Amira terperangkap dalam pernikahan yang menyakitkan dengan Nakula, suami kasar yang merusak fisik dan mentalnya. Puncaknya, di pesta perusahaan, Nakula mempermalukannya dengan berselingkuh terang-terangan dengan sahabatnya, Isabel, lalu menceraikannya dalam keadaan mabuk. Hancur, Amira melarikan diri dan secara tak terduga bertemu Bastian—CEO perusahaan dan atasan Nakula yang terkena obat perangsang .
Pertemuan di tengah keputusasaan itu membawa Amira ke dalam hubungan yang mengubah hidupnya.
Sebastian mengatakan kalau ia mandul dan tidak bisa membuat Amira hamil.
Tetapi tiga bulan kemudian, ia mendapati dirinya hamil anak Bastian, sebuah takdir baru yang jauh dari penderitaannya yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Amira membuka matanya dan merasakan tubuhnya yang sakit semuanya.
Ia melihat lelaki yang semalam meminta bantuannya.
Lelaki itu masih tertidur pulas dengan suara dengkurannya yang tidak begitu keras.
Amira ingat betul bagaimana lelaki itu memperlakukan nya seperti layaknya wanita.
Bukan seperti Nakula yang menyandang status suami tapi tidak pernah menyentuhnya sama sekali.
Ia pun segera bangkit dari tempat tidur dan memakai pakaiannya.
Amira berjalan keluar kamar hotel sambil merasakan mahkotanya yang sangat sakit.
Ia memanggil taksi dan memintanya untuk mengantarkannya pulang ke rumah Nakula untuk mengambil beberapa pakaiannya yang masih ada disana.
Sesampainya di rumah, ia meminta supir taksi untuk menunggunya sebentar.
Amira berjalan masuk ke dalam dan melihat Mama Mia yang baru saja bangun tidur.
"Aduh, aduh. Kasihan ya sudah diceraikan oleh Nakula. Pasti semalaman nangis dipinggir jalan." ejek Mama Mia.
Amira tidak menghiraukan dan langsung masuk ke dalam kamar.
Ia melihat Nakula yang sedang tertidur pulas sambil memeluk Isabel.
"Semoga kalian berdua selalu bahagia." gumam Amira sambil melepaskan cincin pernikahannya.
Setelah itu Amira mengambil tas kopernya dan memasukkan semua pakaiannya.
Tak lupa ia membawa kosmetik dan sepatu yang ia beli sendiri.
Ia tidak rela jika semuanya akan di pakai oleh Isabel.
"Sudah selesai dan selamat tinggal, Mas." ucap Amira.
Amira berjalan keluar sambil membawa tas kopernya.
Saat Amira berjalan melewati ruang tamu dengan menarik kopernya, suara Mama Mia kembali terdengar tajam.
“Eh, Mir! Mau ke mana kamu bawa-bawa koper begitu? Jangan bilang kamu mau numpang di rumah orang tuamu lagi? Kasihan sekali kamu ini, Mir. Sudah diceraikan, nggak laku dan sekarang mau jadi beban orang tua lagi! Kamu pikir Nakula bakal nyesel? Tidak, Mir! Dia itu akhirnya bebas dari kamu yanh buruk rupa!"
Amira yang dari tadi sudah menahan kesabarannya langsung berhenti dan perlahan ia menoleh ke arah Mama Mia.
Dengan langkah mantap, Amira mendekat dan berdiri tepat di hadapan wanita itu.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat keras di pipi Mama Mia.
Mama Mia memegang pipinya dan ia tidak menyangka jika Amira akan menampar nya.
“Mulutmu terlalu kejam untuk seorang ibu. Aku memang sudah diceraikan. Tapi bukan berarti aku hancur. Hari ini, aku bukan lagi menantu kalian. Jadi, jangan pernah panggil namaku lagi.”
Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut, Amira kembali melangkah keluar rumah.
Supir taksi segera turun dan membantu memasukkan koper ke bagasi.
“Langsung jalan, Pak,” ucapnya pelan saat ia masuk ke dalam mobil.
Taksi melaju meninggalkan rumah yang dulu ia sebut rumah tangga.
Amira bersandar di jok belakang, menatap keluar jendela sambil mengusap perutnya yang masih terasa perih.
"Untung saja aku masih punya tabungan walaupun sedikit." gumamnya dalam hati
Amira memutuskan akan mencari pekerjaan disekitar rumah kontrakannya dan ia tidak akan menghubungi orang tuanya yang sudah ia kecewakan.
Sementara itu di hotel tempat Sebastian menginap.
Ia membuka matanya dan tidak melihat keberadaan wanita yang sudah menolongnya.
Sebastian memegang pelipisnya dan ia melihat noda darah di atas sprei.
"D-dia masih suci." gumam Sebastian.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa bersalah tanpa tahu harus berbuat apa.
Dengan cepat, Sebastian bangkit dari tempat tidur. Ia meraih kemeja yang tergeletak di kursi, lalu melangkah keluar dari kamar dengan tergesa.
Begitu pintu terbuka, ia mendapati Diko, asistennya, berdiri di depan kamar dengan wajah panik.
“Tuan! Maaf, saya tertidur di lobi dan tidak tahu kalau ada...”
