Bayinya tak selamat, suaminya berkhianat, dan ia bahkan diusir serta dikirim ke rumah sakit jiwa oleh Ibu mertuanya.
Namun, takdir membawa Sahira ke jalan yang tak terduga. Ia menjadi ibu susu untuk bayi seorang Mafia berhati dingin. Di sana, ia bertemu Zandereo, bos Mafia beristri, yang mulai tertarik kepadanya.
Di tengah dendam yang membara, mampukah Sahira bangkit dan membalas rasa sakitnya? Atau akankah ia terjebak dalam pesona pria yang seharusnya tak ia cintai?
Ikuti kisahnya...
update tiap hari...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3 #Menggoda Tuan Rumah
Malam itu, mendung menggantung pekat. Di pinggir jalan yang sepi, Sahira berjalan sendirian sambil memeluk erat bayi perempuannya. Kakinya bengkak dan berdarah-darah, luka-luka itu yang ia dapatkan setelah berhasil kabur dari dua pria yang menculiknya dari rumah sakit jiwa.
"Tuhan, ke mana aku harus pergi?" gumamnya, langkahnya terhenti. Ia menatap wajah mungil sang bayi, lalu menepi dan duduk di bangku di sebuah toko kecil. Dengan perlahan, ia membuka kancing bajunya.
Setetes air mata Sahira jatuh, membasahi pipi bayi mungil yang kini menghisap air susunya dengan rakus. Pikirannya mulai melayang pada bayi laki-lakinya yang telah tiada. Ia pun melihat sebelah dada kirinya terus menetes. Andaikan saja putra kembarnya masih hidup, ASInya tak akan terbuang sia-sia seperti sekarang.
"Tidak apa-apa, sayang. Bagian ini juga milikmu," bisiknya, mencoba menyodorkan pu-ting yang lain.
Namun, jari mungil sang bayi justru mendorong tangannya, seakan tahu bahwa bagian itu milik saudara kembarnya.
"Maafkan Ibu, sayang. Kau harus mengalami semua ini. Maafkan Ibu juga sudah memisahkanmu dengan saudaramu. Ibu memang tidak berguna."
Sahira menunduk, merutuki dirinya sendiri sebagai ibu yang gagal. Kehilangan bayinya dan dikhianati pria yang ia cintai telah menghancurkan dunianya. Tetapi kehadiran bayi perempuannya memberinya alasan untuk bertahan. Namun, bagaimana ia bisa membuat putrinya tetap hidup? Sahira tidak punya apa-apa, dan kedua pria yang mengincarnya masih berkeliaran.
"Apa yang harus aku lakukan?"
Sahira bangkit dan kembali berjalan. Ingin rasanya ia pulang, tetapi ke mana? Keluarga Rames pasti tidak akan menerimanya. Sementara orang tuanya sudah tiada. Ia tak punya siapa pun, dan selama ini hanya Rames yang menjadi tumpuannya.
Bruk!
Langkah Sahira terhenti, lututnya ambruk di tepi jalan. Ia memeluk bayinya yang sudah terlelap, air matanya berlinang seiring rintik hujan yang mulai membasahi jalanan. Perutnya sakit karena lapar.
"Apa aku... jual diri saja?" batinnya lalu memukul kepalanya. "Bodoh! Ayahmu sudah berjuang keras menghidupimu. Kau tidak boleh mengkhianati kasih sayang dan kepercayaannya!"
"Tapi aku sangat lapar," isak Sahira, memegangi perutnya. Tiba-tiba, ia merasakan jari mungil bayinya menyentuh pipinya, seolah menghibur.
"Terima kasih, sayang," bisiknya.
Sahira menarik napas panjang, lalu berlari kecil mencari tempat berteduh. Tiba-tiba, sebuah poster jatuh tepat di kakinya. Ia membungkuk, mengambilnya. Matanya terbelalak membaca tulisan besar:
“Dicari Ibu Susu.”
Di bawahnya, tertera alamat dan nomor telepon, disertai catatan tangan: "Butuh segera. Akan diberi imbalan besar, dua miliar."
Mata Sahira beralih ke putrinya yang terlelap dalam pelukannya. Tangannya yang dingin mengusap pipi si kecil. Air susu di dadanya yang menetes adalah anugerah, tetapi ia merasa tidak berdaya. Poster itu seolah menjadi jawaban atas doanya. Mungkin ini takdir yang diberikan Tuhan. Tanpa pikir panjang, ia melipatnya dan menyimpannya di saku jaketnya.
