Sagala terkejut bukan main saat tetangga depan rumah datang menemuinya dan memintanya untuk menikah dengan putri mereka secepatnya. Permintaan itu bukan tanpa alasan.
Sagala mendadak pusing. Pasalnya, putri tetangga depan rumah adalah bocil manja yang baru lulus SMA. Gadis cerewet yang sering mengganggunya.
Ikuti kisah mereka ya. Ketika abang adek jadi suami istri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F.A queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tumhiho
Libur hari ini, Sagala menghabiskan waktu dengan membersihkan kamar samping, ruangan yang selama ini hanya ia gunakan untuk salat.
Ia membuka jendela, membiarkan cahaya pagi masuk bersama hembusan udara segar. Dari jendela itu, terbentang halaman belakang kecil bergaya modern dengan susunan batu pijakan rapi di antara rumput sintetis, pot tanaman hias berbaris di dinding, dan air mancur mini yang gemericiknya menenangkan. Udara terasa sejuk, menembus ke dalam kamar dan membuat suasana rumah terasa lebih hidup.
Setelah itu, ia mulai menata perlengkapan. Semua ditata rapi dengan perhitungan sederhana, nyaman, tapi tidak berlebihan.
Ada beberapa alasan kenapa ia memilih menyiapkan kamar terpisah. Salah satunya adalah karena Annisa masih terlalu belia. Gadis itu baru saja lulus SMA, masih punya banyak mimpi, banyak hal yang mungkin ingin Annisa kejar.
Sagala tahu, pernikahan mereka bukan sesuatu yang lahir dari pilihan, tapi dari keinginan nenek. Mungkin Annisa juga terpaksa menikah dengannya.
Ia tidak ingin mengekang. Ia tidak ingin membuat gadis itu kehilangan masa mudanya hanya karena terikat janji yang mungkin belum tentu dimengerti Annisa sepenuhnya.
Dan, jika suatu hari nanti pernikahan ini harus berakhir, ia siap, tak apa. Akan lebih mudah, karena mereka belum tercatat secara resmi di mata negara.
🌱🌱🌱
Sore ini, tiga hari setelah empat puluh hari kepergian nenek. Annisa baru pulang dari jajan bakso aci di desa sebelah bersama teman-temannya.
Belum sempat kakinya menginjak lantai teras, suara terdengar dari rumah seberang. Bu Yuni, Ibu Sagala.
"Sini, ibu habis bikin rempeyek kacang," ujar Bu Yuni seraya melambai.
Annisa segera beranjak dengan senyum cerah. "Yeyyy," serunya. Ia melangkah ringan ke rumah depan. Lima langkah langsung sampai. Mereka masuk rumah. Duduk di ruang tengah.
Bu Yuni membuka toples di atas meja. Aroma rempeyek kacang yang gurih langsung menguar.
"Bude--"
"Ibu." Bu Yuni meralat dengan senyum.
Annisa terkekeh kikuk. “Maaf, Nisa belum terbiasa.”
“Iya, pelan-pelan aja. Semua butuh waktu.” Bu Yuni menepuk bahunya ringan. Dari Bude menjadi Ibu, dari sekadar anak tetangga menjadi menantu. Hubungan mereka memang sudah lama penuh kasih, hanya kini panggilannya saja yang berubah. “Nisa mau ngomong apa, Nak?”
"Abang kapan pulang ya?" Tanya Annisa. Pertanyaan yang sering ia tanyakan sedari dulu. Dari ia kecil, menunggu Sagala pulang bermain voly. Atau sekedar menunggu Abang pulang dari rumah temannya. Hanya sebatas pertanyaan adik pada kehadiran kakaknya. Tapi kali ini, adalah pertanyaan seorang istri atas kehadiran suaminya.
"Abang udah ada di jalan sekarang," jawab Bu Yuni. "Mungkin bentar lagi sampai."
Mata Annisa membulat seketika. "Beneran?!"
Bu Yuni mengangguk. "Iya. Emangnya Abang nggak ngasih kabar kamu, Nak?"
Annisa menggeleng. "Enggak."
Bu Yuni terkekeh. "Nanti ibu tegur Abang ya. Biar sering ngasih kabar sama kamu. Masa istrinya nggak dikabarin."
Rona merah menjalar di pipi Annisa mendengar kata istri. Jantungnya berdetak tiba-tiba. Namun ia buru-buru menanggapi.
"Jangan, Bu. Jangan tegur Abang. Abang nggak ada salah kok."
Bu Yuni menatapnya penuh kasih. Dalam hati, ia tahu Annisa hanya berusaha membela, seperti dulu Sagala sering membela Annisa kecil.
“Iya, Nak,” ucapnya lembut. “Ibu senang kamu sayang sama Abang. Doakan aja, semoga dia cepat sampai rumah, ya.”
Annisa mengangguk, jantungnya berdegup lebih cepat membayangkan Sagala akan segera datang. Dan benar saja, suara mobil terdengar berhenti di depan.
“Alhamdulillah,” ucap Bu Yuni pelan, matanya berbinar lega. “Kayaknya itu Abang. Yuk, kita sambut.”
