"Rey... Reyesh?!"
Kembali, Mutiara beberapa kali memanggil nama jenius itu. Tapi tidak direspon. Kondisi Reyesh masih setengah membungkuk layaknya orang sedang rukuk dalam sholat. Jenius itu masih dalam kondisi permintaan maaf versinya.
"Rey... udah ya! Kamu udah kumaafkan, kok. Jangan begini dong. Nanti aku nya yang nggak enak kalo kamu terus-terusan dalam kondisi seperti ini. Bangun, Rey!" pinta Mutiara dengan nada memelas, penuh kekhawatiran.
Mutiara kini berada dalam dilema hebat. Bingung mau berbuat apa.
Ditengah kondisi dilemanya itu, ia lihat sebutir air jatuh dari wajah Reyesh. Diiringi butir lain perlahan berjatuhan.
"Rey... ka-kamu nangis, ya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alfphyrizhmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 03 - Mapres Ngeselin
Beberapa pengunjung mulai riuh.
Awal mulanya hening, kini pecah oleh desas-desus dimeja makan mereka masing-masing. Sebagian menggosipkan karakter Varel, mapres nomor satu yang dingin dan begitu kejam. Sebagian lain, menggosipkan kalau sikap itu adalah trik untuk mengelabui Mutiara. Supaya terhindar dari perasaan Mutiara dan menjaga image nya sebagai mahasiswa berprestasi nomor satu.
Namun, beberapa mahasiswa dan mahasiswi tingkat akhir (semester 7,8,9 dan keatasnya lagi) mulai paham dengan sikap Varel barusan.
Kedua wajah yang terlihat sangat marah adalah Zeeva dan Allyna.
"Maaf kak, dia udah ne-mbak kakak, lho. Apalagi, di depan banyak orang. Kalaupun ditolak, apa kakak nggak bisa jawab santai aja dengan kata TIDAK?" Zeeva angkat bicara, kali ini nadanya sopan di hadapan mapres itu.
"Loh, emang omongan gue barusan ada yang keliru? Tolong koreksi, bagian yang mana!" tanya Varel, merasa tidak bersalah.
"Bukan begitu maksud temanku, kak. Dia minta, supaya ucapan kakak jangan terlalu kasar. Kasihan teman saya jadi malu di depan semua orang."
"Nah, itulah maksud gue barusan!" jawab Varel santai.
Zeeva dan Allyna saling adu tatap. Keduanya mengangkat alis satu sama lain, disertai bahu mereka yang juga terangkat karena tidak mengerti ucapan sang mapres nomor satu.
"Gue bener kan, kalo bilang dia itu cantik? Cantik bener malah. Oke lah, gue nggak akan bohong urusan yang satu itu. No debat! Lagipula, bisa dikonfirmasi oleh tatapan liar beberapa mahasiswa di sini. Itu pertama."
Suasanya kembali tegang. Namun, terlihat agak reda oleh seorang yang berjalan membawa tiga minuman di meja Varel.
"Ini jus jeruknya, dek. Silakan." kata seorang wanita paruh baya yang mengantar minum untuk Varel.
"Baik, terima kasih, Mba." Varel, Hazel, dan Zidan kompak menjawab.
Setelah meminum beberapa teguk, Varel melanjutkan ucapannya,
"Kedua, gue serius soal ke-to-lol-annya dia! Begini, kalau mahasiswi secantik dirinya mengutarakan perasaan di tempat umum, dan juga belum kenal secara personal dengan orang yang dia te-mbak, menurut lo, wajar kan kalau akhirnya akan memalukan dirinya sendiri?" tanya Varel pada Zeeva dan Allyna.
Kedua sahabat Mutiara itu tidak berani mendebat Varel. Ucapannya jelas dan tertata. Zeeva dan Allyna masih belum menemukan celah untuk menyanggah ucapan Varel barusan. Alhasil, keduanya hanya mengangguk saja.
"Nah... kalian pun sebagai kedua sahabatnya menjetujui atas tindakan memalukan tersebut. Tahu kan, tindakan memalukan berasal dari apa? Yaaa... dari otak yang nggak mikir. Dan otak yang nggak mikir itu disebutnya TUO-LUOL!" lanjut Varel. Lagi-lagi dengan wajah dingin dan merasa tidak bersalah.
"Yaaa, tapi ada satu pengecualian sih. Tindakan si cantik ini, pasti langsung direspon setuju oleh orang-orang go-blok. Mereka tidak memikirkan situasi dan kondisi, asalkan punya pasangan cewek cantik, gas aja! Buat nanti dibawa dan dipamerin ke temen-temen tongkrongan mereka." Varel kembali menyesap jis jeruknya. Lalu diam menatap Mutiara, Zeeva, dan Allyna.
"Tapi sorry, gue bukan bagian dari orang-orang go-blok itu!"
