Pura-pura menikah dengan tetangga baru? Tentu bukan bagian dari rencana hidup Sheina Andara. Tapi semuanya berubah sejak tetangga barunya datang.
Davison Elian Sakawira, pria mapan berusia 32 tahun, lelah dengan desakan sang nenek yang terus menuntutnya untuk segera menikah. Demi ketenangan, ia memilih pindah ke sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Namun, hari pertama justru dipenuhi kekacauan saat neneknya salah paham dan mengira Sheina Andara—tetangga barunya—adalah istri rahasia Davison.
Tak ingin mengecewakan sang nenek, Davison dan Sheina pun sepakat menjalani sandiwara pernikahan. Tapi saat perhatian kecil menjelma kenyamanan, dan tawa perlahan berubah menjadi debaran, masihkah keduanya sanggup bertahan dalam peran pura-pura?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rembulan Pagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1. Istri Dadakan Datang
Seorang pria dengan tubuh tinggi sekitar 182 cm melangkah keluar dari ruangan kantornya. Jas hitam yang dikenakannya rapi menempel sempurna, sementara gaya comma hair-nya menambah kesan tegas sekaligus berwibawa. Ia adalah CEO dari perusahaan yang bergerak di bidang F&B, sosok yang dikenal penuh ambisi dan disiplin.
Ponselnya bergetar, layar menampilkan nama neneknya. Dengan sedikit enggan, pria itu mengangkat telepon.
“Aku sudah menyiapkan kencan buta untukmu sore ini. Cepat pulang!” Suara neneknya terdengar penuh semangat dan sedikit memaksa.
“Nenek, tolong berhenti maksa Dev kencan buta,” jawab pria itu dengan nada setengah kesal.
“Kalau begitu, segera punya istri! Usia nenek sebentar lagi 80 tahun, kamu mau lihat nenek meninggal tanpa melihatmu menikah?”
Napas pria itu memburu, tapi ia mengiyakan tanpa semangat. Setelah menutup telepon, ia mencari Ari, manajer sekaligus sahabat lamanya yang sedang menunggu di ujung koridor.
“Ari, aku butuh rumah. Yang tenang, di pinggiran kota. Harus hari ini juga.”
Ari mengangkat alis penuh tanda tanya. “Kenapa tiba-tiba, Dev?”
“Aku butuh tempat sendiri,” jawabnya singkat.
Ari menghela napas, lalu menelepon seseorang. Beberapa saat kemudian ia kembali dengan kabar.
“Dengar ini, dua hari lalu di rumah mertua aku ada rumah dijual. Halamannya luas, ada garasi dan dua kamar tidur.”
Tanpa ragu, pria itu mengeluarkan ponsel, mentransfer dua miliar rupiah ke rekening Ari.
“Beli rumah itu sekarang juga. Sisanya, belikan perabotan lengkap.”
Saat pria itu meninggalkan kantor, Ari menggumam, “Aku ini manajer atau pelayan, sih? Semua disuruh. Untung dia sahabat lama, kalau nggak, aku cabut.”
Davison keluar dari kantornya, langkahnya mantap menuju mobil mewah yang terparkir di halaman. Dia menyalakan mesin, lalu memutar ponsel, membaca pesan dari Ari tentang rumah yang akan dicek hari ini. Sesaat kemudian, telepon masuk.
“Dev, pemilik lama rumahnya nelpon. Katanya nggak bisa datang. Tapi nanti ada tetangga yang punya kunci dan akan bantu kamu cek,” suara Ari terdengar dari speaker mobil.
Davison mengangguk, meskipun tahu Ari tidak melihatnya. “Oke, terima kasih.”
Telepon terputus. Sesaat kemudian, ponsel bergetar lagi, kali ini dari neneknya.
“Dev, kamu ke mana? Kok jam segini belum pulang?” tanya neneknya, suaranya sedikit cemas.
Davison tersenyum tipis, menoleh ke jendela depan yang mulai menyambut senja. “Aku mau tinggal sendiri dulu, Nek.”
Suara nenek berubah jadi sedikit kesal, “Kamu beneran mau lihat nenek mati ya? Awas aja, nenek samperin kamu kalau keras kepala.”
Davison tertawa pelan, “Aduh, aku lupa bilang ke Ari, jangan sampai kasih tahu nenek soal rumah ini. Semoga dia nggak ngasih tahu letak rumah ini ke nenek.”
Dia menyalakan wiper sejenak karena hujan rintik-rintik, lalu fokus pada jalan menuju rumah baru yang sudah menunggu.
Di tengah perjalanan, mobil mewahnya berhenti sebentar di sebuah kafe kecil yang biasa ia kunjungi ketika butuh istirahat sejenak. Kafe itu terlihat sederhana, tapi punya aura nyaman yang sulit ditemukan di tempat lain. Dari balik jendela, ia memandangi jalanan yang mulai lengang dan orang-orang yang pulang ke rumah masing-masing.
