Aila Rusli tumbuh dalam keluarga pesantren yang penuh kasih dan ilmu agama. Diam-diam, ia menyimpan cinta kepada Abian Respati, putra bungsu Abah Hasan, ayah angkatnya sendiri. Namun cinta mereka tak berjalan mudah. Ketika batas dilanggar, Abah Hasan mengambil keputusan besar, mengirim Abian ke Kairo, demi menjaga kehormatan dan masa depan mereka.
Bertahun-tahun kemudian, Abian kembali untuk menunaikan janji suci, menikahi Aila. Tapi di balik rencana pernikahan itu, ada rahasia yang mengintai, mengancam ketenangan cinta yang selama ini dibangun dalam doa dan ketulusan.
Apakah cinta yang tumbuh dalam kesucian mampu bertahan saat rahasia masa lalu terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENANTIAN CINTA HALAL
Langkah Azela tertatih, menyusuri lorong sunyi rumah mewah yang hanya dihuni dua jiwa yang sama-sama remuk. Ia baru terbangun karena merasa haus, namun langkahnya terhenti begitu saja saat mendengar suara pelan... isakan... dari balik pintu kayu setengah terbuka.
Hatinya tercekat.
Itu suara...Bayu pria yang baru satu bulan ini menemaninya.
Azela tak pernah tahu, pria setegas dan sedingin Bayu... bisa menangis.
Perlahan ia mendekat. Ia menengok ke dalam tanpa suara. Di sana, Bayu bersimpuh, dalam sujud panjang. Sajadahnya basah. Tubuhnya terguncang halus oleh tangis yang ia tahan. Tapi tangisan yang ditahan, justru terasa paling melukai.
Azela menutup mulutnya. Dadanya sesak. Matanya ikut memanas.
Ia tak kuat melihat sosok yang selama ini begitu kokoh... ternyata menyimpan luka lebih dalam dari yang ia bayangkan.
"Ya Allah...aku telah zalim pada pria sebaik Bayu" bisik Azela pelan, nyaris tak bersuara.
Ia mundur perlahan, tak ingin Bayu tahu bahwa luka itu sempat terlihat. Ia ingin menjaga kehormatan suaminya... meski mungkin, ia telah menghancurkan hati pria itu.
Matahari pagi menyelinap masuk dari celah tirai, menyinari ruang tamu dengan lembut. Azela duduk di kursi makan, dengan wajah lesu. Tangannya menggenggam gelas hangat yang sudah kehilangan asapnya.
Bayu keluar dari ruang salat, wajahnya tenang seperti biasa. Dingin, namun tak membeku. Ia mengenakan kemeja biru tua, rambutnya rapi. Pria itu melirik sebentar ke arah Azela, lalu menghampiri meja makan.
"Aku titip makananmu di kulkas. Jangan lupa sarapan," ucap Bayu singkat, tanpa memandang lama. Suaranya netral, tapi tak ada nada benci.
Azela hanya mengangguk. "Terima kasih, Mas..."
Bayu beranjak. Tapi sebelum benar-benar pergi, ia menoleh sebentar.
"Kalau mau check-up kandungan, kasih tahu aku. Aku antar."
Azela nyaris tercekat. Ia hanya sanggup menjawab lirih,
"Iya, Mas."
HARI-HARI BERLALU
Sejak malam pengakuan itu, Bayu memilih tidur di kamar terpisah.
Ia membagi rumah menjadi dua ruang kehidupan. Tapi tak pernah sekalipun ia merendahkan Azela.
Ia tetap membuatkan teh saat Azela tampak pucat.
Tetap mencarikan bantal tambahan saat Azela mengeluh punggung pegal.
Tetap mengantar ke rumah sakit dengan tenang. Menunggui pemeriksaan, bahkan menyuapi bubur jika Azela terlalu lemah.
Namun tak pernah menyentuh. Tak pernah melewati batas. Tak pernah memanggil "sayang", apalagi menyentuh kulit.
Azela... merasa aneh.
Ia merasa nyaman.
Terasa aneh... karena meski mereka tak saling bicara banyak, keberadaan Bayu selalu membuat Azela selalu terasa aman.
Tak ada teriakan. Tak ada makian. Tak ada cemoohan. Tak ada sindiran. Dan Bayu tak pernah menyebut kata "zina", atau "anak siapa".
Hanya sikap... yang menghormati.
Seperti Bayu sedang menjaga marwah seorang perempuan. Bahkan wanita yang telah membuatnya hancur.
Satu malam.
Azela memasak sendiri. Kehamilannya kini masuk bulan keempat. Perutnya mulai terlihat. Ia memutar air di gelas, sebelum pelan-pelan bicara saat Bayu masuk dapur.
"Mas..." panggilnya pelan. Bayu hanya menoleh sebentar.
"Boleh... Azela tanya sesuatu?"
Bayu mengangguk.
"Kenapa Mas Bayu... masih memperlakukan Azela baik? Bahkan setelah semua yang Mas tahu...?"
Bayu menatapnya lama. Hening sesaat.
"Karena kamu perempuan," jawab Bayu lirih namun tegas. "Karena kamu sedang mengandung. Karena kamu manusia. Dan karena Allah tak izinkan aku berbuat dzalim pada siapapun... bahkan pada orang yang pernah mengecewakanku."
