cerita tentang seorang serigala penyendiri yang hanya memiliki ketenangan tapi musik menuntun nya pada hal-hal yang terduga... apakah itu musim semi...
aku hanya bermain musik untuk mencari ketenangan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 - Sisi Lain
Keesokan harinya pun aku masih tak berani untuk berbicara dengan nya, hingga kehilangan kesempatan bahkan setelah bel berakhirnya sekolah berbunyi
Sesampainya dirumah aku pergi ke kamar
Setelah menutup pintu kamar dan berganti pakaian, Vio menyalakan komputer serta memasang kamera di posisi seperti biasa.
Rambutnya diikat sederhana, dan gitar akustik diletakkan di pangkuannya.
Siaran pun dimulai.
“Em… Selamat malam. Ya, sepertinya malam ini kalian akan ditemani olehku lagi, hahaha.”
Beberapa komentar langsung bermunculan di layar. Vio tersenyum kecil, menyesuaikan posisi duduknya.
“Ah! Ya aku sudah makan malam ini, terima kasih untuk donasinya dan kulihat nickname yang kamu pakai cukup menarik… Zeo, ya? Mudah diingat.”
Beberapa permintaan lagu masuk. Setelah memilih satu, Vio mengecek nada, lalu mulai memetik gitarnya. Tangannya yang sedikit bergetar, tapi saat suara pertama keluar, suasana menjadi tenang.
Like stars in the night sky 🎶
Tōku hanaretemo 🎶
Even if we're far apart 🎶
You’ll always be my light 🎶
Toki ga tomattemo 🎶
I’ll find you in the sky 🎶
Like stars… in the night sky 🎶
Nada terakhir mengalun lembut, membuat ruang kecil di kamarnya terasa jauh lebih luas. Beberapa komentar memuji lagu tersebut, bahkan ada yang menanyakan apakah itu lagu ciptaan sendiri.
Vio hanya tersenyum tipis. "Hmm... Mungkin saja."
Setelah beberapa obrolan ringan dan lagu-lagu lainnya, Vio pun menutup siaran malam itu. Namun, rasa hangat dari lagu tadi masih tersisa, menggantung di hatinya lebih lama dari biasanya.
Setelah menutup siaran, Vio bersandar di kursinya. Lampu kamar masih redup, hanya cahaya monitor yang menyinari sebagian wajahnya.
Dia menatap gitar di pangkuannya dengan tatapan kosong.
‘Kalau aku bisa seperti ini juga di dunia nyata… mungkin semuanya akan berbeda.’
Tangannya masih menggenggam leher gitar, tapi tidak bergerak lagi. Lagu tadi—lagu yang selama ini hanya dia nyanyikan dalam hati—akhirnya terdengar oleh orang lain. Dan entah kenapa, ada sesuatu yang bergetar dalam dirinya.
Vio menoleh ke arah jendela, menatap langit malam tampak cerah. Beberapa bintang terlihat—redup, tapi nyata.
‘Like stars in the night sky…’
Dia mengulang dalam hati.
Tiba-tiba perasaan kosong itu muncul kembali, rasa yang selalu datang setiap kali siaran berakhir. Saat komentar berhenti, saat suara dirinya menghilang dari speaker orang lain. Saat ia kembali hanya menjadi Vio dan bukan Violetta yang bernyanyi untuk ratusan pendengar.
Dia menaruh gitar di tempatnya, lalu berdiri perlahan. Setelah mencuci muka dan mematikan lampu, Vio berbaring di tempat tidur. Tapi kali ini, tidak langsung memejamkan mata. Dia membuka ponselnya, membuka rekaman siaran tadi, lalu membaca komentar-komentar yang tertinggal.
Salah satu komentar menarik perhatiannya.
> “Lagu tadi… terasa sangat jujur. Apakah itu kisahmu, Violetta?” <
– Zeo
Vio diam. Komentar itu tidak dia balas, hanya ditatap lama.
‘Aku tidak yakin... Tapi mungkin saja.’
Dia mematikan layar ponsel, menarik selimut hingga ke dagu, dan berbisik pelan pada dirinya sendiri.
“Selamat malam, Violetta…”
Keesokan paginya, suara langkah pelan terdengar di lorong. Hilda membuka pintu kamar Vio dengan hati-hati, menatap adiknya yang masih terlelap, ponsel tergenggam di tangan, dan selimut sedikit terjatuh ke lantai.
Ia tersenyum kecil, lalu berjalan mendekat dan menarik kembali selimut ke atas bahu Vio.
“Dasar anak ini… kalau udah siaran, selalu lupa waktu,” gumamnya.
Hilda duduk sebentar di pinggir ranjang, memperhatikan wajah adiknya yang damai dalam tidur. Meski Vio jarang bercerita, Hilda tahu bahwa ada sisi yang selalu Vio sembunyikan di balik suara lembut dan senyuman kecilnya. Lagu semalam yang tak sengaja ia dengar saat melewati kamar Vio, masih terngiang dalam benaknya.
Perlahan, ia berdiri dan menuju pintu.
Sebelum keluar, ia berkata pelan, hampir tak terdengar:
“…Kalau kamu merasa sendiri, kamu selalu bisa bicara padaku, Vio.”
Pintu tertutup dengan pelan. Mata Vio sedikit bergerak, dan sudut bibirnya terangkat samar—seolah mendengar, meski belum sepenuhnya bangun.