NovelToon NovelToon
Theresia & Bhaskar

Theresia & Bhaskar

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Teen Angst / Diam-Diam Cinta / Keluarga / Romansa
Popularitas:489
Nilai: 5
Nama Author: Elok Dwi Anjani

Menyukai Theresia yang sering tidak dianggap dalam keluarga gadis itu, sementara Bhaskar sendiri belum melupakan masa lalunya. Pikiran Bhaskar selalu terbayang-bayang gadis di masa lalunya. Kemudian kini ia mendekati Theresia. Alasannya cukup sederhana, karena gadis itu mirip dengan cinta pertamanya di masa lalu.

"Setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya. Aku yang bodoh telah menyamakan dia dengan masa laluku yang jelas-jelas bukan masa depanku."
_Bhaskara Jasver_

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elok Dwi Anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menunggu

Seorang laki-laki berkacamata mengayuh sepedanya dengan penuh semangat dan senyuman yang merekah melintasi sisi jalan raya menuju taman Pawana yang terletak di tengah kota.

Bhaskar meletakkan sepedanya dan menghampiri salah satu stan minuman yang berbaris sebelum memasuki taman.

Sementara itu di sekolah, Theresia baru saja keluar dari gerbang hendak menuju suatu tempat yang berlawanan arah dengan rumahnya. Bahunya tiba-tiba terasa berat dengan sebutan nama memuakkan yang masuk dalam gendang telinga.

Theresia sudah tahu pelakunya siapa. Siapa lagi jika bukan saudara tirinya, Linsi. Gadis yang berbeda setahun dengan dirinya. Apalagi sifatnya yang sangat bertolakan.

“Hai, Babu! Mau ke mana? Ayo! Pulang, gua udah laper. Nungguin lo keluar lama banget, apalagi lo kalau jalan kayak siput.” Linsi melepaskan tasnya dan melemparkan tas berat itu ke Theresia. "Bawain sekalian, pundak gua sakit.”

Theresia tidak terima ini, ia melempar balik tas tersebut dan hendak melenggang pergi namun tangannya ditarik dengan kasar oleh Linsi.

“Mau ke mana lo? Mau pergi hindarin tugas lo di rumah?” Linsi mencengkeram pergelangan Theresia hingga tercipta kemerahan.

“Lepasin! Ada sesuatu yang perlu gua lakuin, gua bukan babu lo yang selalu nurut sama perintah majikannya.” Sekuat tenaga Theresia memberontak, tapi semuanya sia-sia.

Linsi yang semakin kesal langsung menarik tangan adiknya yang membuat Theresia kesakitan di pergelangan tangannya. Kondisi sekolah yang sepi juga mendukungnya untuk melakukan aksi buruknya terhadap adiknya. Mau tidak mau Theresia harus menurut dengan kakaknya yang kejam.

“Lepasin gua!” bentak Theresia.

Tiada jawaban dari Linsi, gadis itu justru semakin kencang menarik tangan adiknya. “Tutup mulut lo, nurut sama apa yang gua mau, biar lo nggak kesakitan kayak gini,” kata Linsi sembari melanjutkan jalannya.

Tidak bisa berbuat apa-apa selain menurut. Bahkan Theresia sudah mengeluarkan air matanya karena merasakan kesakitan.

Menggunakan gang sempit yang sering digunakan untuk jalan pintas agar cepat sampai di sebuah kompleks perumahan, tidak ada rumah di gang tersebut karena rumah warga sekitar lah yang justru membelakangi jalan itu.

Saat keluar dari gang, Theresia membenarkan rambutnya setelah Linsi melepaskan tarikannya. Ia merapikan pakaiannya dan mengusap wajahnya yang terdapat sisa air mata.

Karena Linsi sedang asyik bercermin menatap wajahnya dan merapikan rambutnya juga. Theresia mengambil kesempatan dengan mengendap-endap pergi sementara kakaknya tidak merasakan hal itu. Ia berlari kencang meninggalkan Linsi yang langsung tersadar saat suara derap langkah kaki cepat menjauh.

“MAU KE MANA LO!”

Beberapa orang yang melintas seperti seorang wanita dengan menggandeng seorang bocah di sampingnya hanya menghela napas panjang serta geleng-geleng kepala melihat kelakuan kedua saudara tersebut. Mereka sudah tahu jika keluarga itu sangat jarang tidak ada pertengkaran ataupun rumah dalam keadaan tenang.

