Terlambat menyatakan cinta. Itulah yang terjadi pada Fiona.
ketika cinta mulai terpatri di hati, untuk laki-laki yang selalu ditolaknya. Namun, ia harus menerima kenyataan saat tak bisa lagi menggapainya, melainkan hanya bisa menatapnya dari kejauhan telah bersanding dengan wanita lain.
Ternyata, melupakan lebih sulit daripada menumbuhkan perasaan. Ia harus berusaha keras untuk mengubur rasa yang terlanjur tumbuh.
Ketika ia mencoba membuka hati untuk laki-laki lain. Sebuah insiden justru membawanya masuk dalam kehidupan laki-laki yang ingin ia lupakan. Ia harus menyandang gelar istri kedua, sebatas menjadi rahim pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3. BELUM ADA YANG MENGKHITBAH?
"Pantas saja kamu mau tinggal di Pondok. Di sini ternyata suasananya adem, tentram dan menenangkan," ucap mama Kiara begitu sampai di pondok. Ia dan suaminya memutuskan untuk mengantarkan putrinya yang ingin tinggal di pondok yang tak seberapa besar itu. Namun, suasananya benar-benar terasa tentram dan menenangkan.
"Baru di depan gerbang, loh, Ma, udah adem gitu ya suasananya. Apalagi kalau Mama udah masuk ke dalam, yakin deh, Mama juga pasti akan mau tinggal di sini," ujar Fiona sembari mengulum senyum.
"Jangan! Mama jangan ikut-ikutan Fio mau tinggal di sini. Nanti Papa tidur sama siapa kalau gak ada Mama," sahut papa Denis dengan cepat.
"Ah Papa," mama Kiara tersenyum malu-malu melihat reaksi suaminya. "Walaupun di sini suasananya nyaman, tentram dan menenangkan. Tapi tetap gak bakal senyaman bahu Papa buat bersandar."
Fiona hanya dapat tersenyum melihat keromantisan kedua orang tuanya. Semoga kelak, ia dan pendampingan hidupnya juga akan hidup rukun seperti papa dan mamanya.
Kedatangan mereka disambut hangat oleh ustadzah Dian. Mulanya wanita itu cukup heran melihat Fiona datang bersama kedua orang tuanya dengan membawa koper besar. Sebab, kemarin Fiona bilang hanya ingin membantunya mengajar santri baru untuk belajar ngaji. Dan ia sangat senang ketika Fiona mengutarakan niatnya yang ingin tinggal di pondok.
"Masya Allah. Saya senang sekali kalau Nak Fiona mau tinggal di sini. Semoga betah dan mendapatkan ilmu yang bermanfaat."
"Ustadzah, titip anak kami, dan mohon bimbingannya agar dia bisa menjadi muslimah yang taat. Insya Allah, kami akan menjemputnya apabila telah datang hilal jodohnya," ujar papa Denis.
Fiona tersenyum mendengarnya. Kali ini ia sudah benar-benar memantapkan hati untuk menikah. Bila suatu hari datang seorang lelaki yang ingin meminangnya, ia akan siap menerimanya.
Kedua orangtua Fiona pun berpamitan setelah cukup lama berbincang-bincang.
Fiona mengantar mama dan papanya sampai ke depan gerbang. Setelah mobil kedua orang tuanya itu tak terlihat lagi, ia pun l
masuk dan langsung menuju mushola. Ustadzah Dian sudah berada di sana dengan beberapa santri baru untuk belajar mengaji. Ia pun turut membantu.
"Ustadzah, ustadzah," panggil seorang anak perempuan sambil berlari pelan, membuat ustadzah Dian dan Fiona serentak menoleh.
"Iya, Nak. Kenapa?" tanya ustadzah Dian.
"Ustadzah, ada kakak kakak ganteng bawa makan. Banyak banget," ucap anak perempuan itu, tampak heboh.
Ustadzah Dian dan Fiona saling melirik sambil terkekeh pelan.
"Terus, sekarang kakak kakak ganteng itu ada di mana?" tanya ustadzah Dian.
"Lagi ngobrol sama Ustadz Hilman di depan," jawab anak perempuan itu.
Ustadzah Dian tampak mengangguk, kemudian menatap santri-santri barunya. "Kita ngajinya sampai disini dulu ya. Nanti sore setelah Azhar kita lanjut lagi. Sekarang, semuanya berkumpul di depan," titahnya.
"Iya, Ustadzah."
Ustadzah Dian pun segera beranjak. Ia turut mengajak Fiona ke depan. Memang sudah biasa ada yang mengantar makanan untuk anak-anak pondok.
Melihat kedatangan ustadzah Dian dan Fiona. Lelaki yang sedang mengobrol dengan ustadz Hilman itupun menyapanya.
"Assalamualaikum, Ustadzah," ucapnya sambil melirik sekilas pada gadis di samping ustadzah Dian.
