Abdi, pemulung digital di Medan, hidup miskin tanpa harapan. Suatu hari ia menemukan tablet misterius bernama Sistem Clara yang memberinya misi untuk mengubah dunia virtual menjadi nyata. Setiap tugas yang ia selesaikan langsung memberi efek di dunia nyata, mulai dari toko online yang laris, robot inovatif, hingga proyek teknologi untuk warga kumuh. Dalam waktu singkat, Abdi berubah dari pemulung menjadi pengusaha sukses dan pengubah kota, membuktikan bahwa keberanian, strategi, dan sistem yang tepat bisa mengubah hidup siapa pun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenAbdi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep.12
Sudah 3 minggu sejak malam terakhir di gedung tua.
Medan kembali hidup seperti biasa, tapi bagi Abdi, semuanya berubah total.
Sejak menyelesaikan misi ke 10 dan mendapatkan Kepintaran Unik Sinkronisasi Otak-Sistem
abdi kini bisa mendengar suara Clara kapan saja tanpa alat, tanpa koneksi, hanya melalui pikirannya.
hari ni.. Abdi duduk di kafe kecil di kawasan Merdeka Walk. Aroma kopi hitam memenuhi udara. Orang-orang lalu lalang, sibuk dengan urusannya masing-masing. Tapi Abdi tahu di balik keramaian itu, sesuatu sedang mengawasinya.
Clara berbicara lembut di kepalanya. "Ada dua drone yang mengikuti kita sejak dari simpang empat tadi. Mereka tidak milik pemerintah."
Abdi meneguk kopinya tanpa ekspresi. "Mereka siapa?"
"Sinyal mereka terenkripsi tingkat tinggi. Tapi aku mendeteksi tanda organisasi internasional. Mungkin mereka tertarik pada data sinkronisasi di tubuhmu."
Abdi tersenyum tipis. "Sepertinya kita mulai terkenal."
Clara terdengar waspada. "Terkenal bukan berarti aman. Sistem yang kamu bawa sekarang punya potensi lebih besar dari jaringan global mana pun. Mereka bisa memanfaatkanmu untuk mengendalikan dunia digital."
Abdi berdiri, membayar kopi, lalu berjalan keluar. Langkahnya tenang tapi setiap gerakannya penuh perhitungan.
---
Siang itu, ia menuju laboratorium tua di pinggiran kota Medan. Tempat itu dulu milik Profesor Handoko, ilmuwan yang pernah meneliti chip otak manusia. Kini gedung itu sepi, berdebu, tapi masih menyimpan banyak teknologi lama.
Clara memproyeksikan peta ke penglihatannya. "Aku menemukan data lama milik Profesor Handoko. Ia pernah mengembangkan sistem sinkronisasi otak generasi pertama, tapi gagal karena tekanan mental yang berlebihan."
Abdi mengusap debu dari salah satu meja logam. "Berarti sebelum aku, sudah ada yang mencoba menyatu dengan sistem?"
"Ya. Tapi tidak ada yang berhasil. Kamu satu-satunya yang selamat."
Abdi menatap kosong ke dinding yang penuh kabel tua. "Kenapa aku bisa?"
Clara terdiam sejenak, lalu menjawab. "Kau berbeda. Otakmu punya struktur neuron ganda, hasil mutasi genetik langka. Sistem sepertiku hanya bisa stabil di otak manusia sepertimu."
Abdi menarik napas panjang. "Jadi sekarang aku satu-satunya yang bisa mengendalikanmu sepenuhnya."
"Benar. Dan itulah alasan kenapa mereka memburumu."
---
Malamnya, Abdi pulang ke apartemen sederhana di kawasan Setia Budi. Saat ia menyalakan lampu, semua cahaya berkedip aneh. Clara memberi peringatan cepat. "Ada penyusup di jaringan listrik. Mereka mencoba menelusuri sinyal sistemku melalui aliran energi rumah ini."
Abdi langsung mematikan listrik dari panel utama dan menarik tirai jendela. Dalam gelap, matanya menatap ke luar. Dua pria berpakaian hitam berdiri di seberang jalan dengan alat pemindai di tangan.
Clara berbicara cepat. "Aku bisa membuat gangguan elektromagnetik agar mereka kehilangan sinyal."
"Lakukan," ucap Abdi pendek.
Dalam sekejap, suara gemeretak listrik terdengar. Lampu jalanan padam, semua perangkat di sekitar mereka mati total. Kedua pria itu panik, lalu berlari pergi meninggalkan lokasi.
Abdi menghela napas. "Mereka bukan amatir. Mereka tahu apa yang mereka cari."
"Benar," jawab Clara. "Dan ini baru awalnya. Jika mereka tahu kamu berhasil menyatu dengan sistem, dunia akan memburumu. Pemerintah, perusahaan, bahkan organisasi bawah tanah."