Mereka yang tahu mengenai keluarga Theresia hanya bisa berharap gadis itu tetap kuat dengan keluarga yang layaknya sebuah penyiksaan, bukan sebagai tempat singgah. Bahkan beberapa dari mereka juga tidak menyukai sifat dan sikap seluruh anggota keluarga Linsi kecuali si bungsu.

Karena sejak awal memang kasar dan hampir tidak pernah bergaul dengan sekitarnya, ditambah juga sifatnya sombong.

Jika ikut campur pun akan berimbas pada Theresia, padahal gadis itu tidak melakukan kesalahan.

Linsi langsung mengejar adiknya dengan sekuat tenaga kakinya berlari. Berlarian di sore hari untuk menghindari suasana mencekam dan menyeramkan di rumah, itu sangat sering Theresia lakukan.

Suasana dan keadaan dengan suara kebahagiaan yang merendahkan. Padahal, kurang beberapa rumah lagi mereka lewati akan sampai ke rumah. Akan tetapi, Theresia tidak suka dengan aura rumah yang seolah-olah mencekiknya.

Tidak ada rumah yang cukup nyaman untuk Theresia sebut sebagai rumah, dan tempat tersebut hanya bisa disebut dengan tempat singgah tubuh tanpa ada pelepasan kelelahan.

Napas terengah-engah setelah berlarian dan kaki yang lelah membuat Theresia kepenatan, ia duduk di sebuah bangku di sisi jalan. Beruntung ia bisa melarikan diri dari Linsi yang kasar.

Theresia mendongakkan kepalanya melihat langit yang semakin gelap. Ia jadi mengingat Bhaskar dan langsung berlarian lagi menuju Taman Pawana.

...••••...

“There mana?” tanya Papa yang melihat Linsi memasuki rumah sendirian.

“Kabur lagi.”

“Bener-bener tuh anak, emang kalau pergi itu ke mana, sih?” tanya Mama sembari mengupas kacang.

“Nggak tahu, bodo amat, kalau nggak ada dia juga nggak apa-apa. Nggak ada dampaknya juga,” jawab Linsi.

“Yang masak makan malam nanti siapa? Mama? Mama nggak mau.”

“Beli keluar aja kalau gitu,” balas Linsi.

“Nggak hemat, padahal di kulkas ada bahan masakan.”

“Ya, udah, terserah Mama.”

Di rumah tidak ada yang merasakan ada sesuatu yang hilang walaupun tidak adanya Theresia. Gadis itu memang sering tidak dianggap, bahkan hanya dijadikan babu bagi mereka.

Sementara itu, Bhaskar melirik minuman yang ia beli untuk Theresia, namun minuman itu sudah tidak lagi dingin. Melihat sekitarnya yang penuh dengan remaja-remaja bersama teman-temannya, sementara ia sendirian.

Bhaskar mulai berpikir jika Theresia tidak akan datang kemari. Apalagi mengingat dirinya dan gadis itu juga tidak terlalu dekat. Ia beranjak dari tempat duduknya menuju tempat sampah untuk membuang minuman Theresia yang ia siapkan.

“Maaf.”

Laki-laki membulatkan matanya saat melihat Theresia datang dengan napas terengah-engah. Gadis itu tertunduk menyentuh lutut dengan mengontrol pernapasannya.

“Theresia?”

“Maaf, gua yang terlambat,” kata Theresia.

Laki-laki itu tersenyum melihat seseorang yang ia tunggu-tunggu dengan rasa kesendirian dan kesepian telah datang. “Nggak apa-apa. Mau minum?”

Gadis itu menggeleng dan melepaskan tasnya. “Gua bawa.”

Setelah minum, Theresia dan Bhaskar menuju ke sebuah bangku di bawah pencahayaan lampu jalan untuk memulai pembelajaran menggambar dari Bhaskar.

“Kalau masih pemula, lo per-“

“Gua bukan pemula.” Theresia mengeluarkan buku diary yang penuh dengan gambaran-gambaran random.

Sontak Bhaskar membulatkan matanya, ternyata Theresia lebih jago daripada dirinya. Bahkan jika dibandingkan gambarannya dengan milik gadis itu, milik Theresia lebih detail dan jelas.

“Gua kira junior, ternyata senior,” kata Bhaskar. "Terus? Buat apa lo minta gua ajarin kalau bisa?”

Raut wajah Bhaskar berubah setelah melihat gambaran milik Theresia. Ia ingin menunjukkan kemampuannya pada gadis itu, tapi dirinyalah yang kini seolah-olah tertinggal jauh.

“Nggak apa-apa, biar ada alasan biar nggak pulang awal, selain itu juga gua mau lihat gambaran lo yang lain,” jawab Theresia.

