Sebagai seorang putra mahkota Kekaisaran Tang, sudah selayaknya Tang Xie Fu meneruskan estafet kepemimpinan dari ibunya, Ratu Tang Xie Juan.
Namun takdir tidak berpihak kepadanya. Pada hari ulang tahun dan penobatannya sebagai seorang kaisar, terjadi kudeta yang dipimpin oleh seorang jenderal istana. Keluarga besarnya tewas, ibunya dieksekusi mati, dan kultivasinya dihancurkan.
Dengan cara apa Tang Xie Fu membalaskan dendamnya?
Ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muzu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sampah
Teriakan dari murid Sekte Cahaya Jingga itu sampai ke aula sekte. Tetua Qianfan bersama para tetua sekte yang sedang berkumpul langsung bergegas menuju ruang pengobatan. Mereka tampak gembira melihat Xie Fu yang terbalut kain seperti mumi akhirnya terbangun dari tidur panjangnya.
“Xie Fu,” ucap Qianfan seraya memindai kondisinya. “Maafkan Kakek yang terlambat menyelamatkanmu,” imbuhnya lirih.
Qianfan merupakan pendiri sekte yang memiliki ikatan batin dengan keluarga istana. Oleh sebab itulah, sekte yang didirikannya menjadi satu-satunya yang abstain dalam kudeta penggulingan Kekaisaran Tang.
“Bagaimana kondisinya, Tetua?” tanya Tetua Lao Zhi penasaran.
Qianfan menggeleng pelan. Tampak mimik wajahnya menggambarkan penyesalan yang mendalam. Tang Xie Fu menjadi satu-satunya keluarga istana yang hidup dengan kondisi mengenaskan. Sejenak ia menarik napas, lalu berkata, “Xie Fu ibarat cangkang kosong yang hancur. Tidak ada yang bisa kita lakukan selain memulihkan luka bakar di wajahnya.“
Para tetua mendengus lirih mendengarnya. Mereka telah berusaha keras mencoba berbagai upaya, mulai dari pengerahan sumber daya tingkat tinggi sampai mendatangkan para ahli alkemis maupun tabib terbaik di wilayah Kekaisaran Tang. Tak ada satu pun dari semua itu yang mampu untuk mengobatinya barang sedikit pun.
“Jadi, Xie Fu akan cacat seumur hidup?” Pertanyaan yang dilontarkan Tetua Yaoming membuat para tetua lainnya tersentak. Tetua Qianfan sampai menutup matanya, merasa diri menjadi yang paling bersalah atas kemalangan yang dialami oleh Tang Xie Fu. Meskipun demikian adanya, ia masih yakin sang pangeran bisa disembuhkan.
“Setiap penyakit ada obatnya,” ujar Qianfan bijak, “Xie Fu akan kembali pulih suatu hari nanti.”
“Maaf jika hamba lancang.” Giliran Tetua Xue yang berbicara.
“Katakanlah, Tetua Xue!” pinta Qianfan yang diangguki oleh kedua tetua.
“Sungguh tak dapat dibayangkan melihatnya hidup dengan keadaan lumpuh dan menanggung beban atas kematian seluruh keluarganya. Apa tidak sebaiknya kita akhiri saja penderitaannya?”
Semua mata mempertanyakan maksudnya. Tetua Xue menatap satu per satu para tetua lalu berkata, “Sebaiknya kita kirim saja Pangeran ke surga agar bisa bereinkarnasi.”
Para tetua nanap tidak menduga dengan maksud yang dikemukakan oleh Tetua Xue yang mereka anggap sebagai salah satu tetua bijak di Sekte Cahaya Senja.
“Kakek,” ucap Xie Fu yang berhasil mengalihkan pembicaraan para tetua.
“Aku tidak lumpuh, Kek. Lihat ini!” Xie Fu menggerakkan jemari tangannya.
Qianfan dan ketiga tetua terpana melihatnya. Mereka kemudian memeriksa semua saraf di tubuh Xie Fu dan menemukan beberapa yang masih berfungsi.