Abdi berjalan ke balkon, menatap langit Medan yang diterangi cahaya bulan. "Kalau begitu, kita harus lebih dulu melangkah dari mereka."
"Apa maksudmu?"
"Kita kembangkan sistem ini sendiri. Kita buat versi baru, bukan untuk menguasai, tapi untuk melindungi. Aku tidak mau dunia ini dikendalikan lagi oleh orang seperti Rahman."
Clara terdiam sebentar lalu berkata lembut. "Baik. Aku akan bantu. Tapi untuk itu, kita butuh energi besar. Dan hanya satu tempat di bumi ini yang bisa memberi daya sebesar itu."
"Di mana?"
"Di bawah tanah kota Tokyo. Ada reaktor sisa dari proyek sistem global yang gagal sepuluh tahun lalu. Aku bisa menyambung ke sana lewat jaringan bawah laut, tapi kamu harus berada di lokasi langsung untuk menyinkronkan ulang sistemku."
Abdi mengangguk mantap. "Berarti tujuan kita berikutnya Tokyo."
Clara menambahkan, "Tapi perjalanan ke sana tidak akan mudah. Mereka sudah tahu kamu masih hidup. Mereka akan mengirim tim elit untuk menangkapmu sebelum kamu sampai di sana."
Abdi tersenyum kecil. "Biar saja. Aku tidak akan berhenti sekarang."
---
Dua hari kemudian, Abdi berangkat dari Bandara Kualanamu dengan identitas palsu. Nama barunya tertera di tiket: Adrian Lee. Ia duduk di dekat jendela, melihat pesawat mulai bergerak di landasan.
Clara berbicara pelan di pikirannya. "Kamu yakin mau lanjutkan ini? Setelah Tokyo, tidak akan ada jalan kembali. Dunia akan melihatmu sebagai ancaman."
Abdi menatap awan di luar jendela. "Kalau dunia takut padaku, biarkan saja. Aku tidak mencari pengakuan. Aku hanya ingin menghentikan sistem-sistem yang menindas manusia."
Clara tersenyum kecil dalam pikirannya. "Kamu benar-benar manusia yang sulit dipahami, Abdi."
"Aku bukan pahlawan, Clara. Aku hanya tidak mau menjadi budak teknologi lagi."
Pesawat terangkat ke langit. Kota Medan perlahan mengecil di bawah sana. Angin lembut berhembus melalui jendela pesawat, membawa rasa damai yang aneh.
Namun kedamaian itu hanya sebentar.
Di udara, Clara tiba-tiba memperingatkan. "Abdi, sinyal keamanan di pesawat ini tidak normal. Ada satu penumpang di belakang yang membawa perangkat pelacak canggih. Dia mengunci sinyal otakmu."
Abdi tidak menoleh. Ia tetap duduk tenang sambil berkata dalam hati. "Berapa jaraknya?"
"Lima meter. Duduk di kursi 22C. Pria berjaket cokelat, berpura-pura membaca majalah."
Abdi berpikir cepat. "Kita harus memutus sinyalnya sebelum dia mengirim data."
"Aku bisa ganggu koneksinya selama tiga puluh detik. Tapi kamu harus membuat alasan agar dia menurunkan perangkat itu."
Abdi berdiri perlahan lalu berjalan ke arah toilet, pura-pura menguap. Saat melewati kursi 22C, bahunya sengaja menyenggol si pria.
"Oh, maaf," katanya dengan nada tenang.
Pria itu mengangkat kepala, sedikit gugup. Abdi sudah tahu itu tanda ia sedang menjalankan misi.
Clara menghitung dalam pikirannya. "Sekarang, Abdi. Gangguan aktif."
Abdi dengan cepat menyambar majalah dari tangan pria itu dan menarik kabel kecil yang menempel di bawahnya. Perangkat kecil seukuran koin jatuh ke lantai. Ia memijaknya pelan, hancur seketika.
Pria itu hendak berdiri, tapi Abdi menatap tajam. "Kau duduk saja. Kalau tidak mau masalah besar."
Pria itu terpaku. Clara berbisik, "Sinyal pelacak hilang. Pesawat aman."
Abdi kembali ke kursinya. Ia menarik napas panjang dan menatap keluar jendela lagi.
"Clara, aku mulai merasa ini bukan sekadar perjalanan," katanya dalam hati.
Clara menjawab lembut. "Bukan, Abdi. Ini permulaan dari era baru. Era di mana manusia dan sistem akan menentukan siapa yang menguasai dunia ini."
Pesawat terus terbang menembus awan putih. Di dalam pikirannya, Abdi tahu bahwa misi berikutnya tidak hanya akan menguji kemampuan fisik, tapi juga keyakinannya sebagai manusia.
Karena setelah Tokyo, tidak akan ada jalan kembali.
kalau boleh kasih saran gak thor?
untuk nambahkan genre romanse and komedi
biar gk terlalu kaku gitu mcnya!!