“Kenapa?” Bhaskar memberikan bukunya pada Theresia.

Theresia menghela napasnya dan menatap Bhaskar dengan tersenyum tipis sembari menerima buku tersebut. “Pengen aja, lo udah berapa lama suka gambar?”

“Awalnya cuman iseng aja gambar sesuatu, sejak gua dapat pujian dari Leta tentang gambaran gua, yaa.. sejak gua waktu awal SMP lah.  Gua sekarang jadi makin suka gambar dan terus ngelakuin hal yang gua suka di atas kertas kosong dengan pensil ini.” Bhaskar mengangkat pensilnya untuk menunjukkannya kepada Theresia. "Kalau lo?”

Gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya selagi Bhaskar bercerita tentang sejak kapan laki-laki itu mulai suka menggambar. Theresia juga tidak melunturkan senyumannya, tangannya sibuk membolak-balik halaman sementara telinganya mendengarkan laki-laki itu berbicara.

“Kalau gua sejak kecil, mungkin dari TK yang suka coret-coret buku pakai krayon walaupun abstrak. Tapi ada seseorang yang bilang juga kalau coretan gua harus dikembangkan biar jadi sebuah gambaran yang bisa orang pahami. Dia juga ajarin gua metode-metode menggambar dari dasar.”

“Gambaran lo juga bagus, tapi lebih banyak kayak gambaran biasa dan kurang kedetailan, kurang sedikit arsiran tipis-tipis biar kelihatan makin bagus,” ujar Theresia mengenai gambaran Bhaskar.

“Makasih untuk sarannya, dan siapa yang ajarin lo itu? Pasti gambaran dia keren, lebih dari kata senior, mungkin bisa disebut sepuh aja ya?”

Theresia tertawa kecil dengan mengembalikan buku Bhaskar. “Bisa aja lo, tapi gambaran dia memang lebih bagus juga sih daripada gua dan bisa menggambar pakai digital, jadi nggak manual aja. Kalau gua belum terbiasa pakai benda digital buat menggambar. Dia sepupu gua yang dulu sering main tapi sekarang udah jarang.”

“Ohh.. pantesan, lo udah ada yang ngajarin sejak dulu, secara langsung lagi,” kata Bhaskar.

“Ya.. gitulah, lo nggak ada saran buat gambaran gua?”

“Gua aja bingung mau komentar apa.”

Selang beberapa waktu dengan angin yang berembus dan Theresia yang mulai jenuh dengan suasana canggung yang mulai tercipta langsung berdiri seraya merenggangkan pinggangnya. Ia menatap langit malam sebentar dan melirik Bhaskar yang memandangi bukunya.

“Lo ada sesuatu yang harus dilakuin nggak? Main atau apalah gitu? Gua bener-bener nggak pengen balik ke rumah.”

Bhaskar berpikir sejenak dan mendongak menatap Theresia. “Ke time zone mau nggak?”

“Nggak, deh, boros uang nanti gua.”

“Gua bayarin.” Wajah Theresia langsung berseri mendengar balasan Bhaskar.

“Bener, ya? Lo yang bayar?” Laki-laki itu mengangguk dengan tersenyum tipis melihat perubahan sikap Theresia.

Gadis itu langsung kegirangan dan memasukkan bukunya ke dalam tasnya. Bhaskar juga melakukan hal yang sama. Awal yang ingin belajar menggambar kini berubah menjadi bermain.

Theresia berjalan lebih dahulu dengan langkah senang, sementara Bhaskar menuntun sepedanya di belakang. Laki-laki itu memandangi seorang gadis dengan wajah bahagia di bawah langit yang mulai gelap dengan hati yang hangat.

“Buruan, Bhas!” pinta Theresia sambil berbalik namun kakinya tetap melangkah.

“Iya-iya.”

Karena kesal dengan langkah Bhaskar yang lamban menurutnya. Theresia langsung memegangi setir sepeda laki-laki itu di bagian kanan sementara Bhaskar di bagian kiri.

“Ngapain?” tanya Bhaskar.

“Biar cepet.” Bhaskar terkejut saat sepedanya di dorong dengan cepat oleh Theresia.

Keduanya kini berlarian sambil menuntun sepeda yang berdiri di antara keduanya. Entah kenapa, dengan hal sederhana seperti ini membuat Bhaskar tertawa bahagia bersama Theresia. Ia hampir lupa dengan hatinya yang dulu kosong, kini bukan terisi, tetapi menghangat merasakan sesuatu yabg sudah lama tidak ia rasakan. Bersama teman.

...••••...

...Bersambung....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!