"Waalaikumsalam. Jadi, Nak Damar rupanya kakak kakak ganteng itu," ucap ustadzah Dian sambil melirik anak perempuan yang tadi memberitahunya.
Anak perempuan itu tampak tersenyum malu-malu dan langsung bersembunyi di balik temannya.
Damar terkekeh pelan dibuatnya.
Makanan pun dibagikan ketika semua anak-anak telah berkumpul.
Fiona turut membantu. Melihat keceriaan di wajah anak-anak itu membuat perasaannya menghangat. Menciptakan sebuah keinginan yang semakin kuat untuk memiliki pendamping hidup. Memulai hidup baru, dan memiliki anak seperti adiknya.
Ketika tatapannya tertuju pada Damar yang ternyata juga sedang menatapnya, ia langsung membuang pandangan dan memilih fokus untuk membagikan makanan pada anak-anak.
"Fiona, mau kemana?" tanya ustadzah Dian, saat Fiona hendak pergi.
"Mau ke kamar mandi sebentar, Ustadzah."
Damar terus menatap langkah gadis itu. Ustadzah Dian yang melihatnya, langsung mendekati lelaki itu sambil berdehem pelan.
Damar seketika salah tingkah. Tersenyum malu-malu sambil mengusap tengkuknya.
"Hem, ustadzah jadi curiga, nih. Jangan-jangan kamu kesini cuma alasan ya, buat...." Ia menjeda kalimatnya sambil melirik ke arah Fiona yang sudah cukup jauh.
Damar mengulum senyum. Saat tahu sang mama akan mengirim makanan ke pondok, ia langsung menawarkan diri untuk mengantarnya langsung, yang tentunya itu menjadi kesempatan untuknya bisa melihat gadis yang bernama Fiona itu.
"Sepertinya, do'a Mama kamu yang kepengen cepat punya menantu akan segera terkabul, nih," gurau ustadzah Dian.
"Kalau boleh tahu. Apakah Fiona itu sudah ada yang mengkhitbah atau belum ya, Ustadzah?" Damar memberanikan diri untuk bertanya. Sejak pertemuannya kemarin, ia dibuat penasaran dengan wanita itu.
Ustadzah Dian tersenyum. Sudah ia duga, Damar sepertinya jatuh hati pada Fiona.
"Fiona memutuskan untuk tinggal di pondok mulai hari ini. Tadi pagi, kedua orang tuanya yang mengantar. Dan mereka bilang, akan menjemput Fiona lagi ketika hilal jodohnya sudah datang."
"Jadi artinya, Fiona belum ada yang mengkhitbah?" tanya Damar memastikan.
"Iya," jawab ustadzah Dian yang membuat Damar tersenyum.
"Kalau kamu memang ada niatan, jangan ditunda-tunda. Bukankah niat baik itu harus disegerakan."
"Insya Allah, ustadzah. Kalau begitu, saya pamit. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Sesampainya di rumah, Damar langsung mengutarakan niatnya tersebut yang membuat sang mama sangat senang. Sudah lama wanita itu menunggu kabar baik ini, dan akhirnya putranya telah menjatuhkan pilihan pada seorang gadis.
"Siapa perempuan itu, Damar?" tanyanya antusias.
"Fiona, Ma," jawab Damar."
"Fiona?" Wanita itu tampak berpikir. Ketika teringat pada seseorang, ia seketika tersenyum lebar. "Oh, perempuan yang kemarin datang sama ustadzah Dian itu, ya?"
Damar hanya mengangguk sambil tersenyum.
"Hem, jangan-jangan kamu tiba-tiba mau anter makanan ke pondok cuma alasan mau ketemu dia, ya?" tebak sang mama.
Lagi, Damar hanya mengangguk sambil tersenyum.
"Dasar kamu itu." Wanita itu memukul pelan lengan putranya. Namun, tak dapat dipungkiri ia sangat senang putranya telah menemukan tambatan hatinya.
"Tapi, Ma. Bagaimana kalau Fiona gak mau sama aku?" Ekspresi wajah Damar seketika berubah. Tiba-tiba saja ia memiliki keraguan itu mengingat ia belum lama kenal dengan Fiona. Lebih tepatnya mereka memang belum pernah berkenalan secara langsung. Ia hanya jatuh hati pada gadis itu saat pertama kali melihatnya.
"Kamu jangan patah semangat dulu. Ya, gak ada salahnya kita coba dulu. Siapa tahu kan, ini memang jodohnya kamu." Wanita itu mengusap lembut lengan putranya.
Damar mengukir senyum yang nampak dipaksakan. Ia berharap, niat baiknya akan disambut baik oleh Fiona.
"Sekarang, Mama mau telepon ustadzah Dian dulu." Wanita itu beranjak menuju kamar dengan perasaan yang bahagia.
kasih faham thor ... /Angry/