Penasaran dengan ceritanya yuk langsung aja kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20: Atap yang Menunggu
Bau rumah sakit—campuran antara disinfektan, obat-obatan, dan aroma keputusasaan—adalah hal yang paling dibenci Aris. Baginya, itu adalah aroma dari sebuah akhir yang dipaksakan. Tiga hari setelah penggerebekan di lantai 42, Aris memaksa dokter untuk mengizinkannya pulang, atau setidaknya, mengizinkannya pergi ke satu tempat yang lebih ia butuhkan daripada tangki oksigen: Sektor 12-B.
"Ini tindakan bunuh diri, Pak Aris," dokter spesialis jantung itu menggeleng keras. "Kondisi katup jantung Anda sangat kritis. Sedikit tekanan atau kelelahan bisa menjadi serangan terakhir."
Aris menatap dokter muda itu dengan mata yang cekung namun tetap tajam. "Dokter, saya sudah mati sepuluh tahun lalu sebagai arsitek. Jika saya harus mati hari ini, saya ingin mati sebagai manusia yang berdiri di atas tanah yang saya perjuangkan. Tolong, biarkan saya pergi."
Dengan pengawasan ketat dari Maya dan ambulans yang bersiaga di kejauhan, Aris akhirnya tiba di bantaran sungai. Saat pintu mobil dibuka, suara riuh pembangunan segera menyambutnya. Suara palu yang menghantam paku, deru mesin pemotong bambu, dan tawa warga terdengar seperti simfoni yang paling indah bagi telinganya.
Pekerjaan sudah mencapai tahap pemasangan rangka atap. Struktur bambu petung yang besar sudah melengkung sempurna, membentuk kubah yang menyerupai pelana kuda yang megah namun rendah hati.
"Pak Aris!" seru Hendra. Ia segera berlari mendekat, tangannya yang penuh noda pernis membantu Aris turun dari kursi roda.
Warga berhenti bekerja sejenak. Mereka membentuk barisan panjang, menatap Aris dengan rasa hormat yang mendalam. Tidak ada sorak-sorai yang gaduh, hanya keheningan yang penuh haru. Mereka melihat pahlawan mereka kembali dalam kondisi yang jauh lebih rapuh, namun dengan semangat yang tampak lebih kokoh dari bangunan mana pun.
Aris menatap ke atas. Rangka atap itu masih telanjang, menanti lembaran-lembaran penutup yang akan melindungi penghuninya dari hujan dan panas.
"Kenapa belum dipasang?" tanya Aris, suaranya parau dan tipis.
"Kami menunggumu, Pak," jawab Pak RT. "Kami ingin Bapak yang memimpin doa sebelum lembaran pertama dipasang. Kami ingin Bapak yang menentukan kapan 'Rumah Senja' benar-benar memiliki pelindung."
Aris dipandu menuju tengah-tengah bangunan. Lantai dasarnya sudah diurug rapi dengan material ramah lingkungan. Ia menyentuh salah satu tiang bambu utama. Terasa dingin, halus, dan hidup. Di bawah tiang itu, ia meminta Hendra menggali lubang kecil.
"Tolong, masukkan ini," Aris menyerahkan kotak logam kecil yang ia sebutkan di rumah sakit. Di dalamnya terdapat salinan surat-surat Sarah, foto-foto warga saat pertama kali melawan buldoser, dan sebuah kunci simbolis. "Ini adalah kotak waktu. Jika suatu saat gedung ini runtuh karena usia, orang yang membongkarnya harus tahu bahwa ia pernah dibangun dengan cinta yang tidak mengenal takut."
Sore itu, di bawah langit yang mulai berubah jingga, upacara pemasangan atap dimulai. Aris memberikan instruksi terakhir tentang sudut kemiringan atap agar air hujan bisa dialirkan secara optimal ke sistem filtrasi bawah tanah. Ia tidak lagi menggambar dengan pena; ia menggambar dengan jari-jarinya di udara.
Saat lembaran penutup pertama terangkat ke atas, air mata Aris jatuh. Ia merasakan kehadiran Sarah begitu nyata di sampingnya. Ia bisa membayangkan Sarah sedang menyiapkan teh di dapur imajiner bangunan ini, sambil melihat anak-anak bantaran belajar membaca di ruang tengah.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, rasa sakit di dadanya kembali datang. Kali ini tidak menusuk, melainkan terasa seperti beban yang sangat berat dan dingin. Aris mencengkeram lengan Hendra.
"Hendra... perhatikan sambungan di sisi timur... pastikan bautnya tidak... tidak terlalu kencang agar bambunya bisa memuai..." bisik Aris, suaranya perlahan menghilang.
"Pak? Pak Aris!" Hendra menangkap tubuh Aris yang mulai limbung.
Aris tidak pingsan. Ia hanya menutup matanya sejenak, menikmati aroma kayu dan bambu yang memenuhi indra penciumannya. Di waktu senja hari itu, ia merasa tugasnya hampir paripurna. Atap itu sudah mulai terpasang. Pelindung bagi warga sudah ada.
"Bawa aku ke teras atas," pinta Aris lirih. "Aku ingin melihat matahari terbenam dari tempat tertinggi yang pernah kubangun."
Mereka membawa Aris ke balkon lantai dua yang menghadap langsung ke arah sungai. Dari sana, Jakarta tampak tidak lagi menakutkan. Kota itu tampak seperti kumpulan lampu yang menanti untuk dinyalakan. Aris melihat matahari yang bulat sempurna mulai menyentuh cakrawala, mewarnai air sungai dengan tinta emas.
"Indah sekali," gumamnya. "Senja kali ini... tidak lagi terasa seperti sebuah akhir."