NovelToon NovelToon
Bayangan Si Cupu Tampan

Bayangan Si Cupu Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:5.5k
Nilai: 5
Nama Author: Ahmad Taufik

Di balik kacamata tebal, kemeja kusut, dan sepatu bolongnya, Raka Arya Pratama terlihat seperti mahasiswa paling cupu di kampus. Ia dijauhi, dibully, bahkan jadi bahan lelucon setiap hari di Universitas Nasional Jakarta. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Tidak ada yang peduli pada dirinya.

Tapi tak ada yang tahu, Raka bukanlah mahasiswa biasa.

Di balik penampilan lusuh itu tersembunyi wajah tampan, otak jenius, dan identitas rahasia: anggota Unit Operasi Khusus Cyber Nusantara,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Yoga Gunawan

Beberapa hari setelah gemparnya penangkapan Riko dan ayahnya, suasana Universitas Nasional Jakarta masih belum sepenuhnya pulih. Mahasiswa membicarakan peristiwa itu di lorong-lorong kampus, di kantin, bahkan dalam grup chat kelas.

Namun di balik sorotan itu, Raka sudah mengalihkan perhatiannya pada sesuatu yang lebih gelap: peredaran narkoba di dalam kampus.

Tak ada yang tahu, bahkan Cheviolla.

Di siang hari, ia tetap tampil seperti biasa: kacamata bulat, rambut sedikit acak, ransel yang selalu terlihat terlalu berat, dan langkah malas seperti mahasiswa yang kurang tidur. Tapi malam harinya—di balik layar—Raka bergerak.

Ia sudah menandai sejumlah lokasi: sudut sunyi di balik gedung teknik, toilet lantai empat di fakultas hukum, dan sebuah kios kecil dekat parkiran motor yang tetap buka hingga tengah malam. Semua punya satu kesamaan—tempat itu sering jadi titik transaksi.

Malam itu, ia duduk sendirian di kursi beton dekat taman samping kafetaria, mengenakan hoodie lusuh dan masker medis.

Di telinganya, sebuah alat dengar kecil tersambung ke ponsel yang menampilkan rekaman suara—pengakuan samar dari seorang mahasiswa baru yang nyaris dijebak oleh "senior".

> “Gue disuruh beli ‘obat kuat’ katanya. Ternyata isinya bukan itu. Mereka bilang kalau udah ambil, harus terus beli. Gila. Takut banget gue.”

Raka mengerutkan kening. Matanya tajam menatap dua mahasiswa laki-laki yang baru saja duduk di bangku pojok kafetaria malam. Mereka tidak sadar sedang diamati. Salah satu dari mereka sempat menyerahkan sesuatu dari bawah meja. Gerakannya cepat dan terlatih.

> “Dua orang itu bukan anak baru,” gumam Raka pelan. “Salah satunya masuk daftar… Yoga Gunawan.”

Nama itu pernah muncul di laporan investigasi internal fakultas—kasus ditutup karena "kurang bukti". Tapi sekarang Raka punya tujuan.

Ia mengambil foto diam-diam dari kejauhan, lalu menyimpannya ke folder terenkripsi di ponselnya. Malam itu belum waktunya bertindak.

Belum.

> “Sabar,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Kita bongkar ini satu per satu. Tanpa kegaduhan.”

Langkah Raka menjauh dari kafetaria, membaur dengan bayang-bayang gedung tua.

.

.

Tapi yang tak ia duga—baru beberapa meter dari kafetaria, dua orang laki-laki bertubuh tegap menghampirinya.

“Eh, lo anak baru ya?” tanya salah satu dengan suara ramah, tapi matanya tajam.

Sebelum Raka menjawab, mereka sudah menepuk bahunya dan merangkul akrab. Dalam hitungan detik, ia diseret pelan ke sebuah sudut gelap di belakang gedung kantin.