Di sudut kafe, sekelompok cewek muda duduk sambil bercanda dan tertawa. Mereka sempat melirik ke arah Davison yang baru saja masuk dan memesan kopi hitam. Beberapa di antaranya saling bertukar pandang dan tersenyum kecil sambil diam-diam memperhatikan pria tinggi dengan aura karismatik itu.
Salah satu dari mereka, dengan rambut panjang dan wajah yang sedikit lebih percaya diri, berbisik, “Lihat tuh, cowok itu keren banget, ya? Gaya rambutnya rapi, kayak CEO atau orang penting gitu.”
Yang lain mengangguk setuju, “Iya, aku juga ngerasa dia itu tipe yang susah ditemuin. Gak cuma tampang, tapi aura dia tuh beda.”
Sementara itu, Davison duduk sendiri di meja dekat jendela, sesekali menatap ke arah mereka. Dia bisa merasakan tatapan mereka, tapi tak menunjukkan reaksi berlebihan. Dalam hatinya, ia sadar bahwa ini bukan hal baru baginya. Banyak orang yang memandangnya karena status dan penampilannya, tapi tidak banyak yang benar-benar mengenalnya.
Dia menyesap kopi hitam perlahan, mencoba meredam ketegangan yang mengendap di dada. Ada rasa lelah yang dalam, bukan hanya karena pekerjaan, tapi juga karena tekanan sosial yang selama ini menghimpitnya.
“Kenapa aku harus peduli sama pandangan mereka?” pikirnya. “Aku cuma butuh tempat tenang. Tempat yang jauh dari semua itu.”
Sejenak, dia mengalihkan pandangan ke luar jendela. Hujan rintik-rintik mulai turun lagi, membasahi jalanan yang berkilau oleh lampu kota. Suasana yang tenang itu seperti menyambutnya untuk memulai sesuatu yang baru.
Setelah beberapa menit menikmati suasana dan kopi, Davison bangkit dan kembali menyalakan mobilnya. Pikiran tentang rumah baru itu bercampur dengan rasa cemas yang ia pendam sejak lama. Dia sudah lelah dengan rutinitas di kota besar yang penuh tekanan dan gosip bisnis yang tak pernah berhenti. Tempat itu diharapkan menjadi pelarian sekaligus ruang baru untuk memulai babak baru dalam hidupnya.
Sesampainya di pinggiran kota, suasana berubah drastis. Jalanan yang dulu ramai, kini berganti dengan pepohonan hijau yang rindang dan udara segar yang jarang ia hirup. Lampu jalan yang remang-remang menciptakan bayangan panjang di sepanjang trotoar. Suara burung malam dan angin yang berhembus pelan menemani langkahnya mendekati rumah baru.
Pria itu tiba di rumah baru yang dibelinya. Terletak di pinggiran kota yang tenang, jauh dari keramaian. Rumah sederhana dengan halaman hijau dan pagar putih yang rapi menyambutnya.
Ketika ia membuka pintu mobil, seorang wanita muda keluar dari balik pagar. Rambutnya panjang tergerai rapi, wajahnya tampak profesional tapi ramah.
“Halo, saya Sheina Andara. Saya akan tunjukkan kondisi rumahnya, Pak,” katanya sambil tersenyum.
"Saya Davison Elian Sakawira," balas Davison.
"Ah baik Pak Davison, mari kita lihat rumahnya, saya tunjukkan."
Pria itu mengangkat alis, malas berinteraksi.
“Kalau begitu, saya mau langsung kuncinya. Nggak perlu tunjuk-tunjuk segala,” ujarnya dingin.
Sheina mengerutkan dahi, jelas kesal.
“Aduh, Pak! Kalau nanti ada masalah, Bapak bisa sewot ke pemilik lama rumah. Nanti merasa ditipu.”
Pria itu menghela napas panjang. “Saya rasa nggak perlu. Apa pun kerusakan, saya bisa perbaiki.”
Sheina mundur sedikit, jengkel saat pria itu meraih tangannya untuk mengambil kunci.
“Jangan main-main dengan saya,” katanya serius.
“Loh, Pak, saya nggak main-main. Saya cuma mau memastikan supaya nggak ada masalah,” balas Sheina dengan nada tinggi.
Pria itu akhirnya pasrah, membiarkan Sheina membuka pagar dan pintu rumah.
Tiba-tiba, saat Sheina membuka pintu utama, ia terpeleset hampir jatuh. Pria itu cepat menangkapnya, menahan tubuhnya agar tak terjatuh.
Di saat itu, dari kejauhan, nenek pria itu bersama Ari kebetulan lewat dan melihat kejadian itu.
“Ya ampun, Dev!” suara neneknya penuh keterkejutan dan sedikit kesal. “Nenek nggak nyangka selama ini kamu nolak perjodohan karena diam-diam sudah punya istri! Rumah ini kamu beli buat hidup sama dia, ya?”
Pria itu panik, langsung merangkul Sheina.
“Iya, Nenek. Dia istriku,” ucapnya tegas.