Seharusnya, dengan seorang Kakak Kaisar sebagai pendukung dan empat suami yang melayani, Chunhua menjadi pemenang dalam hidup. Namun, kenyataannya berbanding terbalik.
Tubuh barunya ini telah dirusak oleh racun sejak bertahun-tahun lalu dan telah ditakdirkan mati di bawah pedang salah satu suaminya, An Changyi.
Mati lagi?
Tidak, terima kasih!
Dia sudah pernah mati dua kali dan tidak ingin mati lagi!
Tapi, oh!
Kenapa An Changyi ini memiliki penampilan yang sama dengan orang yang membunuhnya di kehidupan lalu?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon miaomiao26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Rencana
Chunhua terhenyak, napasnya masih memburu. Tangan yang baru saja ia tangkap terasa hangat, nyata.
Medan sura itu lenyap seketika.
Bau amis dan jeritan samar berganti dengan aroma lembut bunga kering, bercampur wangi dupa yang masih mengepul samar.
Matanya menangkap tirai merah menjuntai dari ranjang luas, kain satin yang dingin menempel di kulitnya.
Yang terbaring di bawah tubuhnya bukan Si Yan yang terkoyak, melainkan seorang pria tampan yang dikenalnya—Feng Jun, salah satu selir pria tubuh barunya.
“Yang Mulia…” suara pria itu pelan, penuh hormat.
Chunhua membeku sejenak. Detak jantungnya masih kacau, tetapi pikirannya mulai jernih.
Dia sadar, ini bukan mimpi.
Tangannya terulur, mengusap lembut tepi luka di leher pria itu. Bibirnya berbisik lirih, “Jun’er.”
Feng Jun tersenyum patuh, matanya penuh pengabdian. “Apa yang dibutuhkan Yang Mulia?”
Chunhua menatapnya lama. Jari-jarinya menelusuri rahang tegasnya. Chunhua tidak menjawab, hanya menunduk, membiarkan napas hangatnya menyapu kulit leher pria itu.
“Jun’er…” bisiknya, lembut namun mengandung perintah. “Tetap di sisiku. Jangan menolak.”
Tubuh Feng Jun sempat menegang, lalu perlahan luluh di bawah sorot mata pemiliknya. Ia mengangguk pelan, pasrah.
Senyum tipis melintas di wajah Chunhua.
Tangannya bergerak turun, menelusuri dada bidang yang panas, meninggalkan jejak seolah menandai kepemilikan. Detak jantung pria itu kian cepat, napasnya semakin berat.
Tirai ranjang bergoyang pelan diterpa angin, bayang-bayang merah jatuh ke tubuh mereka. Aroma dupa makin pekat, menutup dunia luar.
Lalu, keheningan kamar pecah.
Suara erangan terputus-putus memenuhi ruang, bercampur napas berat dan desisan gairah.
Chunhua menunduk, bibirnya menempel di leher Feng Jun. Bekas gigitannya merah segar, segera dijilat perlahan, meninggalkan basah yang membuat pria itu menggeliat.
Erangan kecil lolos dari tenggorokannya, tertahan, tetapi jelas.
“Sungguh luar biasa…” bisik Chunhua di telinganya, suaranya rendah, bergulir seperti kabut. “…bahwa aku masih hidup. Dan kamu… kamu ada untuk mengingatkan aku.”
Jemari Chunhua bergerak ke bawah, menuntut kepatuhan dengan setiap sentuhan.
Dia menindih tubuh pria itu, menciumnya dengan kelaparan yang nyaris buas. Lidahnya menuntut, menggali, meninggalkan bekas merah dari leher hingga dada.
Seolah setiap cakaran dan gigitan adalah pembuktian. Dan setiap desah Feng Jun adalah pengingat bahwa ia hidup kembali.
