NovelToon NovelToon
Dulu Kakak Iparku, Kini Suamiku

Dulu Kakak Iparku, Kini Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / CEO / Janda / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:5k
Nilai: 5
Nama Author: Itz_zara

Selena tak pernah menyangka hidupnya akan seindah sekaligus serumit ini.

Dulu, Daren adalah kakak iparnya—lelaki pendiam yang selalu menjaga jarak. Tapi sejak suaminya meninggal, hanya Daren yang tetap ada… menjaga dirinya dan Arunika dengan kesabaran yang nyaris tanpa batas.

Cinta itu datang perlahan—bukan untuk menggantikan, tapi untuk menyembuhkan.
Kini, Selena berdiri di antara kenangan masa lalu dan kebahagiaan baru yang Tuhan hadiahkan lewat seseorang yang dulu tak pernah ia bayangkan akan ia panggil suami.

“Kadang cinta kedua bukan berarti menggantikan, tapi melanjutkan doa yang pernah terhenti di tengah kehilangan.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

10. Delapan Puluh Persen

“Jadi, ceritanya lo mau nikah lagi dalam waktu dekat?” tanya seorang wanita cantik yang duduk di seberang Selena, di kafe dekat butik milik Selena.

“Iya, bentar lagi,” jawab Selena santai sambil menyeruput latte-nya.

“Emang sama siapa?” tanya wanita itu — Elina — sambil menaikkan alis penasaran.

“Sama kakaknya Kavi,” ucap Selena pelan.

Elina hampir tersedak minumannya. “Apa?! Lo serius?”

Selena hanya mengangguk kecil, bibirnya membentuk senyum samar.

“Eh, tapi kalau gue jadi lo juga sih, nggak bakal nolak dijodohin sama Kak Daren. Udah mapan, ganteng, pinter lagi. Sungguh pria idaman,” ucap Elina setengah bercanda sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.

Selena tertawa tipis, tapi matanya sayu. “Tapi, Na… kalau boleh jujur, hati gue belum siap. Masih keinget Kavi terus.”

Elina terdiam sejenak, menatap sahabatnya yang kini memandangi cangkir latte yang sudah tinggal setengah. Hening sejenak menyelimuti meja mereka—hanya terdengar suara musik lembut dari pengeras suara kafe dan denting sendok yang bersentuhan dengan gelas.

“Sel…” panggil Elina pelan. “Udah berapa lama Kavi pergi?”

Selena menarik napas panjang, menatap ke luar jendela di mana hujan mulai turun perlahan. “Tiga tahun.” Suaranya nyaris berbisik. “Tapi rasanya kayak baru kemarin dia masih duduk di situ, nungguin gue pulang kerja.”

Elina menunduk, jemarinya memainkan sedotan. “Lo beneran mau nikah sama Kak Daren karena cinta, atau cuma karena… ya, lo capek ditanyain keluarga?”

Pertanyaan itu membuat Selena terdiam lama. Ia menatap Elina seolah ingin bicara, tapi yang keluar hanya senyuman kecil yang lebih mirip bentuk dari luka lama yang belum sembuh.

“Kak Daren orang baik, Na. Dia nggak maksa, nggak pernah nyuruh gue ngelupain Kavi. Malah dia yang bilang, kalau gue nggak perlu pura-pura bahagia buat nerima dia.”

Elina menatap sahabatnya lama-lama. “Lo sayang dia?”

Selena menatap ke bawah, mengusap tepian cangkirnya dengan ibu jari. “Entah ya. Gue nyaman… tapi belum bisa bilang sayang.”

Hujan di luar semakin deras, menambah kesan sendu dalam percakapan mereka. Elina menghela napas, kemudian tersenyum lembut. “Lo tau kan, nggak ada yang salah sama butuh waktu. Kadang, kita nggak harus buru-buru buat ‘bahagia versi orang lain’. Lo udah cukup berjuang, Sel.”

Selena terdiam, menatap Elina dengan mata yang sedikit berair. “Gue cuma takut, Na. Takut gue nyakitin Kak Daren… karena bayang-bayang Kavi belum sepenuhnya hilang.”

