Goresan ISENG!!!
Aku adalah jemari yang gemetar. Berusaha menuliskan cinta yang masih ada, menitip sebaris rindu, setangkup pinta pada langit yang menaungi aku, kamu dan kalian.
Aku coba menulis perjalanan pulang, mencari arah dan menemukan rumah di saat senja.
Di atas kertas kusam, tulisan ini lahir sebagai cara melepaskan hati dari sakit yang menyiksa, sedih yang membelenggu ketika suara tidak dapat menjahit retak-retak lelah.
Berharap kebahagiaan kembali menghampiri seperti saat dunia kita begitu sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. "Assalamualaikum ... Cinta!"
...Pov Sabil...
Dari ribuan pasien gangguan mental yang aku temui selama bekerja di lima rumah sakit jiwa, kenapa hanya dia yang begitu ingin aku lindungi, bukan sebagai seorang tenaga professional tapi sebagai seorang laki-laki.
Apa aku menyukai Hania?
Siang itu, tujuan membeli bunga untuk nyekar ke kuburan mama justru membawaku bertemu dengan bunga tercantik di hamparan aneka warna bunga yang ada di toko itu. Dengan balutan hijab pink dia terlihat begitu mempesona. Senyumannya, gerak geriknya, tangannya yang cekatan saat merangkai bunga membuat aku terlena dan melupakan dua meeting penting dengan Kepala rumah sakit dan investor baru hari itu, juga men-cancel operasi bedah kepala seorang pasien gangguan mental yang mengalami meningitis.
Malam itu potongan kisah masa lalunya hadir, aku seperti menemukan puzzle yang sedang aku kumpulkan sedikit demi sedikit untuk mengenal Hania.
Di balik tubuhnya yang menggigil ketakutan, aku bisa melihat ketegaran dan kekuatan yang tidak orang lain miliki. Cara dia diam tidak membalas setiap hinaan yang terucap, aku bisa menilai dia menjaga lisannya dan terlihat indah budi pekertinya.
Hania, kenapa semua hal yang aku inginkan ada padamu?
...***...
Pagi itu...
Masih memakai baju scrub biru, Sabil keluar kamar operasi setelah hampir enam jam berjibaku dengan alat-alat medis dan mempertaruhkan keselamatan pasien di dalam. Matanya sembab karena lelah dan menahan kantuk. Wina langsung menyongsongnya di depan pintu kamar operasi.
"Bil, gimana Hania, apa dia relapse lagi? Dimana dia sekarang?" tanya Wina
"Kamu boleh tanyakan itu setelah empat jam ke depan, aku ngantuk dan butuh istirahat." Ia terus berjalan ke ruangannya dengan langkah goyah. "Win, jam empat sore ke ruanganku!" teriaknya sambil terus berlalu hingga tubuhnya menghilang di balik pintu.
Wina berhenti mengejarnya, wajahnya tertunduk lesu dengan bahu merosot, semalam ia juga tidak bisa tidur memikirkan nasib sepupunya, juga menenangkan ibu mertuanya.
Tepat pukul empat sore yang dijanjikan, Wina mengetuk pintu ruangan Sabil.
"Masuk!"
"Apa saya mengganggu tidurmu pak Ketua?" tanya Wina basa basi.
"Duduk Win." Sabil melipat sajadahnya setelah melaksanakan sholat Ashar lalu menghampiri Wina, duduk di depannya. "Bagaimana kondisimu? Apa kamu baik-baik saja?"
Wina tertunduk, kacamata tebalnya mengembun, tidak berapa lama bahunya bergetar karena terisak. "Kamu orang pertama yang menanyakan kabarku setelah kejadian semalam. Suamiku malah pergi meninggalkanku melampiaskan kekesalan dengan kumpul bersama temannya, entah dugem, minum atau ke tempat karoke, aku tidak tahu. Hanya aku yang menenangkan mamanya."
Sabil menghembuskan napas perlahan. "Maaf, Kamu bahagia dengan pernikahanmu?" tanyanya.
Wina menggeleng pelan, "aku bingung. Jika aku katakan menyerah, apa tidak terlalu cepat sementara kami baru menjalani satu tahun pernikahan."
