Zee dan Zia adalah saudara kembar tak identik yang bersekolah di tempat berbeda. Zia, sang adik, bersekolah di asrama milik keluarganya, namun identitasnya sebagai pemilik asrama dirahasiakan. Sementara Zee, si kakak, bersekolah di sekolah internasional yang juga dikelola keluarganya.
Suatu hari, Zee menerima kabar bahwa Zia meninggal dunia setelah jatuh dari rooftop. Kabar itu menghancurkan dunianya. Namun, kematian Zia menyimpan misteri yang perlahan terungkap...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Sekedar Pindah
Pagi menjelang dengan tenang, seperti tak pernah terjadi apa-apa. Seperti biasa, keluarga Wolfe duduk di meja makan, menikmati sarapan dalam diam. Hanya denting sendok dan garpu yang terdengar, membentur piring-piring porselen mahal.
Zee menatap makanannya tanpa minat. Suasana meja makan seperti biasa—dingin dan kosong. Sama seperti hatinya sejak kepergian Zia.
Lalu, tiba-tiba…
“Aku mau pindah sekolah,” ucapnya datar, tanpa mengangkat wajah.
Zidan dan Zavira sontak saling berpandangan. Keheningan mendadak terasa lebih menusuk. Suara angin di luar bahkan terasa lebih nyaring dibanding percakapan mereka.
“Kenapa tiba-tiba, Nak? Ada masalah?” tanya Zavira perlahan, mencoba menjaga nada.
Zee menatap mommynya—dingin, namun menyimpan api kecil di balik matanya. Api yang sejak malam itu tak pernah padam.
“Aku cuma... ingin pindah,” ulangnya, suaranya lebih tegas, seolah tak memberi ruang untuk perdebatan.
Zidan meletakkan garpunya perlahan. “Zee, kamu tinggal setengah semester lagi. Kalau kamu pindah sekarang, semua catatan akademikmu harus disesuaikan. Apa tidak lebih baik menunggu kelulusan?”
“Aku tidak peduli,” potong Zee.
Zavira memberi kode pada suaminya. Kode yang selama ini berarti: ikut saja maunya, jangan ribut sekarang.
Zidan mengangguk kecil, menelan napas.
“Baik. Kalau itu keinginan kamu, Daddy akan bantu proses perpindahannya.”
“Kamu mau pindah ke mana?” tanya Zavira, suaranya lebih tenang.
“Wolfe House,” jawab Zee singkat—menyebut nama sekolah asrama elit milik keluarga mereka. Tempat yang dulu dihuni Zia.
Zidan tampak terkejut.
“Kamu sendiri yang bilang, kamu tidak suka tinggal di asrama. Aturannya ketat, dan kamu selalu bilang butuh ruang bebas.”
Zee menatap mereka berdua, tanpa ragu.
“Aku muak tinggal di rumah ini,” katanya pelan, namun nadanya penuh tekanan.
Kalimat itu menghantam mereka lebih keras dari sekadar permintaan pindah sekolah. Zavira membuka mulut hendak membalas, namun urung. Mereka sudah tahu—Zee tak akan mengubah keputusannya.
“Kalau itu yang kamu inginkan, Mommy dan Daddy izinkan,” ucap Zavira akhirnya, pelan.
Zee berdiri. Sarapannya nyaris tak disentuh.
“Kalian pasti lebih tenang bekerja kalau aku di asrama,” gumamnya lirih, setengah menyindir.
Tanpa menunggu balasan, ia melangkah pergi—meninggalkan ruang makan dan dua orang yang dulu ia sebut ‘rumah.’
Zee memacu motornya melintasi jalanan kota dengan kecepatan tinggi. Angin menerpa wajahnya, membuat rambutnya berkibar liar. Tapi di dalam pikirannya hanya satu hal berputar: kemunafikan.
Sudah dua hari sejak kepergian Zia. Dan kedua orang tuanya… masih bisa sarapan seperti biasa, bersiap kerja seperti biasa. Seolah kehilangan seorang anak bukan sesuatu yang pantas diratapi.
Orang lain mungkin mengira dia sedang menuju sekolah. Seragamnya rapi, helmnya menutup wajah. Tapi arah tujuannya berbeda.
Zee membelokan motornya, lalu memasuki sebuah area sunyi—pemakaman umum.
Ia melangkah perlahan di antara barisan batu nisan, hingga akhirnya berhenti di hadapan pusara yang masih basah.
"Zia Venya Alexandra Wolfe," tertulis jelas di nisan putih bersih.
Zee berjongkok, menyentuh nama itu dengan tangan yang mulai bergetar. Air matanya mengambang, tapi tak jatuh.
“Zia…”
“Apa lo baik-baik aja di sana? Gue harap… lo tenang.”
“Baru dua hari. Tapi rasanya kayak setahun. Gue bener-bener ngerasa kosong.”
Tangannya meremas tanah basah di atas pusara. Rasa marah dan kehilangan menyatu dalam satu gejolak yang tak bisa ia redam.
“Gue nemu surat lo, Zi. Gue tahu lo gak bunuh diri.”
“Gue gak peduli dengan hasil penyelidikan mereka yang setengah hati… Gue gak akan berhenti sampai tahu siapa yang bikin lo gini.”
Zee menarik napas panjang, menahan emosi yang mendesak naik ke tenggorokan.
“Dan jangan khawatir… gue gak akan minta bantuan dua orang itu. Orang tua kita yang bahkan gak tahu gimana caranya jadi orang tua.”
“Gue akan masuk ke Wolfe House. Gue akan gali semua yang lo sembunyikan… dan gue bakal temui pelakunya."
Ia menunduk lebih dalam, membisikkan kalimat terakhir dengan suara yang hampir tak terdengar:
“Tunggu gue, Zia… Gue bakal balas semuanya.”