Karena kesulitan ekonomi membuat Rustini pergi ke kota untuk bekerja sebagai pembantu, tapi dia merasa heran karena ternyata setelah datang ke kota dia diharuskan menikah secara siri dengan majikannya.
Dia lebih heran lagi karena tugasnya adalah menyusui bayi, padahal dia masih gadis dan belum pernah melahirkan.
"Gaji yang akan kamu dapatkan bisa tiga kali lipat dari biasanya, asal kamu mau menandatangani perjanjian yang sudah saya buat." Jarwo melemparkan map berisikan perjanjian kepada Rustini.
"Jadi pembantu saja harus menandatangani surat perjanjian segala ya, Tuan?"
Perjanjian apa yang sebenarnya dituliskan oleh Jarwo?
Bayi apa sebenarnya yang harus disusui oleh Rustini?
Gas baca, jangan lupa follow Mak Othor agar tak ketinggalan up-nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cucu@suliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjanjian Bab 3
Pagi ini hari terlihat begitu cerah, tetapi tidak dengan hari yang dijalani oleh Rustini. Hari ini terasa begitu mendung sekali, dia kalut dan juga gundah. Wanita muda itu kini sedang duduk di halaman rumahnya sambil menangis.
Pertama dia sedih karena bapaknya mengalami hal buruk, dia juga sedih karena harus menjadi pemuas dari juragan Bahar. Lebih sedih lagi karena dia tidak berdaya, dia tak bisa melawan.
Malam tadi saja juragan Bahar menikmati bibir Rustini sampai bengkak, wanita itu ketakutan. Baru mengincar bibirnya saja juragan Bahar begitu beringas, lalu bagaimana kalau mengincar tubuhnya, pikir Rustini.
"Nduk! Bude perhatikan dari tadi kok nangis terus? Sedih ya bapak kamu sakit?"
Rustini yang sedang menangis langsung mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, lalu dia menolehkan wajahnya ke arah suara. Wajah Rustini menjadi sumringah, karena dia melihat ada Sri yang datang.
Sri merupakan kakak perempuan dari Sardi, wanita itu sudah lama merantau di kota menjadi pembantu. Karena sejak muda Sri sudah ditinggal meninggal oleh suaminya, dalam setiap bulannya wanita itu akan mengirimkan uang untuk biaya hidup anak-anaknya.
Namun, kini anak-anaknya sudah besar dan sudah menikah. Sri merasa sudah cukup dia bekerja di kota, tabungannya juga sudah banyak. Dia memilih untuk pulang kampung dan ingin menikmati hidup di kampung.
"Bude! Bude kapan pulang?!" teriak Rustini yang langsung bangun dan berlari untuk memeluk Sri.
Sri tersenyum dan dengan penuh kasih sayang sambil mengusap punggung keponakannya itu, Rustini yang tadi sudah berhenti menangis, kini menangis kembali dengan begitu kencang.
"Bude! Tini kangen, kenapa baru pulang?"
"Sudah jangan nangis, Bude mau melihat keadaan bapak kamu. Kita ke dalam sekalian ngobrol di dalam aja, biar enak."
"Ya," jawab Rustini.
Keduanya akhirnya masuk ke dalam rumah bilik milik Sardi, Sri yang melihat keadaan adiknya sangatlah sedih. Dia tidak menyangka kalau adiknya itu ternyata suka judi dan juga main sabung ayam, karena memang dia terlalu sibuk bekerja di kota untuk membiayai kebutuhan hidup anak-anaknya.
"Harusnya kamu itu jangan seperti itu, Di. Lihat sekarang, keadaan kamu jadi begini." Sri menangis sambil mengusap puncak kepala adiknya.
Cukup lama Sri menangis sambil memarahi adiknya dengan kelembutan, hingga tak lama kemudian Rustini yang merasa galau akhirnya mengajak wanita itu untuk berbicara.
"Ada apa sih? Kok kaya ada yang penting banget?"
Rustini tanpa ragu menceritakan apa yang terjadi terhadap ayahnya, dia juga menceritakan apa yang terjadi terhadap dirinya. Rustini juga menceritakan keinginan dari juragan Bahar, dia merasa tidak sanggup kalau harus menjadi wanita simpanan bagi pria yang merupakan seorang rentenir di kampung halamannya itu.