Elina meraih tangan Selena, menggenggamnya erat. “Kalau Kak Daren bener-bener tulus, dia bakal ngerti. Cinta yang tumbuh pelan, kadang justru yang paling kuat.”

Selena tersenyum kecil. “Lo selalu bisa ngomong sesuatu yang bikin hati gue agak tenang.”

“Ya iyalah,” jawab Elina dengan gaya sok bangga. “Gue kan sahabat terbaik sepanjang masa.”

Selena tertawa lirih untuk pertama kalinya sore itu. Tapi di balik tawanya, ada getar halus di dadanya—campuran antara rasa takut, harapan, dan sesuatu yang belum bisa ia definisikan.

Hujan masih turun. Dan di antara aroma kopi serta suara tawa kecil mereka, ada kenangan lama yang perlahan—meski enggan—mulai memudar.

---

Persiapan pernikahan sudah mencapai sekitar delapan puluh persen. Tinggal menghitung beberapa hari saja sebelum kata sah dikumandangkan dan kehidupan baru itu benar-benar dimulai.

Hari ini, rencananya Selena dan Daren akan pergi mencari cincin pernikahan. Tempatnya sudah dibooking oleh Sekar, mamanya yang paling exited.

Udara pagi terasa sejuk ketika Selena melangkah keluar dari butik. Ia mengenakan gaun midi berwarna krem lembut, rambutnya diikat sederhana. Dari kejauhan, mobil hitam Daren sudah terparkir di depan.

Begitu pintu mobil terbuka, Daren turun dengan senyum hangatnya. “Pagi,” sapanya pelan, suaranya tenang seperti biasanya.

“Pagi,” balas Selena, berusaha tersenyum.

Mereka berdua masuk ke mobil. Suasana di antara mereka terasa nyaman tapi agak canggung—bukan karena dingin, melainkan karena ada sesuatu yang belum sepenuhnya tersampaikan.

“Mamah udah konfirmasi tempatnya, kan?” tanya Daren sambil melirik ke arah Selena yang sedang menatap keluar jendela.

“Iya,” jawab Selena singkat. “Katanya ada beberapa model yang cocok sama konsep pernikahan kita.”

“Bagus. Aku pengin kamu yang pilih, Len. Cincin itu kan sesuatu yang bakal kamu pakai setiap hari,” ucap Daren sambil tersenyum tipis.

Selena menatapnya sejenak. Ada ketulusan di mata pria itu, ketenangan yang sulit ia abaikan. Tapi di balik hatinya yang mulai terbuka, masih ada ruang yang tak pernah benar-benar kosong—ruang yang dulu diisi oleh Kavi.

Mobil berhenti di depan sebuah toko perhiasan elegan. Interiornya didominasi warna putih dan emas, dengan kaca bening memantulkan cahaya lampu yang hangat.

“Selamat datang, Pak Daren, Bu Selena,” sambut seorang staf dengan ramah. “Kami sudah siapkan beberapa koleksi yang Bapak pesan sebelumnya.”

Selena berjalan mendekat ke etalase, matanya menelusuri deretan cincin dengan berbagai desain: ada yang sederhana, ada pula yang berhiaskan berlian kecil.

“Yang ini bagus,” kata Daren sambil menunjuk satu cincin berwarna perak dengan lekukan halus di tengahnya. “Klasik, tapi elegan.”

Selena menatap cincin itu lama-lama. Jemarinya gemetar sedikit ketika menyentuhnya.

“Cantik…” ucapnya lirih.

Namun tiba-tiba, sesuatu bergetar di dalam dirinya—sebuah ingatan samar.

Beberapa tahun yang lalu, Kavi pernah berkata dengan tawa lembut, “Kalau suatu hari kamu nikah, jangan lupa pakai cincin yang simple aja, ya. Biar maknanya yang berat, bukan bentuknya.”

Selena menelan ludah. Suara itu seolah hidup kembali di telinganya.

“Len?” panggil Daren lembut. “Kamu suka yang ini?”

Selena terdiam beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Iya… suka.”

Daren tersenyum puas. “Bagus. Kita pesan yang ini aja, ya?”

