Bagi Nadin, bekerja di perusahaan besar itu impian. Sampai dia sadar, bosnya ternyata anak tetangga sendiri! Marvin Alexander, dingin, perfeksionis, dan dulu sering jadi korban keisengannya.
Suatu hari tumpahan kopi bikin seluruh kantor geger, dan sejak itu hubungan mereka beku. Eh, belum selesai drama kantor, orang tua malah menjodohkan mereka berdua!
Nadin mau nolak, tapi gimana kalau ternyata bos jutek itu diam-diam suka sama dia?
Pernikahan rahasia, cemburu di tempat kerja, dan tetangga yang hobi ikut campur,
siapa sangka cinta bisa sechaotic ini.
Yuk, simak kisah mereka di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Rencana Anita jelas bakalan gagal
Malam itu, rumah keluarga Mudi tampak sunyi, hanya cahaya lembut dari chandelier besar di ruang tengah yang menerangi sosok Anita yang duduk di depan cermin besar.
Di atas meja, terdapat beberapa dokumen proyek amal dan satu foto, Nadin dan Marvin keluar dari rumah sakit, tersenyum sambil membawa hasil USG. Anita menatap foto itu lama, matanya tajam, tapi bibirnya melengkung membentuk senyum tipis yang nyaris tak terbaca.
“Jadi … sekarang kau benar-benar menang, Nadin Alexander,” gumamnya lirih, menyandarkan punggung di kursi.
“Kau pikir satu cincin dan janin kecil itu bisa membuatmu aman?”
Pintu kamar diketuk, mama-nya, Nyonya Mudi, masuk sambil membawa secangkir teh.
“Anita, Mama dengar kamu ketemu Marvin di rumah sakit?”
“Iya, Ma ... dan seperti dugaan Mama, dia makin jauh dari kita … karena perempuan itu.”
“Perempuan itu?”
“Nadin.”
Anita menatap ibunya dari balik cermin.
“Dia bukan siapa-siapa, tapi semua orang sekarang memperlakukannya seolah dia ratu.”
Nyonya Mudi menaruh teh, menatap putrinya dalam-dalam.
“Kalau kau benar mau melangkah di dunia ini, Nak, belajar satu hal, kalau tidak bisa menyingkirkan lawan, buat dia jatuh dengan caranya sendiri.”
Anita tersenyum kecil.
“Itu yang sedang kupikirkan, Ma.”
Ia beranjak dari kursinya, berjalan menuju balkon besar rumah itu. Dari kejauhan, gemerlap kota tampak tenang, tapi di matanya itu seperti arena perang.
“Aku sudah punya cara,” ucapnya pelan. “Dan kali ini, aku tidak akan main cantik.”
Keesokan harinya, di kantor Alexander Corp., suasana terasa normal.
Nadin duduk di ruangannya, memeriksa laporan kegiatan sosial yang baru saja selesai. Namun tiba-tiba sekretaris mengetuk pintu dan menyodorkan map.
“Bu Nadin, ini data kolaborasi yang baru masuk dari perusahaan Mudi Group. Katanya ada proyek gabungan baru.”
“Mudi Group?” alis Nadin terangkat.
“Iya, Bu. Katanya langsung dari Nona Anita sendiri.”
Nadin terdiam sejenak, lalu tersenyum miring.
“Baik, taruh di meja saya. Nanti saya pelajari.”
Begitu sekretaris keluar, Nadin membuka map itu. Isinya tampak normal, proposal proyek lingkungan, laporan kerja sama, semua disusun rapi. Tapi di bagian akhir, ada satu kalimat kecil dengan tinta emas di pojok bawah,
“See you at the press conference, Mrs. Alexander.” Anita Mudi
Nadin menatap tulisan itu lama. Ia tahu, ini bukan sekadar ajakan profesional. Ini tantangan. Ia menutup map pelan, lalu menatap foto USG kecil di atas mejanya.
“Baik, Anita,” gumamnya. “Kita lihat siapa yang sebenarnya akan jatuh kali ini.”
