-kata yang sangat sopan.

"Apa yang Bapak harapkan dari saya?" tanya Dinda akhirnya.

"Temui Rendra. Bicara dengannya. Kalau setelah itu kamu tetap menolak, saya tidak akan menahanmu. Tapi saya percaya kamu akan melihat sesuatu yang berbeda."

Dinda menatap pria itu. Presiden negara ini, duduk di hadapannya seperti seorang ayah yang minta tolong. Ia benci dirinya karena mulai merasa bersimpati.

"Baik, Pak," jawabnya pelan. "Saya akan temui Mas Rendra. Tapi seperti yang saya bilang ke Ayah saya... itu tidak berarti saya setuju dengan pernikahan ini."

Brata mengangguk, ekspresinya sulit ditebak. "Cukup. Itu sudah lebih dari cukup."

Dan saat ia berada di lorong koridor setelah keluar dari ruangan Brata, tubuhnya terasa lebih berat dari sebelumnya. Sambil melihat pantulan dirinya di cermin yang terletak di sudut ruangan, ia bertanya dalam hati. Apa yang yang telah ia lakukan? Ia baru saja menyetujui langkah kecil menuju sesuatu yang ia tahu bisa mengubah seluruh hidupnya.

...***...

Satu Minggu Kemudian

Dan di sinilah ia sekarang. Memandang dirinya di cermin, bersiap-siap untuk bertemu Rendra. Sebenarnya ia tidak terlalu yakin pada apa yang sedang dilakukannya.

"Din, kamu udah siap? Itu Mas Rendra udah dateng." Suara ibunya terdengar dari arah pintu.

Dinda menoleh, "Ya, sebentar." Ia menelan ludahnya gugup.

Ini kencan buta pertamanya, dan pasangannya bukan orang biasa. Seperti apa ia harus bersikap? Dinda menarik napas dalam-dalam. Oh ayolah, ia harus terlihat wajar.

Dinda berjalan sangat lambat menuju ruang tamu, kemudian melihat pria itu di sana. Duduk bersandar di sofa, berhadapan dengan ayahnya, entah sedang bicara apa. Setelah menyadari kehadiran Dinda, ia berdiri. Mereka kini berhadapan.

Ya ampun, dia sangat tampan. Dinda sering melihatnya di media, tapi bertemu langsung seperti ini rasanya sangat berbeda. Dia punya semacam... aura.

Tubuhnya tinggi dan atletis, mungkin sekitar 185cm. Struktur wajah tajam, rambut coklat gelap, dan iris mata berwarna hazel. Wajahnya terlalu Eropa untuk nama Jawanya. Dengar-dengar mendiang ibunya orang Jerman.

Dia adalah pria paling menarik yang pernah Dinda temui secara langsung seumur hidupnya. Tipe pria dewasa dan memikat yang tidak pernah ada di lingkungannya.

Butuh beberapa detik bagi Dinda untuk sadar dari keterpanaan. Mata mengerjap cepat seirama dengan detak jantungnya.

"Rendra." Ia mengulurkan tangan kemudian tersenyum. Samar sekali. Suaranya rendah, tapi ringan.

Dengan canggung Dinda menyambut ulurannya, mereka berjabat tangan. Ada getaran aneh saat kulit mereka bersentuhan. Dinda cepat-cepat menarik tangannya.

"Mau jalan sekarang?" Tanya pria itu, nada bicaranya sopan.

"Ya." Dinda mengangguk.

Beberapa menit kemudian, Dinda sudah duduk canggung di Mercedes S Coupe milik Rendra, sesekali memainkan jemarinya sendiri untuk menahan gugup.

"Kamu udah makan siang?" Tanya Rendra memecah keheningan.

"Udah, jam dua belas tadi." Jawab Dinda. Tentu saja, ini sudah jam dua siang.

"Okay. Kalo gitu, kita ke coffee shop aja." Ia menoleh sebentar, bibirnya sedikit terangkat, tidak sampai tersenyum.

Sepanjang perjalanan mereka nyaris tidak bicara. Rendra fokus menyetir, Dinda diam menjadi penumpang yang baik. Beberapa kali tatapan mereka bertemu di kaca spion. Entah bagaimana itu membuat sesuatu di dalam dadanya bergemuruh. Ia berdebar-debar. Astaga, ini mulai berlebihan. Ia tidak boleh merasa seperti ini.

Begitu tiba di coffee shop, mereka turun dan jalan berdampingan. Dinda mencoba mengikuti langkah Rendra yang lebar dan cepat. Ketika masuk, Rendra memandu Dinda ke pojok ruangan. Sudut paling privat. Satu sofa panjang, dua kursi kayu.