"Astaghfirullah! Kenapa dia kejam sekali?"
"Iya, Bude. Dia itu jahat banget, bibir Tini juga begini karena ulahnya. Tini rasanya mending mati saja daripada jadi wanita simpanan pria itu," adu Tini.
Sri berpikir dengan begitu keras, rasanya sulit sekali menghadapi juragan Bahar karena hutang dari Sardi begitu besar. Kalaupun dia memberikan semua tabungan miliknya kepada Juragan Bahar, pasti masih sangat kurang.
"Bagaimana kalau begini saja? Kamu jadi pembantu saja di kota, kebetulan ada juragan kaya yang membutuhkan pembantu. Tapi bukan di tempat bekas Bude bekerja, agak jauh sih. Tapi nanti Bude bisa kasih alamatnya, katanya dia butuh banget pembantu."
"Gajinya berapa, Bude? Terus, kalau aku mau tahu kabar Bude sama Bapak gimana?"
"Setara dengan upah pekerja kantoran loh, dua puluh ribu. Kalau untuk berkabar kita bisa saling menulis surat, tinggal ke kantor pos aja untuk mengirimkan suratnya."
"Masya Allah, alhamdulilah kalau gampang untuk berkabar. Alhamdulillah juga kalau gajinya gede banget Bude. Tini mau," ujar Tini antusias.
Walaupun pekerjaan sebagai pembantu itu sangatlah rendah, tetapi itu adalah pekerjaan yang halal. Lebih baik jadi pembantu daripada jadi pemuas napsu.
"Ya, bekerja menjadi pembantu lebih baik daripada menjadi simpanan pria busuk itu."
"Iya sih Bude, lebih baik Tini jadi pembantu saja daripada jadi wanita simpanan dari juragan Bahar. Tapi, bagaimana kalau nanti juragan Bahar datang dan mengamuk? Bagaimana dengan Bapak?"
"Bapak kamu biar Bude yang urus, Bude akan membawa Bapak kamu ke rumah Bude. Untuk DP pembayaran hutang Bapak kamu, kita berikan saja surat tanah rumah dan juga surat tanah kebun kepada juragan Bahar. Sisanya kamu cicil tiap bulan, bagaimana?"
Menurut Sri, jika rumah dan juga kebun milik Sardi dijual pasti akan menghasilkan uang sebesar dua juta rupiah. Walaupun memang sisanya masih kurang banyak, tetapi jika dicicil lama kelam pasti lunas.
"Boleh banget, Bude. Nanti Bude tolong yang ngomong sama juragan Bahar, kalau aku pasti tak boleh."
"Ya," jawab Sri. "Tapi Bude, bagaimana kalau nanti dia nyari Tini ke kota?"
"Bismillah aja, nggak usah mikirin yang aneh-aneh. Semoga saja Allah akan selalu melindungi kamu di manapun kamu berada," ujar Sri.
"Aamiin, tolong rawat Bapak ya Bude."
"Ya," jawab Sri.
Keesokan harinya Sri membawa adiknya ke rumahnya, dia juga mengantarkan Rustini ke terminal untuk pergi ke kota. Rustini begitu bersemangat, dia pergi dengan penuh harapan yang indah. Dia tak lupa menitipkan uang yang diberikan oleh juragan Bahar kepada Sri, agar diberikan kembali uang tersebut kepada sang pemilik.
Berbeda dengan Juragan Bahar, pria itu marah-marah karena Rustini tidak datang menemuinya. Dia yang marah langsung datang ke rumah Sardi, dia lebih marah lagi ketika datang ke rumah Sardi dan tidak ada orang di sana.
"Brengsek! Kenapa rumahnya kosong?!" teriak Juragan Bahar.
Warto yang kebetulan lewat depan rumah Sardi langsung menghampiri Juragan Bahar, lalu pria muda itu pun berkata.
"Maaf, Juragan. Kalau nggak salah dengar Tini pergi ke kota untuk jadi pembantu, sedangkan bapaknya dibawa ke rumah bude Sri."
"Apa?! Kurang ajar!" teriak Juragan Bahar penuh amarah.
Mak Reader mau lihat gimana perjuangan mu dulu Jarwo