Sementara itu, di tempat lain, Anita tengah berdiri di ruang rapat bersama dua orang pria berjas. Salah satunya menatapnya dengan kagum.
“Nona Anita, Anda yakin ingin ambil risiko ini? Kalau proyek gabungan ini gagal, reputasi Mudi Group bisa goyah.”
Anita tersenyum.
“Justru itu alasannya. Aku ingin lihat sejauh mana Nadin Alexander bisa bertahan saat semua mata tertuju padanya.”
Ia melangkah ke jendela, menatap ke luar dengan penuh keyakinan.
“Kali ini, dia tidak hanya akan kehilangan wajah, tapi juga kepercayaan dari suaminya sendiri.”
Cahaya sore jatuh di wajahnya, dan di balik senyum elegan itu, terlihat jelas, perang antara dua perempuan baru saja dimulai.
Hari itu, aula besar hotel bintang lima di pusat kota tampak ramai. Puluhan wartawan sudah memenuhi ruangan, kamera berjajar, dan backdrop besar bertuliskan,
“Konferensi Pers: Proyek Kolaborasi Sosial Mudi Group x Alexander Corp.”
Nadin berdiri di depan cermin di ruang ganti. Dia mengenakan setelan putih gading yang elegan, rambutnya disanggul rapi dengan anting kecil berbentuk bintang di telinga kirinya. Tapi wajahnya tidak se-tenang itu.
Tangannya sedikit gemetar ketika ia merapikan jas.
“Kamu kelihatan tegang,” suara bariton itu terdengar dari belakang.
Nadin menatap cermin, Marvin berdiri di sana, mengenakan jas hitam dan dasi biru navy, dengan senyum khasnya yang bisa membuat siapa pun meleleh, kecuali istrinya yang bar-bar ini.
“Aku nggak tegang, cuma...”
“Cuma takut kalah dari Anita?” Marvin memotong sambil melangkah mendekat, menyandarkan tangan di pinggang Nadin.
“Aku nggak takut kalah, aku cuma takut ngelempar mic ke mukanya kalau dia mulai sok elegan lagi,” sahut Nadin dengan wajah serius.
Marvin tertawa kecil.
“Kamu ini … bahkan pas gugup masih barbar.”
“Salah sendiri nikah sama aku.”
“Dan aku senang banget karena itu.”
Nadin mendengus, tapi pipinya merona.
“Udah sana, jangan bikin aku tambah salah fokus.”
“Oke, Mrs. Alexander. Tapi ingat, kalau dia mulai menyerang, senyumin aja. Dunia ini paling takut sama perempuan yang bisa menang sambil senyum.”
Nadin mengangguk pelan. Marvin mengecup pucuk kepalanya sebentar sebelum melangkah pergi ke panggung utama. Tak lama kemudian, lampu aula meredup. Pembawa acara mempersilakan semua pihak naik ke panggung.
Anita muncul dengan gaun hitam elegan, berjalan anggun, senyumnya menawan seperti biasa. Di sebelahnya, Marvin dan Nadin berjalan berdampingan.
Semua kamera langsung menyorot, karena jarang sekali CEO Alexander Corp. membawa istrinya tampil di depan publik.
“Selamat pagi, semuanya,” Anita membuka dengan suara lembut tapi tegas.
“Hari ini, dua perusahaan besar akan bersatu dalam misi sosial yang mulia.”
Ia menatap Nadin dengan senyum tipis.
“Dan tentu, saya sangat senang bisa bekerja dengan … Ibu Nadin Alexander.”
Nada bicaranya sopan, tapi menyelipkan aroma ejekan. Beberapa wartawan bahkan saling berbisik pelan, menatap mereka bergantian. Nadin membalas senyum itu, tapi matanya memantulkan api kecil.
“Terima kasih, Nona Anita. Senang sekali akhirnya kita bisa bekerja sama lagi … di bawah sorotan lampu, bukan di belakang layar.”
Beberapa tamu nyaris menahan tawa, Anita menegang sesaat, tapi cepat tersenyum lagi. Ketika sesi tanya jawab dimulai, salah satu wartawan mengangkat tangan.