Ketika tubuh mereka bersatu, Chunhua menutup mata rapat-rapat. Ia tidak ingin melihat Si Yan yang mati, tidak ingin mengingat pisau berlapis api ungu milik Chang Yi.
Setiap ciuman, setiap desah adalah cara untuk menghapus bayangan itu.
Yang ia butuhkan hanyalah panas tubuh di pelukannya, suara lirih yang membuktikan satu hal:
Bahwa sekarang dia adalah Murong Chunhua.
Sang Putri Agung dari Daliang.
Ketika gairah mereda, Chunhua berbaring di sisinya, memeluk kehangatan yang masih tersisa di tubuh pria itu.
Kelopak matanya berat. Aroma samar keringat dan darah bercampur, tetapi anehnya justru membuatnya tenang. Perlahan dia tertidur, membiarkan dirinya karam dalam kelelahan.
Entah berapa lama dia terlelap, suara berderit halus Memecah kesunyian. Engsel pintu bergeser pelan, tak berani mengganggu lebih dari seharusnya.
“Yang Mulia, air mandi sudah disiapkan.”
Suara lembut itu mengalun, tenang, penuh ketundukan.
Dia menoleh perlahan. Di ambang pintu berdiri seorang wanita muda, berusia sekitar dua puluh tahun, mengenakan pakaian pelayan senior berwarna biru tua dengan tepi putih bersih. Rambutnya ditata dalam sanggul sederhana, hanya dihiasi sebatang jepit emas yang berkilau samar diterpa cahaya pagi.
Sinar matahari menembus celah tirai, jatuh di wajahnya, menyoroti garis manis yang berpadu dengan ketegasan.
Chunhua mengenalinya dari ingatan tubuh ini.
Su Yin.
Pelayan pribadi, sekaligus tangan kanan paling loyal milik Putri Fangsu.
“Ya,” jawab Chunhua datar, suaranya dingin tanpa riak emosi.
Ia menyingkap selimut tipis yang Menutupi tubuhnya. Kain satin melorot pelan, memperlihatkan kulit pucat yang berkilau lembut dalam cahaya pagi. Kulit itu tampak halus, rapuh, seolah tak pernah disentuh kerasnya dunia luar.
Kaki itu menginjak karpet bulu binatang, meninggalkan bekas samar yang segera hilang.
Su Yin menunduk dalam-dalam, seolah keindahan itu adalah pemandangan yang tak pantas dipandang langsung.
Chunhua melangkah menuju kamar mandi. Uap tipis sudah melayang keluar dari pintu terbuka. Sambil berjalan, ia berucap pelan, “Panggilkan tabib. Biarkan mereka merawat Feng Jun.”
“Segera, Yang Mulia,” jawab Su Yin tanpa ragu, kemudian memanggil seorang dayang kecil untuk menjalankan pesanan Chunhua.
Kabut memenuhi kamar mandi, menempel di dinding batu yang licin. Air panas beriak di kolam marmer, memantulkan cahaya lilin yang remang.
Chunhua masuk, membiarkan air merendam tubuhnya.
Uap tipis mengepul, memenuhi ruangan dengan aroma samar kelopak bunga yang terapung di permukaan. Panas air menyapu kulitnya, perlahan mengendurkan otot-otot yang masih kaku setelah malam panjang.
Ia menutup mata.
Dalam kabut kehangatan itu, pikirannya semakin jernih. Potongan-potongan ingatan yang bukan miliknya perlahan tersusun rapi.
Dunia ini sebenarnya adalah sebuah novel.
Calon suami sah tubuh ini adalah sang protagonis, sementara dirinya hanya penjahat kecil yang hadir untuk menonjolkan kehebatan tokoh utama.
Tubuh barunya bernama Murong Chunhua, Putri Agung Fangsu, adik Kaisar.
Pemilik asli tubuh ini tak hanya merencanakan pemberontakan, tetapi juga dikenal rakus dan bernafsu. Ia memaksa pernikahan dengan An Changyi, lalu menodai pria itu dengan paksaan.