Sontak, seisi kantin kembali riuh. Kali ini dengan desas-desus saling bertentangan. Bagi kaum hawa, ungkapan Varel sangat keren dan cool. Mereka memuji habis-habisan ucapan Varel tersebut. Padahal mah, inti sari dari memuji itu karena Varel telah mengolok-olok Mutiara, sang bidadari kampus secara habis-habisan.
Sementara bagi kaum Adam, mereka geram bukan main. Ingin rasanya sekelompok mahasiswa berdiri dan memberikan pelajaran pada Varel. Tapi, mereka sangat tahu latar belakang sang mapres tersebut.
Mending jangan, tahan bro!" salah satu mahasiswa yang sedang asyik makan, menahan rekannya juga terpancing emosi saat mendengar ucapan Varel sebelumnya.
"Lo tau, kan? Dia itu disegani bukan cuma karena mapres nomor satu di kampus ini. Tapi, karena dia pemegang sabuk hitam di tiga cabang bela diri yang berbeda. Jadi, kalo lo cari gara-gara, bakal malu-maluin diri lo sendiri."
Ucapan tersebut langsung menyebar luas. Suasana kantin yang seharusnya chaos dan rusuh, malah perlahan tertib dan tenang kembali.
Mutiara masih tertunduk dengan lemas. Hatinya perlahan hancur mendengar hinaan dari orang yang sangat ia segani dan ia kagumi.
"Tapi kan, nggak seharusnya dengan perkataan kasar dan menghina seperti barusan, kak. Apalagi, Mutiara itu cantik." Zeeva coba menyanggah sebisa mungkin, membela sahabatnya.
"Cantik itu bukan segalanya, Nona!" kali ini, Hazel angkat bicara dengan nada meremehkan, tatapannya melirik ke arah Zeeva.
Zidan ikut menimpali dengan senyum meremehkan, "Kecantikan bisa dibeli dengan otak yang pintar dan menghasilkan uang."
Zidan, meskipun jarang ngomong, tapi sekalinya angkat bicara, merupakan yang paling sinis di antara kedua mapres lainnya.
Ia pun enambahkan, "Sayang sekali, kalau hanya mengandalkan wajah cantik tanpa prestasi!"
Mutiara yang sejak tadi menahan amarah, akhirnya meletakkan sendoknya dengan kasar. Zeeva dan Allyna menatapnya dengan khawatir, tetapi mereka tahu sahabat mereka tidak akan tinggal diam.
"Jadi menurut kalian, gue ini nggak lebih dari sekadar tampang cantik, tanpa otak? IYA?" tanya Mutiara dengan tatapan tajam.
"Eits, lo sendiri yang ngaku. Bukan gue yang ngomong lho, ya!" sahut Zidan dengan mengangkat kedua tangan.
Hazel mengangkat bahu seolah tak peduli, "Kalau memang punya otak, buktikan saja, Nona!" ujarnya dengan nada menantang.
Zidan menanggapi Hazel dengan tertawa kecil, "Iya, tuh! jangan hanya modal senyum manis di kampus. Kami semua tahu, kalau geng kalianlah yang sok paling cantik, sipaling primadona kampus!"
"Tapi inget, kalo lo semua ngandelin cantik, tolok ukurnya cuma uang. Siapapun yang punya uang banyak, dapat ngebeli lo semua. Dan uang banyak itu datang dari otak cerdas dan kreatif." tambah Zidan.
Zeeva mengepalkan tangannya di bawah meja, sementara Allyna mulai mendidih dalam diam.
Mutiara menarik napas dalam dan menegakkan punggungnya. Ia mendapat sebuah kesimpulan.
"Baiklah, gue tau maksud lo semua. Kalo itu mau kalian, gue terima tantangannya!" katanya tegas.
"Waw, hebat! Kami belum membicarakan tugas apapun loh, nona!" ujar Hazel.
"Kalian mau menantang gue, kan?" kata Mutiara.
Zidan menaikkan alisnya dengan ekspresi mengejek, "Tantangan apa? Jangan bilang lo mau membuktikan bahwa lo lebih pintar dari kami, hah?" sindirnya.
"Emang IP semester satu punya lo, berapa?" selidik Varel, ia sejak awal mengamati, namun akhirnya penasaran juga.
"3.55, gimana? Keren, kan? Tinggi, kan? Gue bakal tembusin predikat cumlaude saat wisuda nanti!"
Varel, Hazel, dan Zidan saling terdiam. Ketiganya beradu tatap. Lalu, selang beberapa detik, ketiganya tertawa terpingkal-pingkal.
"Hahahaha! Nilai cuma segitu, mau lo sombongin depan kami?" Zidan membuka hinaan diantara kedua rekannya.
"Baiknya jangan kebanyakan dandan, Nona. Lo harus membuka mata lebar-lebar kalau urusan IPK. Nilai segitu mah, merem juga bisa gue pas semester satu. Hahah!" sambung Hazel.
Bersambung......