NovelToon NovelToon
KEPALSUAN

KEPALSUAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Misteri / Action / Persahabatan / Romansa
Popularitas:217
Nilai: 5
Nama Author: yersya

ini adalah cerita tentang seorang anak laki-laki yang mencari jawaban atas keberadaannya sendiri

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yersya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 10

Udara pagi terasa sejuk, masih segar dengan aroma embun yang belum sepenuhnya menguap. Beberapa kendaraan sudah lewat, orang-orang mulai jogging, dan beberapa pemilik rumah terlihat menyapu halaman mereka. Aku berjalan pelan sambil menikmati suasana yang jarang kurasakan—pagi yang benar-benar tenang.

Ketika aku tiba di persimpangan, aku berhenti mendadak. Seseorang memperhatikanku dari seberang jalan.

“Arya?” panggilnya.

Adelia.

Dia mengenakan sweater biru muda dan celana training hitam. Rambutnya diikat tinggi, wajahnya sedikit berkeringat—tanda dia memang baru saja jogging.

“Sedang apa kau pagi-pagi sekali seperti ini?” tanyanya sambil mendekat.

“Hanya jalan-jalan,” jawabku singkat.

Adelia menatapku dari atas sampai bawah, seolah mencari petunjuk tambahan.

“Kau dari arah sekolah,” katanya sambil menyipit curiga. “Jadi… apa kau benar-benar hanya jalan-jalan?”

Aku cepat-cepat mencari alasan. “Aku… mengunjungi sekolah sebentar. Penasaran saja bagaimana sekolah kalau masih benar-benar sepi.”

Adelia terdiam beberapa detik, tatapannya menusuk seperti membaca sesuatu yang tidak kukatakan. Tapi kemudian ia mendengus kecil dan memalingkan wajah.

“Terserahlah,” ujarnya santai.

Ia berjalan melewatiku beberapa langkah sebelum menoleh lagi.

“Ayo jalan sebentar,” ajaknya sambil menggerakkan kepalanya ke arah jalan.

Tidak ada alasan untuk menolak, jadi aku pun mengikuti langkahnya. Kami berjalan beriringan, tapi tidak ada yang berbicara. Hanya suara sepatu kami dan beberapa burung yang mulai berkicau memenuhi udara.

Setelah beberapa meter, Adelia akhirnya membuka suara.

“Jadi, bagaimana?” tanyanya sambil melirikku sekilas.

“Bagaimana apa?” balasku.

“Tugas kelompokmu dengan Luna,” katanya sambil tersenyum miring. “Ada sesuatu yang terjadi?”

Aku menggaruk pipi yang tidak gatal. “Hmmm… dia sangat jutek? Hampir tidak ada percakapan selain tentang tugas.”

Adelia tertawa kecil, suaranya ringan. “Sudah kuduga dari Luna.”

Dia kemudian menatap ke depan, langkahnya lebih santai. “Tapi jangan terlalu membencinya, ya.”

Aku mengangkat alis. Tatapannya berubah—ada ketulusan di sana.

“Luna terlahir dengan kecantikan yang… yah, kau tahu sendiri. Memang luar biasa. Tapi justru karena itu, setiap pria yang mendekatinya selalu punya alasan yang sama—kagum, terpikat, tertarik pada wajahnya. Tidak pernah lebih dari itu. Lama-lama dia lelah… bosan… lalu mulai membenci semua perhatian itu. Dari situlah dia menutup diri.”

Aku terdiam. Untuk pertama kalinya aku merasa ada sisi Luna yang tidak pernah kulihat.

Adelia melanjutkan, “Tapi ada satu hal. Luna pernah menyinggung soal dirimu.”

Aku menoleh cepat. “Aku?”

“Ya,” jawab Adelia sambil tersenyum kecil. “Katanya, kau terlihat tidak tertarik padanya. Dan… itu membuat dia sedikit senang.”

Aku mengerutkan kening. “Lalu?”

“Lalu kau menembaknya,” jawab Adelia sambil menahan tawa. “Dan aku yakin, dia sangat kecewa pada hari itu. Pria yang menurutnya berbeda… ternyata sama saja.”

Aku terdiam lama, memikirkan hari ketika aku menembaknya. Ekspresi Luna sekarang masuk akal. Aku benar-benar tidak menyangka.

Keheningan kembali menyelimuti kami hingga akhirnya kami tiba di depan sebuah gedung kosong lima lantai yang sudah lama ditinggalkan. Catnya mengelupas, jendelanya gelap, dan sebagian temboknya retak.

Adelia berhenti. “Hanya itu yang ingin kubicarakan. Aku berharap kau memakluminya.”

Aku menatapnya dari samping. “Apa kau selalu menceritakan hal ini pada pria-pria yang ditolak Luna?”

Adelia menggeleng pelan. “Tidak. Hanya kau.”

“Kenapa?”

“Karena kau satu-satunya pria lain yang pernah dia singgung sebelumnya.”

Aku tercekat.

Pria lain?

Ucapan itu menggantung lama di udara, tapi Adelia tidak memberi penjelasan lebih.

“Aku sudah sampai tujuanku,” katanya, menatap gedung tua itu tanpa ragu sedikitpun. “Sebaiknya kau cepat pergi, atau kau akan terlambat ke sekolah.”

Aku melihat gedung itu lama. Ada sesuatu yang tidak normal. Sesuatu yang membuat bulu kudukku meremang.

“…Apa kau akan melawan kutukan?” tanyaku pelan.

Adelia menoleh, menatapku dari sudut matanya. Senyuman muncul di bibirnya—tenang, percaya diri, tapi ada sedikit nada menantang di dalamnya.

“Tentu saja,” jawabnya mantap.

Lalu, tanpa menunggu reaksiku, ia melangkah maju memasuki gedung tua itu. Gerakannya sama sekali tidak mengandung keraguan. Seolah-olah apa pun yang menunggunya di dalam sana… bukanlah hal yang menakutkan baginya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!