Dan seperti yang bisa ditebak, An Changyi membalasnya dengan cara yang sama.
Chunhua membuka mata perlahan. Tangannya menangkup air bertabur kelopak, lalu menjatuhkannya kembali, menimbulkan riak kecil. Senyum tipis muncul di bibirnya.
Karena sudah hidup kembali, dia tidak ingin mati lagi dengan cara menyedihkan seperti pemilik tubuh sebelumnya.
Jadi, sebelum pernikahan itu berlangsung, ia sendiri yang akan membatalkannya.
Ketika ia keluar dari kamar mandi, tubuhnya dibalut jubah tipis sutra putih. Rambut basahnya terurai panjang, meneteskan air ke permadani.
Kamar tidurnya sudah berubah wajah. Kekacauan semalam lenyap, seolah tidak pernah terjadi. Seprai baru terhampar, lantai dibersihkan, bahkan aroma samar yang mengganggu pun sudah menghilang, digantikan oleh wangi lembut ambergis.
Beberapa tabib berjongkok di sisi ranjang, merawat tubuh Feng Jun yang penuh bekas cakaran dan gigitan. Bibirnya memar, napasnya berat.
Jari mereka gemetar meski berusaha terlihat stabil. Wajah-wajah mereka kaku, berusaha netral, namun sorot mata mereka tak bisa menutupi ngeri yang tersisa.
Chunhua mengangkat alis samar.
Aneh.
Bukankah mereka seharusnya sudah terbiasa?
Mereka adalah tabib pribadi Istana Putri.
Mengingat Murong Chunhua asli tidak mengenal kelembutan dalam hubungan pria-wanita, kejadian ini seharusnya bukan yang pertama.
Kenapa masih terkejut?
Chunhua melihat lagi luka Feng Jun yang belum ditutup dan meringis dalam hati.
Mungkinkah karenaku?
Ia mendesah ringan. Sepertinya dia sudah bergerak terlalu jauh.
Chunhua merasa iba selama tiga detik.
Ketika dia duduk di depan meja rias, cermin perunggu memantulkan wajahnya—pucat, cantik, dengan mata yang tidak pernah benar-benar hangat.
Dia menyentuh wajahnya, mengaguminya sejenak.
Siapa sangka, Putri Fangsu ini memiliki penampilan yang sama dengannya, hanya saja versi yang lebih terawat dan lemah.
Di belakangnya, Su Yin bergerak cekatan, mengeringkan helaian panjang dengan kain halus, menata rambut, lalu menyanggulnya perlahan. Jemari gadis itu terampil, nyaris tanpa suara.
Dari pantulan cermin, Chunhua melihat Su Yin lebih jelas.
Pelayan muda itu masih berusia sekitar dua puluh tahun, namun sorot matanya matang, penuh keteguhan. Rambutnya yang hitam pekat ditahan dengan jepit emas—jepit yang Chunhua kenali dari ingatan tubuh ini.
Itu adalah pemberian Murong Chunhua saat pertama mereka bertemu.
Chunhua menatap pantulan jepit itu lama.
Tiba-tiba sebuah ingatan muncul, sebuah akhir yang getir.
Dalam jalur cerita novel, loyalitas Su Yin berakhir sia-sia.
Saat pemberontakan pecah, Murong Chunhua dikhianati oleh salah satu anteknya yang berpaling kepada An Changyi, membawa seluruh informasi penting bersamanya.
Su Yin, demi melindungi tuannya, memilih untuk mengorbankan diri. Ia menahan pasukan musuh, tubuhnya ditembus ribuan anak panah, hingga gugur di tempat.
Akan tetapi, pengorbanan itu sia-sia.
Murong Chunhua tetap tertangkap. Dan An Changyi, untuk membalas penghinaan yang pernah dia terima, membiarkan beberapa pria memerkosanya sampai mati.