“Bu Nadin, bagaimana pendapat Anda tentang rumor yang beredar, bahwa proyek ini hanya bisa berhasil karena campur tangan Mudi Group?”
Ruangan langsung hening. Pertanyaan itu jelas diarahkan untuk menjatuhkan Nadin. Anita menatapnya dengan mata penuh kemenangan. Namun Nadin hanya tersenyum lembut, memegang mic dengan santai.
“Saya pikir kerja sama ini bukan tentang siapa yang lebih kuat, tapi siapa yang lebih tulus. Alexander Corp. sudah belajar bahwa niat baik tidak butuh panggung besar, cukup hasil yang bisa dirasakan banyak orang.”
Ia berhenti sejenak, menatap Anita sekilas.
“Dan saya percaya … semua pihak di sini sepakat, niat baik tidak bisa dicampur dengan ambisi pribadi.”
Penonton bertepuk tangan, Anita tersenyum kaku.
Tiba-tiba layar besar di belakang mereka menyala, menampilkan video dokumentasi kegiatan sosial yang Nadin tangani beberapa minggu lalu.
Namun, bukan hanya video itu yang muncul tapi juga cuplikan singkat ketika Anita memberi instruksi salah ke tim Mudi Group dan membuat kegiatan hampir gagal.
Seseorang dari panitia ternyata tanpa sengaja mengunggah file itu karena salah pilih folder, Anita terbelalak. Para wartawan mulai berbisik ramai, kamera menyorot ke arahnya.
Nadin sendiri tampak terkejut, tapi segera memanfaatkan situasi.
“Sepertinya ada kesalahan teknis,” katanya dengan nada tenang. “Tapi … setidaknya kita jadi tahu bagaimana semua pihak belajar dari kesalahan, kan?”
Marvin nyaris menahan tawa dari kursinya. Sementara Anita menunduk malu, wajahnya memerah padam. Setelah acara berakhir dan wartawan bubar, Nadin berjalan menuju mobil dengan langkah ringan.
Marvin mengejarnya, menatapnya geli.
“Jadi kamu sengaja nyiapin file itu, ya?”
“Nggak!” Nadin mengangkat tangan. “Aku sumpah, itu beneran kebetulan!”
“Tapi kamu nikmatin banget reaksinya.”
“Ya iyalah,” sahut Nadin sambil nyengir. “Kapan lagi bisa ngelihat wajahnya yang kayak kue gosong gitu?”
Marvin tertawa lepas.
“Istri CEO, tapi gaya perang masih kayak bocah SMA.”
“Justru itu rahasiaku, Mr. Alexander,” katanya sambil mengedip. “Manis di luar, rusuh di dalam.”
Marvin menggeleng, lalu merangkulnya pelan.
“Dan aku jatuh cinta tiap kali kamu rusuh.”
Namun jauh di sana, dari dalam mobil hitam yang berhenti di pinggir jalan, Anita memandang panggung yang sudah sepi dengan mata berkaca. Tangannya mengepal kuat.
“Baik, Nadin…” katanya pelan. “Kau menang kali ini. Tapi kita lihat siapa yang tertawa terakhir.”
rasanya pengen tak getok aja tuh kepalanya Anita biar gegar otak sekalian . jadi orang kok murahan banget mau merebut suami orang .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
sampai bacanya gemes tolong pelakor di hempaskan biyar kapok dan kena karmanya....
heeee lanjut Thor semangat 💪
tapi ingat aja Anita.... kamu gak akan menang melawan wanita bar-bar seperti Nadin Alexander .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
dan ternyata drama ibu hamil masih berlanjut terus . bukan Nadin yang hamil yang bikin heboh , tapi Marvin suaminya malah sekarang ditambah mertuanya .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
tapi pantes aja sih kelakuan Anita kayak gitu , orang ajaran dan didikan ibunya juga gak bener .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
apalagi sekarang Nadin lagi hamil makin sayang dan cinta mereka makin tumbuh lebih besar .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
selamat ya Nadin dan Marvin , semoga kehamilannya berjalan lancar hingga lahiran nanti .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