“Kita lihat lo sering nongkrong sendirian,” ucap yang satu lagi sambil nyengir. “Lo kayaknya anaknya pendiem banget, ya?”

Raka mengangkat alis, berpura-pura kikuk dan salah tingkah. “E-eh, iya… gue emang… nggak terlalu suka rame-rame.”

Mereka saling pandang dan tertawa pendek.

“Cocok! Lo tuh sasaran yang pas. Nih...”

Salah satu dari mereka menyelipkan benda kecil berbentuk kapsul dalam plastik bening ke tangan Raka.

“Cobain ini. Obat buat cowok-cowok cemen yang mau hidupnya berubah. Sekali coba, lo bakal ngerasa beda. Berani. Percaya diri. Nggak canggung lagi.”

Raka menatap kapsul itu lama, berpura-pura ragu. Dalam kepalanya, dia sudah mencatat semuanya—wajah, postur, logat bicara, bahkan posisi kamera CCTV terdekat yang tidak menjangkau mereka.

“Ini... aman?” tanyanya, menelan ludah, aktingnya sempurna.

“Bro,” ucap salah satu dari mereka sambil menepuk dadanya, “gue udah pake ini dua tahun. Kuliah lancar, cewek banyak, mental baja. Lo terlalu polos buat dunia sekarang. Sekali lo ngerasain, lo nggak bakal mau balik.”

Raka mengangguk pelan, seolah-olah mulai tergoda.

“Gue pikir-pikir dulu ya…”

Salah satu dari mereka mencengkram bahu Raka lebih kuat, menyeringai.

“Enggak ada ‘pikir-pikir’. Lo udah pegang, bro. Kalau nolak sekarang, lo udah jadi ‘target’. Tapi kalau lo ikut main, lo aman. Bahkan bisa untung gede.”

Mata Raka menajam sejenak.

> Begitu caranya mereka menekan mahasiswa baru. Ancaman halus. Jebakan psikologis.

Akhirnya, Raka menyimpan plastik kecil itu ke dalam kantong jaketnya. “Oke… gue coba satu dulu.”

Kedua pria itu tertawa puas, lalu menepuk pundaknya dan melangkah pergi. Tapi sebelum menghilang di tikungan gedung, salah satu dari mereka berkata:

“Besok malam, spot yang sama. Kalau cocok, kita atur partai berikutnya. Dan lo bisa kenalan sama ‘mentor besar’ kita.”

Raka tak menjawab. Ia hanya menunduk, seperti mahasiswa polos yang masih ragu.

Tapi dalam hati, ia sudah menyiapkan rencana.

> Akhirnya, aku masuk ke lingkaran ini. Sekarang, waktunya cari siapa yang di atas mereka.

.

.

Malam belum beranjak banyak saat Raka tiba di apartemennya. Lampu temaram menyala di sudut ruang kerja kecil yang ia siapkan khusus untuk operasi penyamaran. Meja kayu dipenuhi dokumen, laptop dengan koneksi aman, dan satu kotak kecil berisi perlengkapan forensik portabel.

Ia duduk, membuka kantong jaketnya perlahan. Kapsul dalam plastik bening itu kini diletakkan di atas piring kaca kecil.

Tanpa membuang waktu, ia mengenakan sarung tangan lateks tipis, lalu menyalakan kamera mikro dan alat pemindai.

Klik.

Satu foto close-up diambil. Lalu dua. Tiga. Setelah itu, Raka mulai merekam.

> “Kode: RX-17. Lokasi: Universitas Nasional Jakarta. Target: distribusi kapsul sintetis oleh jaringan internal mahasiswa. Bukti awal dikumpulkan hari ini pukul 14.47 WIB, dari dua pelaku pria – belum teridentifikasi – diduga bagian dari rantai distribusi.”

Ia berhenti sejenak, lalu membuka aplikasi pengirim aman di laptopnya. File gambar dan rekaman suara dimasukkan, lalu disandikan dengan enkripsi dua lapis.