Akhir tuan dan pelayan sama-sama mengenaskan.
Yang satu mati terinjak, yang lain mati tercabik.
Chunhua menutup mata sejenak, lalu menghela napas.
“Tidak ada yang bagus dari akhir itu,” gumamnya datar.
Senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Senyum itu bukan karena humor, melainkan sekadar kebiasaan menutupi gigi.
Jika ia ingin menyelamatkan dirinya, pembatalan pernikahan adalah opsi terbaik. Itu adalah jalan keluar paling awal, paling sederhana, sebelum dia maupun An Changyi bersinggungan.
Akan tetapi, jika dia ingin menyelamatkan pelayan setia ini, cara terbaik adalah menarik Su Yin keluar dari lingkaran perebutan kekuasaan.
Selain tidak ada gunanya membiarkan pelayan itu mati sia-sia, anggaplah dia membalas budi pada Murong Chunhua karena menempati tubuhnya.
“Su Yin,” panggil Chunhua tiba-tiba.
Pelayan itu berhenti sejenak, lalu menunduk hormat. “Ya, Yang Mulia?”
Chunhua menatap pantulan wajah Su Yin di cermin. Matanya tenang, bibirnya melengkung tipis.
“Usiamu sudah dua puluh tahun, bukan?” tanyanya.
Su Yin tertegun sesaat, lalu menjawab hati-hati. “Ya, Yang Mulia.”
“Apakah ada seseorang yang kau sukai?”
Su Yin tersentak. Tangan yang sedang menyanggul rambut nyaris tergelincir. Tubuhnya langsung gemetar, lalu ia jatuh berlutut di belakang Chunhua.
“Yang Mulia… hamba tidak berani!" Terdengar suara 'buk' nyaring saat dahinya beradu dengan lantai.
Chunhua tertegun, begitu juga para tabib yang melirik penasaran.
Jarak tempat tidur dan meja rias tidak terlalu dekat atau jauh, tetapi mereka terlalu fokus mengobati pria malang di tempat tidur, jadi suara Chunhua hanya terdengar samar-samar. Mereka saling melihat rekannya, seolah bertanya hal buruk apa yang dilakukan Nona Su hingga dia harus bersujud memohon ampun.
Chunhua tidak mengerti percakapan tatap mata para tabib itu, dia hanya tidak menyangka reaksi Su Yin akan sekeras itu.
"Jika ini adalah cara Yang Mulia hendak menyingkirkan hamba, mohon, ampunilah! Hamba hanya ingin tetap berada di sisi Yang Mulia. Hamba tidak ingin menikah, tidak ingin keluarga lain. Hamba… hanya ingin melayani.”
Suara Su Yin bergetar, nyaris panik.
Chunhua mengedip kemudian memijat keningnya.
Ia bisa merasakan ketakutan yang tulus dari pelayan itu.
“Bangunlah. Putri ini tidak ingin mengusirmu,” katanya datar. “Hanya saja, kau sudah seusia ini. Normalnya, seorang wanita akan memiliki keluarganya sendiri. Aku hanya bertanya, tidak lebih.”
Su Yin mengangkat kepala perlahan, matanya berkaca-kaca, namun segera menunduk lagi. “Hamba… tidak ingin ada yang lain. Hamba hanya ingin melayani Yang Mulia seumur hidup.”
Chunhua menatap gadis itu beberapa lama, lalu kembali tersenyum tipis.
Begitu setia. Begitu bodoh. Jika dibiarkan, kesetiaan ini hanya akan berakhir di hujan panah.
Kamar kembali hening.
Hanya suara samar tusuk rambut emas yang menusuk rambut, suara kain yang menggesek lembut, dan napas Su Yin yang masih belum stabil.
Di luar, kehidupan istana Putri masih berjalan sebagaimana biasanya. Namun, dari dalam kamar ini, Istana Putri Agung akan perlahan berubah.