Saat Sahira melanjutkan langkahnya, sebuah mobil tak asing berhenti di depannya. Jantungnya berdegup kencang. Ia mundur, terkejut melihat sosok yang keluar.
"Nyonya Sahira?!" seru Rani, asisten suaminya, tak menyangka akan bertemu mantan istri bosnya di jalanan sepi itu.
"Maaf, kau salah orang," timpal Sahira, berbalik ingin pergi.
Namun, Rani dengan sigap menangkap tangannya. "Tunggu, Nyonya. Jangan pergi."
"Lepaskan aku, aku bukan istri atasanmu lagi," pinta Sahira, mulai memberontak.
"Nyonya, tolong ikut saya pulang. Apa Nyonya tega melihat bayi Nyonya tidur di luar yang sangat dingin ini?" mohon Rani, tatapannya penuh iba pada bayi dalam dekapan Sahira.
Sahira menunduk, bahunya bergetar hebat. "Kau mau bawa aku ke mana?" tanyanya lirih.
"Anda tenang saja. Saya akan membawa Anda ke rumah saya, bukan ke rumah Pak Rames."
Meskipun ragu, Sahira akhirnya masuk ke mobil Rani. Benar saja, asisten itu membawanya ke sebuah rumah kecil yang nyaman. Setelah bayinya diletakkan di tempat tidur, Rani menyuruh Sahira mandi, lalu memberinya makan. Air mata Sahira menetes. Lebih dari seminggu ia tidak menikmati masakan yang layak. Di rumah sakit jiwa, hanya nasi dan tempe yang menjadi makanannya sehari-hari.
"Baik, Nyonya istirahat dulu. Saya mau mandi juga," ucap Rani, mengambil handuknya dan masuk ke kamar mandi.
Melihat ponsel Rani di nakas, Sahira berniat mencoba menghubungi nomor di poster. Beruntung, ponsel itu tidak terkunci. Ia mengetik nomornya, tetapi tidak ada jawaban.
"Baiklah, besok aku akan pergi ke alamat itu," batinnya. Sahira meletakkan ponsel Rani kembali, lalu duduk di samping bayinya, dengan lembut mengusap pipi mungil itu.
Tiba-tiba, bel rumah Rani berbunyi.
"Rani, sepertinya ada orang di luar. Siapa yang datang?" teriak Sahira ke arah kamar mandi.
"Mungkin driver yang mengantar popok, Nyonya," balas Rani. "Maaf, Nyonya. Tolong bukakan saja pintunya. Uangnya ada di dalam laci."
Sahira mengambil uang itu, lalu keluar dari kamar. Begitu pintu terbuka, matanya membelalak. Di depannya berdiri seorang pria yang sangat ia kenal: Rames.
Sahira hendak menutup pintu, tapi Rames menahannya dan dengan cepat masuk, memeluk Sahira erat. Ia lega, Rani ternyata tidak berbohong.
"Menyingkirlah dariku, sialan!" seloroh Sahira, mendorong tubuh Rames dengan sekuat tenaga.
"Sayang, aku minta maaf. Maafkan aku. Aku salah. Aku seharusnya lebih percaya padamu daripada..."
Plak!
Lagi-lagi, tamparan Sahira mendarat di pipi Rames. Tamparan itu tak cukup untuk membalas luka hatinya.
"PERGI!! PERGI KAU DARI SINI!!" bentak Sahira lantang. Suaranya membuat bayi di kamar menangis.
Rani yang mendengar keributan, buru-buru menyelesaikan mandinya.
"Itu... itu pasti anakku!" ucap Rames, hendak ke kamar.
Sahira segera merentangkan kedua tangannya, menghalangi pintu. "Dia bukan anakmu! Anakmu sudah mati!" bentak Sahira, meluapkan seluruh amarah, kekecewaan, dan kebenciannya.
Rames langsung berlutut. "Sahira, maafkan aku. Aku sungguh minta maaf. Tolong beri aku kesempatan, sayang," mohonnya, mendongak penuh harap.
Namun, Sahira hanya menatapnya dengan jijik.
"Sahira, sebenarnya bayi laki-lakimu belum mati," ucap Rames, suaranya pelan.