Di layar, muncul satu nama tujuan:

> “Unit-03 // Jaringan Khusus Intelijen Mahasiswa”

Setelah menekan tombol kirim, Raka bersandar di kursinya. Pikirannya tak berhenti berputar.

> Kalau mereka percaya gue bisa jadi 'pemain'... berarti gue bisa masuk lebih dalam. Tapi itu juga artinya permainan ini jauh lebih luas dari sekadar dua orang di belakang kantin.

Ponselnya bergetar.

Pesan masuk dari jaringan internal Unit-03.

> “Bukti diterima. Kandungan utama: turunan zat amfetamin sintetis, belum terdaftar. Kami butuh spesimen lebih banyak. Terus dekati target. Jangan gegabah.”

Raka menatap ponsel itu lama. Lalu mengangguk pelan.

.

Tiga hari berlalu sejak Raka menerima kapsul dari dua orang tak dikenal itu. Kampus Universitas Nasional Jakarta tetap riuh seperti biasa, tapi di balik senyum para mahasiswa dan hiruk-pikuk diskusi kelas, ada sesuatu yang mengendap. Raka tahu, ia sedang berenang di antara hiu—dan dirinya sedang berdarah.

Pagi itu, ia duduk di kafetaria, tampak lesu dan termenung, peran “mahasiswa culun” masih ia jaga dengan sempurna. Rambutnya kembali dibiarkan berantakan, kacamata tebal dipasang, dan baju lusuh disesuaikan. Ia sengaja duduk sendirian, tampak seperti pria penyendiri yang butuh 'jalan keluar'.

Dan benar saja.

Dua pria yang sama, mengenakan hoodie dan topi, mendekat. Salah satu dari mereka melempar senyum tipis, lalu duduk tanpa izin di seberang Raka.

“Bro...,” sapa salah satunya, suaranya rendah tapi licik. “Gimana? Coba gak? Atau masih takut jadi jagoan?”

Raka menunduk, memasang ekspresi ragu dan gugup. “Gue… belum tahu. Takut aja gitu. Itu kan... narkoba, ya?”

Yang satunya tertawa kecil. “Ah, itu bukan narkoba, bro. Itu cuma... suplemen. Biar lo gak cupu terus. Sekali minum, percaya deh—langsung pede, otak encer, badan enteng. Kuliah makin gampang, cewek makin gampang.”

Raka menatap mereka seolah tertarik, lalu menggaruk tengkuknya.

“Kalau... gue mau beli lagi, dapet di mana?”

Mereka saling pandang sebentar. Lalu satu dari mereka menyelipkan selembar kertas kecil ke bawah cangkir kopi Raka.

“Datang aja ke sini nanti malam. Tapi jangan ngajak siapa-siapa. Kita bakal ngenalin lo sama ‘bos kecil’. Kalau lo cocok, bisa gabung jaringan. Duitnya gede, bro.”

Raka mengangguk perlahan, lalu memasukkan catatan itu ke sakunya. Ia pura-pura kikuk dan berterima kasih. Begitu mereka pergi, ia buru-buru keluar dari kafetaria, menuju kamar mandi pria di lantai dua.

Begitu pintu terkunci, ia mengaktifkan ponsel pengintainya, memfoto catatan itu, lalu segera menghapusnya. Setelah itu, ia mengirimkan pesan ke Unit-03:

> “Lokasi transaksi malam ini. Target ingin perkenalkan dengan pengendali lapangan. Saya akan hadir. Minta backup di radius 100 meter. Jangan terlihat.”

Beberapa detik kemudian, balasan masuk:

> “Perintah diterima. Pantauan taktis disiapkan. Jangan hilang kontak.”

Raka menyimpan ponsel itu, lalu menatap bayangannya di cermin kamar mandi.

> “Malam ini, kita mulai buka lapisan pertama.”

1
Suyono Suratman
mantap
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!