“Iya,” jawab Selena, kali ini dengan nada lebih pelan.

Saat staf mulai menulis nota pemesanan, Daren menatap Selena sekilas. Ada sesuatu di sorot matanya—seakan dia tahu bahwa hati wanita di depannya masih berperang dengan masa lalu. Tapi ia tidak memaksa.

Ia hanya berkata pelan, “Aku nggak minta kamu ngelupain masa lalu, Sel. Aku cuma pengin jadi bagian dari masa depan kamu.”

Selena menatapnya, bibirnya bergetar. Ia ingin menjawab, tapi kata-kata terasa sulit keluar. Yang ia bisa hanyalah mengangguk—kali ini dengan mata yang mulai basah.

---

“Depa cantik!” seru Arunika dengan tawa lepas.

Saat ini mereka sedang bermain make-up-make-up-an di ruang tamu rumah Selena. Daren, yang biasanya terlihat rapi dan berwibawa, kini duduk pasrah di kursi dengan wajah penuh coretan warna-warni. Ada lipstik merah muda di pipinya, sedikit bedak yang tidak rata di dahi, dan jepit rambut berbentuk kelinci bertengger di ubun-ubunnya.

Sementara itu, Arunika, gadis kecil dengan mata bulat cerah, sedang sibuk mengoleskan eyeshadow ungu ke kelopak mata Daren.

“Depa jangan gerak! Nanti jelek,” katanya serius, membuat Daren menahan tawa.

“Iya, Aru, Depa diem,” jawab Daren patuh, meski ujung bibirnya terus naik menahan geli.

Selena sendiri sedang keluar bersama ibunya untuk mengecek baju yang akan digunakan di hari pernikahan nanti. Rumah yang biasanya tenang kini dipenuhi tawa kecil dan percakapan polos antara seorang anak kecil dan pria yang perlahan-lahan belajar menjadi sosok ayah.

Setelah beberapa menit, Arunika mundur satu langkah, menatap hasil karyanya dengan ekspresi puas. “Selesai!” serunya bangga. “Depa sekarang kayak princess!”

Daren tak kuasa menahan tawa. “Princess, ya? Bukan pangeran?”

Arunika menggeleng cepat. “Enggak, Depa lebih cantik dari pangeran.”

Daren menghela napas berpura-pura pasrah. “Ya sudah, berarti Depa jadi Depa Princess aja.”

Tawa mereka pecah bersamaan. Arunika kemudian duduk di pangkuan Daren, memainkan kancing kemejanya sambil berkata pelan, “Depa, nanti kalau udah nikah sama Mama, Depa beneran tinggal di sini, kan?”

Pertanyaan polos itu membuat Daren terdiam sejenak. Ia menatap wajah mungil di depannya, lalu mengusap rambut halus gadis itu. “Iya, Aru. Depa bakal di sini, jaga kamu sama Mama setiap hari.”

“Janji?”

“Janji,” jawab Daren, tersenyum lembut.

Tak lama kemudian, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Arunika langsung melonjak turun. “Itu Mama!” serunya riang, lalu berlari ke arah pintu.

Selena masuk dengan beberapa tas di tangannya. Begitu melihat Daren dengan wajah full make up, langkahnya langsung terhenti.

“Kak Daren…” katanya pelan, menatap pria itu dari ujung kepala sampai kaki.

Daren mengangkat alis malu-malu. “Ehm… long story.”

Selena menatap Arunika yang kini berdiri bangga di sebelahnya. “Kamu yang dandanin Pakde, ya?”

Arunika mengangguk mantap. “Iya! Depa cantik banget, Ma!”

Selena akhirnya tak bisa menahan tawa. “Ya ampun, kamu berdua ini…” katanya sambil meletakkan tas.

Daren ikut tertawa kecil, lalu menatap Selena dengan pandangan lembut — pandangan yang tak butuh kata-kata untuk menjelaskan perasaan yang tumbuh semakin kuat di hatinya.

---

“Aku pulang dulu, ya,” pamit Daren sambil mengambil kunci mobilnya yang tergeletak di atas meja.