"Kamu mau duduk di sana?" Dia menunjuk sofa.

"Lebih nyaman, dan aku bisa lihat kamu lebih jelas." Lanjutnya pelan, seperti perintah yang sopan.

Untuk sesaat Dinda menyadari bahwa pipinya memerah. "Oh, okay." Jawabnya, sambil duduk. Kemudian menyesuaikan posisi tasnya di pangkuan.

Seorang pelayan datang dan mereka memesan dengan cepat.

"Jadi kamu semester berapa sekarang?" Tanyanya sambil mencondongkan tubuh ke arah Dinda.

"Semester empat." Dinda merapikan rambutnya yang tidak berantakan.

"Jurusan?"

"Aku ambil Komunikasi, konsentrasi Jurnalistik." Jawab Dinda.

"Belajar nulis fakta di tengah publik yang jago putar opini ya?" Ia mengangkat sebelah alisnya. Ada sedikit gurauan di nada bicaranya.

"Ya. Fakta memang bisa kalah sama narasi. Tapi kita bisa coba nggak ikut nyebarin sampah." Kali ini ia berusaha menatap Rendra dengan percaya diri, tapi gagal bertahan. Ia langsung tertunduk. Sia-sia opini pintarnya.

Hening lagi.

"Kamu selalu sependiam ini? Atau cuma sekarang?"

"Nggak selalu, mungkin karena kita baru pertama kali ketemu. Aku nggak terbiasa." Wajahnya lagi-lagi memerah. Ada apa dengannya?

"Nggak terbiasa sama aku?" Rendra memiringkan kepalanya sedikit dan senyum samar muncul di bibirnya. Ia menikmati kecanggungan Dinda. Ia tau gadis ini terpengaruh olehnya. Sejak awal Dinda selalu ragu-ragu saat menatap atau bicara dengannya. Ia selalu tampak tertarik tapi juga membatasi diri. Jelas bukan tipe yang biasa dihadapi Rendra, tapi ia jadi penasaran. Membangkitkan sisi pemburunya.

"Bukan. Tapi sama situasinya." jawab Dinda, suaranya makin tak percaya diri.

Senyum Rendra memudar, tiba-tiba canda dalam nada bicaranya lenyap, "Tapi situasinya akan lebih rumit dari ini." Pria itu menatapnya, lekat.

"Rumit?" Dinda mengerutkan dahinya.

"Ya. Ini bukan pertemuan biasa. Kita nggak akan cuma jadi teman kencan."

Dinda terdiam, pandangannya turun ke pangkuan. Jelas. Mereka bertemu untuk rencana pernikahan, pria ini akan jadi suaminya kalau mereka sama-sama setuju.

Ada ketegangan yang menggantung di udara. Dinda tau sebagian berasal dari dirinya sendiri tapi sebagian lagi sepertinya sengaja diciptakan oleh pria di hadapannya.

"Soal skandal, kamu nggak mau tanya?" Tanya Rendra.

"Ada yang perlu aku tau?" Dinda balik bertanya.

"Aku rasa enggak, sebagian besar udah jadi rahasia umum." Jawabnya terang-terangan.

"Oke, aku nggak akan tanya lebih jauh."

"Bagus." Nada bicaranya tidak terlalu ramah.

Dinda menarik napas dalam, kemudian bertanya, "Yang mau aku tanya, kenapa kamu mempertimbangkan perjodohan ini?"

"Aku udah setuju." Rendra menjawab dengan yakin.

"Kenapa?" Tanya Dinda lagi.

'Okay, sweetheart... let's do this.' Rendra mengulum senyumnya.

"Umurku udah lebih dari cukup. Kamu cantik dan dari keluarga baik-baik, kenapa aku nggak tertarik? Mungkin ini akan berhasil." Dia diam sebentar, kemudian melanjutkan, "Tapi ada beberapa kondisi yang perlu kita diskusikan sebelum kamu memutuskan."

Dinda diam. Menunggu.

"Kalau pernikahan ini terjadi, kita akan tinggal di tempatku yang ada di Dharmawangsa. Kamu keberatan?"

Dinda menggeleng.

"Aku mau kamu temani aku setiap kali ada acara publik atau acara-acara resmi lainnya yang membutuhkan kita hadir berdua." Nada bicaranya terlalu profesional, mereka seperti sedang membicarakan kontrak kerja. "Kamu juga diizinkan melakukan semua kegiatan yang biasa kamu lakukan. Dan aku akan kasih kamu ruang untuk keputusan pribadi. Bahkan kamu boleh punya kamar sendiri kalau mau, aku nggak keberatan."