"Kamu berhak dicintai sepenuhnya oleh seseorang yang kamu sebut suami. Jika itu tidak ada, sementara bebanmu terlalu berat, kamu hanya menggerus dirimu sendiri Wina. Selamatkan dirimu, jika di keluarga itu tidak kamu temukan kedamaian."
"Mas Wisnu memperlakukan aku hanya sebagai dokter pribadi ibunya, dia tidak mau tahu saat ibunya tantrum. Lelahku, sedihku ... "
"Dan kamu masih berpikir apa yang akan orang lain katakan jika kamu menyerah?"
"Akan aku pikirkan langkah ke depannya, Bil. Lalu bagimana Hania, apa dia terguncang?"
"Bersamaku dia akan aman. Win, siapa Danu dalam hidup Hania?" tanya Sabil.
"Hania cerita lelaki brengsek itu?"
"Bukan. Semalam sebelum aku mengantar Hania ke rumahmu, kami bertemu Danu di sebuah kedai soto. Aku tahu namanya Danu berdasarkan informasi dari tukang parkir di kedai itu, katanya dia artis sinetron ... Apa benar? Apa hubungannya dengan Hania?"
"Iya itu dulu, artis sinetron laga. Dia mantan tunangan Hania, Danu dan Khairani yang membuat Hania seperti ini, Bil. Khairani sepupu Hania dari garis keturunan mamanya, mereka ketahuan berselingkuh satu hari sebelum hari pernikahan Hania dengan Danu."
Alis Sabil bertaut, tapi ia masih mengunci bibirnya.
"Tidak hanya dikhianati, Hania ditinggalkan hutang satu milyar oleh dua manusia brengsek itu."
"Kurang aj*r!" maki Sabil. "Kenapa tidak dibawa ke jalur hukum?"
"Sudah pernah, tapi pengacara bilang karena Hania yang menandatangani hutang itu, dan dia mengakui. Awalnya karena kasian pada Danu, saat itu Danu harus membayar denda pada sebuah produk karena melanggar perjanjian kontrak. Ia terlibat jaringan obat terlarang saat syuting."
"Kasian gadis itu," gumam Sabil.
"Oiya, aku titip ini. Aku belum sempat membelikan banyak warna. Dia memutuskan memakai hijab sepulangnya dari rumah sakit kemarin. Dia baru punya satu buah hijab." Wina menyerahkan paperbag berisi tiga buah hijab pasmina.
"Oh ya? Jadi dia baru saja memakainya? Aku pikir ... Baik akan aku sampaikan titipanmu."
"Sementara aku titip Hania, sampai aku memutuskan langkah untuk kelanjutan pernikahanku, Bil."
"Baik, jangan khawatirkan itu."
Hari itu, waktu pulang kantor adalah waktu yang sangat Sabil tunggu, karena ada seseorang yang menjadi tujuannya untuk pulang. Perjalanan dua jam Jakarta-Bogor, tidak menyurutkan semangatnya untuk memacu kendaraannya sendiri, tanpa supir atau asisten pribadinya.
Membuka pintu adalah hal yang mendebarkan bagi Sabil malam itu, suara canda ringan dan tawa kecil dari bude Sunti dan Hania menyambut kepulangannya. Rumah lebih hidup dan ber-melodi. Hilang semua lelah dan penat saat Hania kembali tersenyum dan menyapanya.
"Selamat malam, dok. Mari kita makan."
Kalimat sapaan itu sederhana, tapi mampu membuat matanya tidak berkedip dari wajah Hania dan jantung Sabil berdetak lebih cepat dari biasanya. Suara hatinya memerintah, 'pujilah ia agar dia tahu kamu memperhatikannya.'
"Hania, kamu cantik memakai ikat rambut pita itu," puji Sabil
Gadis itu meraba kuncir rambutnya perlahan, sambil menatap Sabil dengan penuh rasa terima kasih. "Terima kasih mas, pujiannya. Lekas ganti baju mas, kita makan. Nanti sop iga nya keburu dingin."
'Ya, moment seperti ini yang aku impikan, kehadiranku dinantikan seseorang, aku diinginkan.' gumam Sabil sambil melangkah mundur ke kamarnya.