Degup di dada Annisa makin kencang. Oh, Abang. Tangannya refleks merapikan rambut, menepuk-nepuk baju agar tampak rapi, lalu meluruskan roknya yang sedikit kusut. Setiap gerakannya penuh gugup, tapi juga antusias.
Langkahnya perlahan mengikuti Bu Yuni ke depan. Di setiap derap, pikirannya justru semakin riuh.
Kalau ketemu Abang, aku harus ngapain ya? Senyum aja? Atau nyapa sekalian? Atau… salim? Atau melambai sambil bilang, “Halo, sayang”? Ya Allah, malu banget. Nggak mungkin!
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi begitu siluet Sagala terlihat di balik kaca mobil yang baru terbuka, semua niatnya berantakan.
Jantungnya seolah berpacu dengan langkah Sagala yang turun dari mobil taksi, pakaian rapi, wajah lelah tapi teduh, senyum tipis yang selalu membuatnya kehilangan kata.
Oh, Annisa meleleh seketika. Rasanya pengen buruan gelendotan di lengan abang. Eh tapi dia malah ngumpet di belakang pintu sambil ngintip dari tirai jendela.
Sagala terlihat salim pada Bu Yuni setelah taksi pergi, lalu berbicara sebentar sebelum mereka melangkah masuk ke rumah.
"Abang udah deket, bentar lagi masuk. Aku harus apa ya? Ish harusnya tadi nggak usah ngumpet ya kan. Harusnya tadi ikut bude aja langsung salim sama Abang. Duuh, sekarang udah terlanjur ngumpet."
Annisa membalik badan, menunduk bingung. Melirik sedikit kedepan. Tak lama, terlihat Bu Yuni melangkah masuk ke dalam rumah.
Hanya Bu Yuni. Annisa menatap punggung mertuanya dengan diam, juga bingung. "Kok cuma ibu yang masuk? Abang kemana?" Ia membalik badan membuka tirai, menatap halaman yang kosong. Tidak ada siapapun. Namun tak lama, ia merasakan ada seseorang yang berdiri di belakangnya.
"Nyari siapa?"
Annisa memejamkan mata. Malu, deg-degan, grogi, gugup, canggung. Aihh, dia ketahuan. Dia membalik badan pelan dan mendongak menatap Sagala.
"Nyari Abang. Aku tuh dari tadi nungguin Abang tau," jawabnya, khas suara yang manja. Menutupi rasa gugup dan grogi dalam dirinya.
"Nungguin Abang atau nungguin hadiah?"
Annisa tersenyum. Setiap Abang pulang, Abang pasti bawa hadiah. Pasti, nggak pernah nggak bawa. Dulu, Annisa menunggunya karena hadiah tapi entah kapan, sepertinya bukan hadiah yang ia tunggu, melainkan diri Sagala. Ya, dia menunggu Sagala, bukan hadiahnya.
"Nungguin hadiahlah hahahaa." Tapi bibirnya menjawab sebaliknya. Ia menyodorkan tangannya segera di depan Sagala. "Abang nggak lupa bawain aku hadiah kan?"
Sagala menatapnya dan kemudian menepuk tangan Annisa.
"Lupa," jawab Sagala, lalu membalik badan dan melangkah masuk ke dalam.
"Ish, Abang mana boleh lupa." Seru Annisa memprotes manja. Kakinya ingin mengejar tapi membeku ditempatnya. Dia hanya diam menatap punggung Sagala yang perlahan menghilang di balik tirai ruang tengah.
Pelan, Annisa mengangkat kedua tangannya untuk diletakkan di dada. "Kenapa aku sering deg-degan ya kalau ketemu Abang. Jangankan ketemu, kepikiran aja dah kayak mau mati rasanya."
Suara motor terdengar berhenti di depan rumah. Annisa segera menoleh. Pak Karta ayah Sagala.
"Duh makin canggung ntar kalau ketahuan Pakde aku ngumpet disini."
Annisa buru-buru melangkah masuk ke dalam ke ruang tengah. Tidak ada siapa-siapa di sini. "Kayaknya ibu ada di dapur."
Annisa duduk diam di sofa dengan tenang. Tak lama, Bu Yuni datang dengan minuman hangat di atas nampan.
"Bentar lagi magrib, sholat di sini aja terus nanti makan malam bareng ya." Ucap Bu Yuni penuh kelembutan.
Annisa mengangguk, "Iya."
"Eh ada cah ayu," sapa Pak Karta setelah masuk ke ruang tengah.
Annisa nyengir dan langsung salim pada ayah mertuanya.
"Sagala udah dateng ya?" Tanya Pak Karta pada Bu Yuni.
"Udah, barusan. Lagi ganti baju," jawab Bu Yuni.
Pak Karta mengangguk. "Bapak ke mushola dulu. Bentar lagi azan." Beliau lalu masuk menggantikan pakaian dan pergi dengan sajadah di pundak.
Bu Yuni kembali masuk ke dalam. Membiarkan Annisa sendiri di ruang tengah. Sengaja memberi waktu untuk mereka.
🌱🌱🌱
Makasih teman-teman semua. Kalian luar biasa. Jangan lupa like dan komentar. Ikuti terus kisahnya. 🥰
masak gak ngerti sich
yg dimauin Nisa itu cuma dirimu