Dia berhenti sambil menilai respon Dinda. Gadis itu hanya menatapnya. Ada tanda tanya besar di wajahnya, tapi Rendra tetap melanjutkan.

"Dan ada satu hal yang harus kita sepakati dari awal." Suaranya sedikit menurun, lebih dalam.

"Our relationship... do you want it to be exclusive, or open?"

Dinda mengerutkan kening, "Maksudnya?"

"Pernikahan bisa punya banyak bentuk. Ada pasangan yang memilih setia sepenuhnya, tapi ada juga yang membebaskan satu sama lain. Aku cuma mau posisi kita jelas dari awal."

Dinda begidik. Apa yang ada di kepala pria ini? Kalimat-kalimatnya sangat janggal, tapi Dinda tidak berani mengonfrontasi.

"Apa pertanyaan begini perlu?" tanya Dinda keheranan.

"Itu penting. Kita butuh transparansi. Kamu berhak tau apa yang akan kita hadapi. Pernikahan ini nggak akan terjadi tanpa persetujuan kamu."

"Oke." Jawabnya ragu.

"So exclusive or open?" Ulangnya.

"Eksklusif. Aku mau hubungan ini sewajarnya pernikahan." Kali ini Dinda terdengar yakin.

"Okay." dia tersenyum, kemudian melanjutkan, "Kamu mau hubungan konservatif yang setia dan pasti kamu mau aku juga melakukan hal yang sama."

"Ya." Dinda mengangguk lagi. Tentu saja. Siapa juga yang rela suaminya punya hubungan dengan perempuan lain?

Rendra diam sejenak. Matanya menatap Dinda, lalu ia bersandar sedikit ke belakang, "Aku tau ini berat untuk kamu. Semua terlalu cepat. Tapi kamu perlu tau, aku nggak cari istri untuk pajangan." Ia berhenti sebentar. "Aku nggak mau kita pura-pura jadi pasangan harmonis, tapi dingin di rumah. Kalau kita memang menikah, semuanya harus jelas. Termasuk urusan tempat tidur." Lanjutnya.

Dinda mengernyit, berusaha mencerna arah kalimatnya. Sepertinya ia tahu arah pembicaraan ini.

"Aku nggak bisa pisahkan komitmen dari kebutuhan fisik." Lanjutnya.

Dia ingin pemenuh kebutuhan biologis dari Dinda. Pria ini bahkan tidak menyentuhnya, tapi tatapan mata itu membuat Dinda merasa ditelanjangi. Dinda menelan ludahnya, tidak menyangka kalimat seperti itu diucapkan Rendra dengan sangat terbuka di pertemuan pertama mereka.

Dinda tidak menjawab, hening. Untuk sesaat berusaha mencerna. Kenapa hubungan ini jadi terdengar aneh? Rasanya sangat tidak natural. Mereka seperti sedang berbisnis.

"Dan aku nggak berencana untuk punya anak." Rendra menambahkan sambil menatap Dinda, ia menunggu reaksinya.

Saat ia lihat Dinda mengerutkan dahinya, mungkin karena rasa tidak setuju atau keheranan, dia melanjutkan, "Paling nggak dalam waktu dekat. Aku hampir nggak punya waktu untuk urusan lain selain pekerjaan. Dan kamu juga sibuk kuliah kan? Mungkin akan lebih nyaman kalau kita berdua dulu. Jadi aku mau kamu konsultasi ke dokter untuk kontrasepsi. Dokternya aku yang rekomendasikan. Kalau kamu setuju, kita bisa lanjut."

Dinda lagi-lagi tidak mampu menjawab. Kepalanya masih berputar. Ia baru saja diberi proposal hidup dari orang yang bahkan belum pernah ia temui sebelumnya.

Dan ada satu hal yang mencolok dari pria ini, dia seperti memastikan semua berada di bawah kendalinya. Dia sepertinya tidak bisa menoleransi ketidakpastian.

...***...

1
Ecci Syafirairwan
🥰
Roxy-chan gacha club uwu
Ceritanya asik banget, aku jadi nggak tahan ingin tahu kelanjutannya. Update cepat ya thor!
PrettyDuck: Ditunggu ya kakk. Aku biasanya update jam 2 siang 🥰🥰
total 1 replies
Tsubasa Oozora
Sudah nggak sabar untuk membaca kelanjutan kisah ini!
PrettyDuck: Aa thank you kakak udah jadi semangatku untuk update 🤍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!