“Cukup! Cepat cari tahu keberadaan wanita yang bersamaku semalam.”
“S-siapa namanya, Tuan?”
“Aku bahkan tidak sempat menanyakannya. Yang jelas, dia terluka di bagian wajahnya ada bekas lebam.”
Diko langsung menganggukkan kepalanya dan segera melacak keberadaan Amira
“Baik, saya akan cek seluruh rekaman CCTV hotel. Saya juga akan tanyakan ke resepsionis apakah ada tamu wanita yang keluar pagi ini dengan wajah terluka.”
Sebastian mengangguk singkat, lalu menatap kembali ke arah kamar, seolah bayangan Amira masih berdiri di sana.
"Kenapa dia pergi tanpa mengambil apa pun? Bahkan tanpa meninggalkan pesan?" gumam Sebastian.
Disaat yang bersamaan tiba-tiba ponselnya berdering.
"Iya, Dok. Ada apa?" tanya Sebastian.
"Sebastian, kamu harus ke rumah sakit sekarang juga. Aku akan menjelaskannya nanti." ucap Dokter Gunawan.
Sebastian menutup ponselnya dan ia meminta Diko untuk nanti menyusul ke rumah sakit.
Ia langsung melajukan mobilnya menuju ke rumah sakit.
Di sepanjang perjalanan, Sebastian terbayang-bayang wajah Amira.
Tak berselang lama ia menghentikan mobilnya di parkiran rumah sakit.
Sebastian turun dari mobil dan segera menuju ke ruang Dokter Gunawan.
Tanpa mengetuk pintu, ia langsung masuk kedalam.
"Langsung saja ke intinya, Dok. Ada apa anda memintaku datang sepagi ini?" tanya Sebastian dengan wajah penuh kecemasan.
Dokter Gunawan menghela nafas panjang sebelum memberikan hasil laboratorium tentang reproduksi milik Sebastian.
"Aku sudah memeriksa sel sperma milikmu dan sepertinya ada kesalahan, Bas." jawab Dokter Gunawan.
Sebastian mengernyitkan keningnya dan meminta dokter langsung ke inti.
"Kamu tidak mandul, Bas. Sperma mu justru berada dalam kondisi sangat baik. Aku bahkan jarang melihat hasil sepadat dan seaktif ini pada pria seusiamu.”
BRAK!
Sebastian yang mendengarnya langsung menggebrak meja.
"Jadi, selama ini aku tidak mandul?"
Dokter Gunawan menggelengkan kepalanya dan menunjukkan hasilnya.
Sebastian langsung mengambil ponselnya dan menghubungi Diko.
"Diko, lekas periksa cctv dan hubungi aku tentang wanita itu. Jangan pakai lama!"
Sebastian menutup ponselnya dan kembali memandang wajah dokter Gunawan.
Sementara itu setelah mendapatkan perintah dari Sebastian.
Diko mengakan beberapa anak buahnya untuk memeriksakan cctv hotel.
Ia melihat lalu lalang orang-orang yang datang ke hotel semalam.
"Semalam banyak orang yang datang ke ulang tahun perusahaan. Dan sangat susah mencarinya." ucap anak buah Diko.
Diko yang gemas langsung memukul kepala mereka.
Dengan hati-hati mengamati semua orang yang lewat.
"Siapa wanita yang mempunyai luka di wajahnya?" gumam Diko.
Sudah lebih dari tiga jam para anak buah Diko memelototi layar monitor di ruang CCTV hotel.
Suara gumaman frustrasi dan desahan lelah terdengar di seluruh ruangan kecil itu.
“Pak, ini nggak mungkin. Orang yang datang semalam itu ratusan. Kebanyakan pakai masker, dandan glamor, susah bedain mana yang luka beneran atau cuma makeup," keluh salah satu staf keamanan hotel.
“Fokus ke wanita yang wajahnya bengkak atau lebam, bukan yang pakai glitter atau blush-on!”
Ia sendiri ikut duduk di depan layar, menahan kantuk.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari, tapi perintah Sebastian terus terngiang:
"Temukan dia. Berapapun harganya.”
Mata mereka mulai merah, bahkan salah satu staf hampir tertidur sambil duduk.
“Pak! Pak! Stop dulu! Mundur sedikit!”
Diko segera memutar ulang rekaman yang ditunjuk staf itu.
Di layar, tampak seorang wanita bergaun hitam panjang, berjalan agak tertunduk.
Rambutnya terurai, menutupi sebagian wajah Amira
Jantung Diko berdetak cepat sambil menatap layar komputer.
“Perbesar wajahnya!”
Staf memperbesar rekaman hingga wajah Amira yang terluka, terlihat sangat jelas.
Wanita itu masuk lift, turun ke lantai bawah dan keluar hotel.
“Akhirnya…”
Rekaman hanya menampilkan wajah Amira yang keluar hotel.
“Cek ke resepsionis. Tanyakan apakah ada taksi yang biasa digunakan untuk tamu hotel.”
Tak lama kemudian mereka kembali, membawa catatan kecil.
“Pak, resepsionis bilang perempuan itu naik taksi warna silver dengan plat nomor B 2176 QX."
Diko mengambil ponselnya dan menghubungi pihak taksi.
Supir taksi mengatakan kalau ia menurunkannya di terminal.
karna bastian mandul