Hulla ... selamat datang di novel ketigaku❤❤❤
Masih berkaitan dengan dua novelku terdahulu ya, semoga ngga bosen😆 baca dulu biar ngga bingung✌
~Menikahi Bos Mantan Suamiku~
~Kekasihku, Asisten Adikku~
"Kamu adalah hal yang paling mustahil untukku. Bahkan aku tidak percaya semua kata-katamu, sejak aku mulai mengenalmu!" Jenny Putri.
"Cinta itu seperti gigitan nyamuk. Ngga akan terasa sebelum nyamuk itu kenyang mengisap darahmu, lalu terbang pergi. Setelah itu kamu baru merasa gatal, bahkan kesal karena tidak berhasil menangkapnya. Kuharap kamu bisa menyadari sebelum nyamuk itu pergi dan hanya meninggalkan bekas merah yang gatal di dirimu." Zabdan Darrenio.
Demi menyelamatkan Jen, Darren rela mengaku sebagai calon suami Jen. Meskipun Jen selama ini tidak pernah menganggap Darren sebagai teman melainkan musuh. Karena sejak kecil, Darren selalu menjahili Jen, sehingga Jen tidak menyukai pria tersebut. Bagaimana kisah pasangan absurd ini? Yuk simak sampai akhir ...
Picture by Canva
Edited by me
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Reuni Rasa
Baby Cio sedang menyusu dengan lahap seperti biasa. Ia bergerak mencari sumber kehidupannya. Matanya mengerjap sedikit kesal karena pu ting Naja belum terbentuk sempurna. Hal biasa saat ibu muda yang minim pengalaman tentang menyusui, karena teori memang selalu tertampar oleh kenyataan.
"Enak, ya, Nak?" bisik Excel di atas kepala Cio yang sejak tadi ia elus-elus. Rambut bocah itu lebat tetapi tidak terlalu hitam. Ia heran dengan anaknya yang senang sekali mendengkuskan napasnya seperti dia saat sedang marah. Kenapa sampai sedetail itu miripnya, pikir Excel.
"Emang dia udah ngerasain, gitu? Dia tuh cuma butuh, Dad ... ngga ngerti rasanya." Naja meringis menahan ngilu, tetapi ia tak tahan untuk tidak menjawab suaminya.
"Benarkah? Tapi dia rakus ngalahin aku, Mom ...," Excel terkekeh geli saat membayangkan dirinya yang nyaris tak bisa tidur sebelum puas memainkan dada istrinya.
Naja menaikkan sebelah bibir atasnya, jijik sekali dengan ucapan Excel yang membuatnya merinding. "Kamu bukan lagi rakus, tapi doyan." Excel terkekeh lagi sambil terus mendesakkan hidungnya yang runcing di atas rambut Cio, membuat bayi itu terusik kenyamanannya.
"Kerja sana ... udah ada anak, kerja yang rajin. Jajan anakmu ngga ditanggung pemerintah!" usir Naja sambil menjauhkan kepala Excel dengan telunjuknya. Suaminya itu mengganggu sekali, apa dia tidak tahu saat ini sedang menahan sakit karena ujung dadanya lecet. Jika Cio tidak tidur, dia juga tidak bisa istirahat 'kan?
Excel terkekeh lagi, melihat Cio, dia menjadi sangat gemas dan enggan berjauhan dengan bayi yang belum genap dua puluh empat jam bersamanya. Ujung kepala bayi itu kembali mendapat kecupan yang sangat banyak, lalu beralih ke wanita yang telah membuatnya sempurna. Bersama kecupan itu, ia berharap seluruh perasaan mampu terungkap, rasanya ucapan saja tak akan cukup.
"Mommy jangan galak-galak ih, hari ini Rega sedia gantiin Daddy yang lagi berbahagia. Uang jajan Cio dan adik-adiknya akan datang sendiri karena Daddynya udah buat investasi yang menghasilkan keuntungan tiap bulannya. Jadi, Mommy seharian ini akan mendapat perhatian penuh dariku." Excel mengangsurkan pantatnya di sisi Naja, ia merangkul istrinya dengan sayang.
"Adik-adik? Maksud kamu, Cio mau diberi adik? Setelah yang kamu lihat kemarin, masih mau nyuruh aku ngeden lagi? Tega, ya?!" Suara Naja yang meninggi membuat Cio terusik dan mencebik. Pria kecil itu siap mengeluarkan tangisnya yang begitu melengking.
"Pelankan suaramu, Na ... kamu membuat Cio takut!" Sigap, Excel mengalihkan bayi yang sudah kenyang itu ke dalam dekapannya. Menimang hingga Cio kembali tenang dan pulas.