"Apa?" Sahira terkejut.
Rames berdiri. "Ya, Sahira. Bayi kita belum mati. Aku berbohong. Aku sendiri yang menyuruh dokter membohongimu."
"Apa maksudmu sebenarnya?" tanya Sahira, bingung.
Sementara itu, Rani yang sudah selesai mandi, bergegas menenangkan bayi Sahira.
"Sahira, sebenarnya Julian keguguran sebelum melahirkan. Karena itu, aku 'menghadiahkan' bayi laki-lakimu kepadanya. Aku pikir Julian lebih baik darimu, tapi ternyata dia hanyalah penipu yang menjebakku hingga perusahaanku bangkrut. Sekarang, yang kumiliki hanya kamu. Kumohon, kembalilah padaku, Sahira. Kita bangun rumah tangga dari awal. Aku berjanji akan berubah," pinta Rames, meraih tangan Sahira dan menatapnya yang tertunduk.
Sahira malah tertawa hampa, lalu menghempaskan tangan Rames. "Benar-benar menjijikan. Kau membuatku muak."
"Sahira, aku tahu kau membenciku, tapi aku serius. Aku merasa bersalah dan ingin menebusnya," ucap Rames, menepuk dadanya.
Sahira tersenyum miris. "Baiklah, aku akan memikirkan tawaranmu. Tapi temukan dulu bayiku! Aku akan percaya jika bayi laki-lakiku kembali kepadaku!"
Di balik pintu, Rani tersentak mendengar syarat yang mudah itu.
Rames mengulas senyum bahagia, lalu melirik pintu di belakang Sahira yang tertutup. "Kalau begitu, apa aku boleh melihat bayiku, Sahira?"
Sahira menggeleng. Ia menunjuk pintu rumah. "Pergi dan jangan pernah kembali sebelum kau temukan bayiku."
"Tapi, Sahira, aku merindukannya," mohon Rames, yang belum pernah menggendong bayi itu.
Sahira tertawa getir. "Rindu? Setelah kau sadar, kau baru merindukan bayimu? Jangan harap kau bisa menemuinya semudah itu! PERGILAH, RAMES!"
Rames akhirnya pergi, daripada Sahira berubah pikiran.
"Mbak..." lirih Rani, membuka pintu kamar.
Sahira berbalik, mengambil bayinya dari Rani. "Kau pasti sangat ingin melihat ayahmu, Nak. Tapi Ibu tidak bisa membiarkan pria jahat itu melihatmu. Kalian adalah malaikat kecil Ibu, tidak mungkin Ibu mempertemukan kalian dengan iblis sepertinya."
Rani memeluk Sahira yang menangis tersedu-sedu. Meskipun belum menikah, Rani bisa merasakan penderitaan Sahira.
Pagi harinya, Rani terbangun dan terkejut tidak menemukan Sahira serta bayinya. Ia mengira Rames yang membawa Sahira pergi. Namun, ia menemukan secarik kertas berisi ucapan terima kasih dan pesan bahwa Sahira akan pergi ke tempat ia akan mulai bekerja.
Tentu saja, Sahira tak ingin menyusahkan Rani. Pagi itu, ia menuju alamat di poster. Setibanya di sana, Sahira ternganga melihat rumah mewah bak istana. Di depannya, sudah ada banyak wanita yang mengantre panjang. Melihat antrean yang tak putus, Sahira tidak yakin apakah ia akan diterima. Apalagi, ia berada di antrean paling belakang.
Pandangan Sahira beralih membaca papan nama di gerbang:
"RAYMOND HOME."
"Pantas saja gajinya dua miliar. Rumahnya sebesar istana. Apa keluarga ini keturunan bangsawan?" pikir Sahira, keraguannya semakin besar. “Semoga saja... penghuninya baik hati dan tidak sombong,” harap Sahira lalu tersentak mendengar sahutan bayinya.
“Oeekk...” Sahira sedikit tertawa, namun kemudian terdiam saat wanita di depannya menatapnya tajam, seolah risih kepada Sahira yang membawa bayinya.
“Cih, dia pasti datang untuk menggoda Tuan rumah.”
Sahira hanya bisa menunduk mendengar cercaan itu.
percays sama jalang, yg akhir hiduo ny tragis, itu karma. ngejahati sahira, tapi di jahati teman sendiri. 😀😀😀