Selena tersenyum kecil. “Iya, Kak. Makasih udah mau jagain Arunika tadi. Maaf ya, mukanya jadi bahan eksperimen make up Aru.”

Daren tertawa pelan sambil mengusap pipinya yang masih ada sisa bedak. “Nggak apa-apa. Lagian Aru kayaknya calon make-up artist masa depan, ya?”

Dari arah ruang tamu, Arunika berteriak, “Depa cantik! Aru pinter, kan, Ma?”

Selena dan Daren sama-sama tertawa mendengar itu. “Tuh kan,” kata Daren, “anaknya aja bangga banget.”

Selena menggeleng pelan, matanya lembut menatap pria itu. “Aru emang gampang deket sama Kak Daren. Aku juga jadi tenang ninggalin dia kalau ada urusan.”

“Ya, Aru anaknya manis,” ucap Daren. Ia menatap Selena sesaat, lalu menambahkan dengan nada rendah yang penuh makna, “dan Mamanya juga.”

Ucapan itu membuat Selena sempat terdiam sepersekian detik. Ada kehangatan aneh yang menyelusup ke dadanya—hangat yang pelan tapi nyata.

Ia buru-buru menunduk, pura-pura membereskan tas belanja di meja. “Hati-hati di jalan, ya, Kak.”

Daren mengangguk. “Iya. Kamu istirahat juga, Sel. Jangan terlalu capek mikirin persiapan besok.”

“Iya,” jawab Selena lirih. “Terima kasih, Kak.”

Daren berjalan ke arah pintu, tapi sempat berhenti sejenak dan menatap ke belakang. Selena masih berdiri di sana, menatap ke arah tempat Arunika bermain. Siluet cahaya senja dari jendela memantul di rambutnya yang kecokelatan.

“Sel…” panggil Daren lembut.

Selena menoleh. “Ya?”

“Aku seneng banget bisa bareng kamu hari ini,” ucap Daren tulus. “Sama Aru juga.”

Selena tak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum, senyum yang kecil tapi tulus—jenis senyum yang membuat dada Daren menghangat.

“Selamat malam, ya,” ucap Daren akhirnya.

“Selamat malam, Kak Daren,” balas Selena.

Pintu tertutup perlahan. Suara mesin mobil terdengar menjauh di luar rumah. Selena berdiri beberapa saat di ambang pintu, menatap ke arah jalan yang perlahan ditelan senja.

Arunika menghampirinya sambil membawa boneka kecil di tangan. “Ma, Depa balik lagi besok, kan?”

Selena mengusap kepala putrinya, tersenyum lembut. “Iya, sayang. Depa pasti balik lagi.”

Namun jauh di dalam hatinya, Selena tahu — yang perlahan kembali bukan hanya Daren. Tapi juga sesuatu yang sempat ia kira takkan pernah tumbuh lagi: perasaan.

Ia tidak tahu… malam itu, sesuatu sedang menunggu untuk mengguncang ketenangan yang baru saja mulai ia rasakan.

1
Favmatcha_girl
lanjutkan thor💪
Favmatcha_girl
perhatian sekali bapak satu ini
Favmatcha_girl
lanjutkan 💪
Favmatcha_girl
cemburu bilang, Sel
Favmatcha_girl
ayah able banget ya
Favmatcha_girl
cemburu ya🤭
Favmatcha_girl
pelan-pelan mulai berubah ya
Reni Anjarwani
lanjut thor doubel up
Itz_zara: besok lagi ya, belum ada draft baru🙏
total 2 replies
Favmatcha_girl
memanfaatkan orang🤭
Favmatcha_girl
Honeymoon Sel
Favmatcha_girl
Dah lama gak liat sunset
Favmatcha_girl
dramatis banget 🤭
Favmatcha_girl
ikutan dong
Favmatcha_girl
ngomong yang keras
Favmatcha_girl
aw terharu juga
Favmatcha_girl
itu mah maunya lo
Favmatcha_girl
Alasan itu
Favmatcha_girl
kenapa yak setiap cowok gitu😌
Favmatcha_girl
Yeyyyy
Favmatcha_girl
Asik rumah kita
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!