“Syukurlah. Setidaknya kau bisa beraktivitas nantinya,” ujar Qianfan lalu meminta para tetua untuk mengalirkan energi spiritual, membantu mengoptimalkan saraf-saraf yang masih berfungsi.
***
Pagi hari itu amatlah cerah. Awan-awan tidak setebal biasanya dan sinar matahari pagi dapat menerobos di antara celah-celah dedaunan hingga menembus ke dasar tanah yang lembap.
Seorang pemuda terlihat berdiri di atas undakan batu dengan menopang pada tongkat kayu yang terselip di kedua lengannya. Pemuda yang telah menghabiskan waktu tiga bulan di pembaringan itu kini bisa berjalan meski harus menopang pada tongkat.
Tubuhnya gemetar. Perlahan jari-jari tangannya bergerak, menekan batang kayu yang menopang tubuhnya dengan kuat. Badannya kian bergetar hebat tatkala ia berusaha menahan air yang tergenang nyaris tumpah di kelopak matanya.
“Bagaimana aku bisa membalaskan kematian keluargaku?” gumamnya lirih.
Xie Fu menghela napas. “Ibu, kondisiku begitu lemah, sementara jeritan terakhir Ibu terus mengusik tidurku,” ucapnya sambil menahan tangis.
Xie Fu masih berusaha menahan tangis. Tubuhnya bergetar semakin kencang. Kedua tangannya semakin kuat mencengkeram batang kayu. “Apa salah keluargaku hingga semuanya harus dieksekusi mati? Tidak bisakah mereka meminta ibuku menyerahkan takhta dengan baik-baik?”
Akhirnya Xie Fu tidak dapat menahan air matanya. Ia sesenggukan. Bulir-bulir air mata terus jatuh menghantam tanah, bercipratan ke kakinya yang telanjang.
“Untuk apa aku hidup seperti ini? Tanpa keluarga, tanpa kemampuan, dan hanya menjadi beban para tetua.”
Lama Xie Fu terdiam setelah mengucapkannya. Tubuhnya masih bergetar, kendati matahari terus meninggi, membuatnya mandi keringat. Namun, tak sekalipun ia menyekanya. Rambut panjangnya yang tergerai berkibar tertiup angin. Telapak kakinya masih terpaku di tanah yang panas. Ia bergeming dalam hening.
Setelah lama terdiam, Xie Fu dongakkan kepalanya menghadap langit. Membiarkan sinar matahari menghujam tepat ke retina matanya. Ia tak berkedip, hanya sedikit memicing.
“Apakah kalian semua mengejekku wahai para dewa di langit?” Xie Fu meradang. Emosinya terus ia tumpahkan.
Perlahan terdengar suara langkah kaki mendekat diiringi tawa renyah dari seseorang yang semakin terdengar jelas.
“Sampah tak berguna sepertimu sebaiknya bunuh diri saja,” ucap orang itu mengejeknya.
Xie Fu memutar tubuhnya dan menatap nyalang seorang murid sekte yang berdiri dengan tatapan penuh kebencian padanya.
“Dulu kau seorang pangeran, tetapi kini kau hanyalah sampah yang menjijikan,” imbuh pemuda itu.
“Kau benar. Aku hanyalah sampah. Lalu, kenapa kau tidak membunuhku sekarang?”
“Apa kau tidak mendengar saranku yang tadi?” sindir si pemuda, “kau bunuh diri saja. Aku tidak ingin mengotori tanganku dengan sampah sepertimu.”
Xie Fu melangkah mendekatinya. Tatapannya masih nyalang dan dipenuhi emosi yang menyala.
“Berhentilah menatapku seperti itu?” Si pemuda melangkah mundur. “Lihatlah dirimu, berjalan pun kau harus menopang tongkat!”
Embusan angin terasa semakin cepat, membuat pakaian kedua pria yang saling berhadapan itu berkibar, lalu muncullah bayangan orang-orang berkelebat dari segala penjuru, dan dalam sekejap mata, lima orang murid sekte lainnya menampakkan diri membentuk lingkaran di antara keduanya.