Ketika punggungnya membentur pintu, ia baru sadar jika kakinya telah sampai di depan kamarnya, jauh dari tatapan Hania. Ia berbalik dengan kikuk karena salah tingkah sendiri. Di dalam kamar yang tertutup rapat, ia meraba dadanya yang berdetak tidak karuan. Sudut bibirnya terangkat ke atas hingga dimple di pipi kirinya begitu kentara.
"Assalamualaikum, Cinta. Engkau telah hadir di sini, di dadaku," bisiknya pada diri sendiri sambil mengelus dadanya dengan lembut.
Sabil menyempatkan mandi sebentar lalu turun ke bawah dengan memakai kaos oblong tipis dan celana training longgar. Rambutnya dibiarkan basah, beberapa tetes air masih mengalir di pelipis dan di leher karena khawatir Hania dan bude menunggu lama.
"Hmm... Harum sekali wanginya, siapa punya ide masak sop iga, bude biasanya menolak kalau aku minta dibuatkan."
"Kamu harus coba, Bil. Enak sekali rasanya," puji bude
Hania menunduk sambil mengulum senyum.
"Srupp ... Hmm ... Liar biasa, nikmat sekali! Terima kasih bude, rasanya... Woah liar biasa."
"Berterima kasihlah pada Hania, karena semua ini dia yang masak, dia yang mengulek bumbu dan semuanya," puji bude lagi.
Sabil menatap Hania dengan tatapan takjub, lalu mengangkat kedua jempolnya, "terima kasih Hania, sup ini nikmat sekali seperti masakan mamaku."
"Apa bude bilang, dia pasti suka Hania." bude menepuk punggung tangan Hania dengan lembut.
"Syukurlah kalau dokter suka." Senyum itu dikulum, ia sembunyikan dari Sabil. Ia tahu, Sabil memiliki keluarga. Tidak boleh ada perasaan liar yang tumbuh di dadanya.
Senyuman lembut yang disembunyikan Hania, sempat terlihat oleh mata Sabil yang memang selalu mencari 'harta karun' dalam diri Hania. Senyuman itu seketika memberi kehangatan di dadanya, perlahan mengusir kesepian yang sejak kecil ia rasakan.
Acara makan malam selesai, Hania membawa piring kotor ke wastafel dapur. Sabil keluar rumah untuk menyapa beberapa penjaga keamanan komplek dan berbagi rezeki. Ia lalu membawa paperbag titipan Wina yang baru saja ia ambil dari jok belakang mobilnya.
Langkahnya ia buat seringan mungkin, hingga ia berdiri di belakang Hania yang sedang mencuci piring.
"Coba tebak apa isi paperbag ini?" tanya Sabil berbisik di telinga Hania sambil menyodorkan paperbag.
"Ya Allah, dokter bikin aku kaget!" jawab Hania meremas sponge cuci piring, tubuhnya menegang karena tubuh jangkung Sabil ada di belakangnya.
Sabil mengurung tubuh Hania dengan kedua tangannya yang ia letakkan di pinggir meja wastafel. Posisi itu terlalu intim untuk sebuah hubungan dokter dengan pasiennya. Hania menggeser tubuhnya sedikit agar wajah Sabil tidak terlalu dekat dengannya.
"Dok, bisakah bergeser... A-aku takut ada yang berantakan."
"Apa yang berantakan?" tanya Sabil lirih.
'Perasaanku dok, detak jantungku!' gumam Hania dalam hatinya.
"Air dan busa cuci piringnya, dok," jawab Hania tegas dan lantang.
"Kamu janji tidak memanggilku dokter lagi," tegur Sabil
"Iya, tolong bergeser dulu ... Mas."
Sabil melepaskan Hania, ia berjalan ke ruang tengah dengan wajah tersenyum, dia tahu Hania gugup dengan tindakannya tadi.
"Hania, selesai cuci piring kita ngobrol di ruang tengah," teriak Sabil
Hania tidak menjawab, ia sibuk meredakan degup jantungnya yang baru saja berantakan karena ulah Sabil barusan.
merinding aku Thor.....😬
kenapa prabu seperti nya marah ?