Azela menunduk. Isaknya kembali datang. Tapi ia tahan.
Bayu mendekat, meletakkan satu kantong belanjaan di meja dapur.
"Itu susu khusus untuk ibu hamil, aku lihat kamu mulai gampang sering lelah. Aku sudah konsultasi ke dokter."
Azela terisak makin pelan. Tapi Bayu tetap tenang, menjaga jarak.
Lalu dengan suara lirih, Bayu berbisik,
"Kamu bukan siapa-siapa untukku, tapi bukan berarti kamu tak layak diperlakukan sebagai manusia."
Setelah berkata begitu, Bayu melangkah pergi.
Meninggalkan Azela... dengan isak diam yang semakin meluruhkan ego dan luka.
Mentari pagi menembus celah dedaunan, menyisakan semburat cahaya keemasan yang hangat di halaman ndalem. Jam menunjukkan pukul 07.05 ketika mobil hitam Bayu melaju pelan memasuki halaman pondok.
Setelah mengantar Azela ke rumah sakit, langkah Bayu seperti tertuntun sendiri menuju pondok. Entah apa yang membawanya pulang pagi-pagi begini. Mungkin... rindu.
Bukan pada siapa-siapa. Tapi pada rumah. Pada udara pesantren yang menentramkan. Pada suara ayam berkokok dan cerocosan mulut Aila yang tak pernah habis topik.
Bayu turun dari mobil. Langkahnya berderap ringan, namun pandangannya tetap teduh dan dalam. Ia menyusuri sisi samping rumah, menuju pintu belakang, tempat kenangan masa remajanya tertinggal.
Dan di sanalah Aila, gadis cerewet yang selalu membuat Bayu naik tensi, tengah menjemur pakaian dengan santai. Rambutnya dikuncir asal, namun tertutup hijab, wajah tanpa bedak, namun tetap penuh semangat seperti biasa.
Tanpa sadar Bayu bersandar di pintu belakang, menyilangkan tangan sambil memperhatikannya dalam diam.
Sampai akhirnya...
Aila membalik bada.
"Eh—Ya Allah, Mas Bayu!kok nongolnya dari belakang gitu sih! Serem tahu!""
Aila hampir menjatuhkan jemuran dari tangannya.
Bayu hanya menatapnya tanpa suara, lalu berjalan pelan mendekat.
Aila menaruh tangan di pinggang. "Pantesan ya aku tadi sempat mencium… aroma pengantin baru, rupanya ada Mas Bayu. Udah selesai bulan madunya, Mas? Jadi ke Bali-nya? Atau cuma staycation di hati Mbak Azela aja?"
Aila tertawa sendiri.
Bayu hanya mengangkat alis. Tak menjawab. Tapi juga tidak marah.
Aila mengedipkan mata.
"Mas Bay kenapa sih, ditanya diam aja, lihatinya serem lagi" batin Aila.
"Pagi-pagi banget Ma. Nyari Romo ya? Atau Umi? Eh, Romo tadi ngisi pengajian di masjid besar. Umi ikut. Tadi jam enam udah pergi."
Aila terus saja ngoceh.
"Hmm." cuma deheman yang keluar dari mulut Bayu. Lalu Bayu mengangguk pelan. Ia menatap sekitar rumah, menghela napas panjang.
"Aku cuma mampir. Kangen rumah."
Ujarnya kemudian.
Aila langsung tersenyum. Senyum yang tulus dan lembut.
"Kangen rumah atau kangen suara Aila yang rame? Pasti Mas Bayu kesepiankan, nggak ada Aila, yang tiap hari bikin kesel Mas...?" godanya.
Bayu melirik ke arah gadis itu. "Dua-duanya," ucapnya singkat. Suaranya tenang, tapi ada ketulusan dalam nada bicaranya.
Aila terkekeh pelan. "Ya udah sana duduk dulu. Mau tak bikinkan teh hangat?"
Bayu menggeleng. Ia melirik jam tangan. "Nggak usah, Dek. Jam setengah delapan Mas isi di madrasah. Mata pelajaran Akidah Akhlak."
Ujarnya.
"Eh iya! Di kelasku ya? Izin dulu deh menjemur baju," seru Aila antusias. "Mas Bayu ngajar hari ini? Wah… pasti banyak yang tegang. Apalagi si Anam sama Ikhsan, kemarin aja mereka deg-degan liat nama Mas Bayu di jadwal."
Bayu hanya tersenyum tipis. Lalu berbalik menuju madrasah, meninggalkan aroma sabun cuci dan suasana pagi yang ia rindukan.
Namun sebelum benar-benar pergi, ia berhenti sejenak dan menoleh pada Aila.
"Ai.."
"Iya, Mas?"
Aila menatap Bayu, menunggu Mas-nya ngomong.
"Nggak sda..manggil aja."
Aila mengerutkan kening. "Loh…?"
Bayu tak menjelaskan. Ia hanya melanjutkan langkahnya dengan tenang menuju ruang kelas, menyimpan sendiri luka dan rindu yang tak perlu dijelaskan kepada siapa-siapa.
Karena Bayu tahu, tak semua luka harus diumbar. Tak semua kebenaran harus diumumkan.
Ada luka yang cukup ditangisi dalam sujud.
Ada masalah yang cukup dihadapi dengan diam dan kepala tegak.