Pandang mata mereka terpusat ke pemuda yang berdiri menopang tongkat, penuh kebencian yang mendalam. Ekor mata Xie Fu bergerak memperhatikan kelima pemuda yang mengurungnya. Bibirnya tersenyum, sedikit pun Xie Fu tidak memperlihatkan rasa takut seolah-olah para murid sekte itu bukanlah ancaman nyata baginya.
“Kak Tian, serahkan saja sampah ini pada kami. Kakak tidak perlu mengotori tangan,” ucap salah seorang yang berdiri di sisi kanan Xie Fu.
Xie Fu menolehkan pandangan dengan tatapannya yang dingin. Pemuda itu sedikit tersentak, lalu tertawa mengejeknya. “Kak, lihatlah pemuda sampah ini. Tatapannya seperti tidak sabar ingin merasakan tajamnya pedangku.”
“Membunuhnya terlalu mudah. Kita siksa dia dengan perlahan sampai memohon kematian,” ujar si pemuda bernama Ling Tian itu.
“Kalian terlihat begitu membenciku. Sebenarnya apa masalah kalian sampai harus begitu benci padaku?” tanya Xie Fu merasa heran. Selama ini ia tidak pernah mengganggu siapa pun di sekte. Bahkan, ini pertama kalinya ia keluar dari ruang pengobatan setelah tiga bulan dalam pembaringan.
“Ha-ha, pertanyaan yang pintar dari seorang mantan pangeran,” kelakar pria yang berdiri di samping Ling Tian. “Baiklah akan aku katakan sebelum kau meregang nyawa.” Sejenak pria itu terdiam sambil mengusap dagu, lalu tak lama kemudian ia melanjutkan ucapannya, “karena kami tidak akan membiarkan orang dari keluarga istana hidup di dunia ini.”
“Oh begitu.” Xie Fu manggut-manggut seraya tersenyum. “Sejujurnya aku tidak tahu alasan orang-orang membenci keluargaku. Apa kalian bisa menjelaskannya padaku?”
“Cih, seorang pangeran sepertimu tidak tahu‽ Ha-ha, kau pikir kami ini bodoh?” Pemuda bermata bulat lekas menghunus pedang dan meletakkan bilah tajam tepat di leher Xie Fu, dan sedikit menekannya hingga terlihat darah mulai menetes ke bilah pedang.
“Tunggu! Apa serunya melihat dia langsung mati?” Seketika Ling Tian melayangkan tendangan ke arah kedua tongkat yang menjadi penopang Xie Fu berdiri.
Xie Fu tersungkur jatuh dalam posisi berlutut. Melihat itu, Ling Tian kembali mengayunkan kaki menendang dada Xie Fu hingga berdebam ke tanah.
“Hei, ayo tendang sampah ini!” pintanya.
Kelima pemuda langsung bersemangat menendang tubuh Xie Fu yang bergulingan ke sana kemari. Mereka menendangnya secara bergantian, mengoper dari satu kaki ke kaki yang lainnya.
“Yu Chen, tendanganmu kurang keras!” seru Ling Tian yang harus maju beberapa langkah menyambut tubuh Xie Fu.
“Ha-ha-ha, maaf, Ka.” Kelima pemuda tertawa riang dan terus menendang tubuh Xie Fu yang pakaiannya dipenuhi tanah bercampur darah.
Matahari sudah berada di pucuk kepala, Ling Tiang dan kelima temannya mulai bosan bermain-main dengan tubuh Xie Fu. Akhirnya mereka berhenti dan duduk di atas rerumputan dalam posisi melingkar.
“Kak Tian, apakah sampah itu masih hidup?” tanya Jun He, pemuda berbadan gemuk.
“Ya, dia masih hidup,” jawab Ling Tian setelah memindainya.
“Kuat juga ya, padahal dia sampah tanpa kultivasi,” sambung Yu Chen.
“Sepertinya dia mau mati,” timpal pemuda bertubuh paling tinggi terus memperhatikan Xie Fu yang tampak sesak napas.
“Ayo kita lempar dia ke jurang!” Ling Tian bangkit dan menghampiri Xie Fu diikuti kelima temannya.
jawab gitu si Fan ini tambah ngamuk/Facepalm/