Pintu terbuka saat Naja mengerucutkan bibirnya. Cio menjadi jinak di dalam buaian Daddynya. Sungguh Naja bersyukur melihat ini semua.
"Haruskah aku memanggilmu Pak mulai hari ini?" Zabdan Darrenio menenteng sebuah kotak, tersenyum hingga menampakkan lekuk pipinya. Bibir seksi pria itu menggumamkan kata "hai" ke arah Naja, yang dibalas dengan lambaian oleh Naja.
"Selamat kakak ipar!" sambung Darren saat meletakkan kotak berisi sebuah robot mainan di boks bayi milik Cio.
"Ranu masih sekolah dan Jen tidak menyukaimu, jadi kurasa kakak ipar terlalu ... berlebihan," kekeh Excel menyambut Darren dalam rangkulannya. Bagaimanapun, Darren, Jeje, dan Excel kerap menghabiskan waktu di atas stik PS dulu. Bahkan kini, Darren dipercaya mengelola galeri sport dan pusat kebugaran milik Jeje. Mereka sahabat yang kental hingga Darren mendapatkan pekerjaan di luar pulau dan mereka berpisah selama empat tahun lamanya. Namun, hal itu tidak membuat mereka putus hubungan begitu saja. Darren secara rutin dua atau tiga bulan sekali pulang dan mengunjungi mereka. Dan Jen.
"Jangan membuatku putus harapan. Selama mereka berdua belum di miliki pria lain secara sah, aku mendaftar secara resmi menjadi calon adik iparmu." Tangan Darren terangkat di udara sekitar Excel, menunjukkan bahwa tangannya telah bersih dari kuman sebelum menyentuh pipi Cio yang terlihat merah.
"Dia benar-benar mirip denganmu, Kak."
Excel berjengit, "Kak? Jijik dengernya, Ren ...!"
Darren terkekeh geli melihat ekspresi Excel. Darren selalu mengagumi Excel, pria yang tangguh dan sosok yang begitu melindungi.
"Hai ...!" Pekikan nyaring bersamaan dengan pintu terbuka dengan kasar, memenuhi ruangan kelas wahid ini. Wanita muda dengan satu keranjang di tangan kanannya dan satu kotak terbungkus rapi dengan pita gold penuh gliter bertengger di pinggangnya yang ramping.
Semua orang menoleh ke arah Jen, yang memakai atasan hijau sebatas siku dan celana jeans longgar yang mencapai pusarnya. Darren langsung berdiri dengan senyum merekah menyambut pujaan hatinya. Tetapi senyum itu surut saat mata cokelat Jen menyapanya dengan tidak peduli. Seperti biasa.
Jen seketika memudarkan senyum dan keceriaannya saat matanya terisi oleh bayangan Darren. Satu-satunya lelaki yang tidak akan pernah disukainya sampai kapanpun. Mencibir, Jen bergegas menuju ranjang menghindari Darren yang membuat Jen langsung alergi.
"Kenapa gak di sapa Darrennya?" bisik Naja. Jen dengan gaya cerianya yang telah kembali menautkan pipi dengan Naja.
"Nanti abis nyapa dia, lidah dan bibirku bakal gatel-gatel. Alergi dan iritasi." Ekspresi malas, enggan, dan jijik tampak nyata menghiasi wajah Jen. Tetapi wanita itu tampak terkesima melihat Naja yang menurutnya mengagumkan. Tubuh kecil itu menyangga perut yang besar lalu mengejan untuk melahirkan Cio. Bagi Jen, itu sesuatu yang menakjubkan dan tidak pernah terlintas di pikirannya. Agak menggelikan juga mengerikan. Ia mungkin tak akan sanggup jika harus seperti itu.
"Hati-hati ... yang awalnya anti nanti bisa-bisa jatuh hati, loh!" seloroh Naja mengambil tangan adiknya dan memeluknya. Rindu sekali rasanya.
"Itu tidak akan terjadi padaku!" Jen berkata yakin. Setelah berpuluh tahun, selain rasa permusuhan tidak ada yang tersisa dalam diri Jen akan teman sekelasnya itu. Simpati pun dia tidak ingin memberi pada pria itu.
Darren memandang hampa udara yang ditinggalkan Jen. Selalu seperti ini dan selama ini. Harusnya dia sudah terbiasa tetapi tetap saja, Jen dekat tapi tak bisa di sentuh. Tetapi pria itu tersenyum miris dan mencoba sabar. Rasa bersalahnya semakin ke sini semakin berkembang menjadi sayang dan ingin melindungi. Meski Darren harus menahan sesak. Dirinya meninggalkan pekerjaannya karena Jen. Ingin menjaga Jen. Menebus kesalahan yang pernah ia buat di masa kecil.
.
.
.
.
.