Leticia Nathania yang sering di panggil Cia adalah gadis yang sangat cantik dan selalu ceria. Cia selalu di kelilingi oleh orang-orang baik yang sangat menyayanginya. Namun semuanya berubah ketika Cia terpaksa menikahi Carlo karena di jodohkan oleh almarhum kakeknya.
Awalnya Cia ragu menikah dengan Carlo karena melihat sikap pria itu yang terlihat sombong. Tapi akhirnya Cia bersedia juga menikah dengan pria itu karena orang tuanya berusaha dengan keras meyakinkannya. Orang tuanya mengatakan kalau cinta itu akan tumbuh setelah menikah.
Setelah menikah, Cia tinggal satu atap dengan mertuanya. Dan itu bukanlah hal yang mudah, terlebih mertuanya tidak menyukai kehadiaran Cia sebagai menantu.
"Cia, kamu bersenang-senang seharian di kamar dan membiarkan Ibu dan adik bekerja, maksud kamu apa?" tegas Carlo membuat Cia sangat kaget.
Pasalnya Cia yang mengerjakan semua pekerjaan rumah seharian.
Tiba-tiba saja air mata Cia menetes tanpa di minta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MartiniKeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menunggu Carlo
Setelah mengecek kamar Damian, ternyata pria itu belum tidur. Dia masih duduk di sofa dengan membawa laptop, entah apa yang dia kerjakan, Cia sendiri tidak tahu.
Dan sekarang Cia tidak langsung tidur, dia memilih menunggu Carlo pulang karena ada yang mau dia bicarakan pada pria itu.
Sampai jarum jam menunjukkan jam dua dini hari, tapi Carlo belum ada tanda-tanda akan pulang. Karena tidak kuat menahan kantuk, dia akhirnya keluar dari kamarnya untuk membuat minuman hangat.
Sekitar setengah jam kemudian, terdengar suara mobil masuk ke halaman rumah, sudah bisa dipastikan kalau itu pasti Carlo.
Cia bergegas bangun dan berjalan ke arah pintu. Begitu pintu terbuka, dia bisa melihat Carlo dengan penampilan yang cukup berantakan, dan yang membuat Cia tidak nyaman adalah bau alkohol yang begitu menyengat di indra penciumannya.
"Kamu mabuk kak?"tanya Cia sembari menatap keadaan Carlo.
"Ngapain kamu ada di sini?"
" Aku sengaja nungguin kamu, karena ada yang mau aku bicarakan."
"Saya capek mau tidur!"
"Enggak, kita ngobrol sebentar aja. Aku nggak yakin besok bisa ketemu sama kamu atau enggak."
"Apa kamu tuli? Saya bilang capek mau istirahat!"
"Tolong bantu aku kak! Aku bingung gimana jelasinnya sama keluarga aku."
Carlo Diam tidak menjawab, "Mama dan Papaku meminta agar aku membawa kakak ke rumah, kita diminta menginap di sana. Hanya satu hari saja, setelahnya biar aku yang nyari alasan lagi."
"Saya tidak bisa! Lagian mereka kan orang tuamu."
"Kak! Aku mohon sekali saja, tolong pikirkan keluargaku sedikit aja." Carlo berlalu begitu saja tanpa menjawab sedikit pun. Tapi Cia langsung menahan tangan Carlo.
"Lepas! Saya tidak peduli dengan keluarga kamu!"
"Kalau begitu ceraikan aku, lepaskan aku. Biarkan aku pergi dari rumah ini. Aku janji akan membayar hutang-hutang kakekku walaupun aku sudah pergi dari rumah ini."
"Jangan harap!"
"Baik, biar aku yang akan mengurus semuanya, kakak hanya perlu tanda tangan." Cia berlalu dan berjalan melewati suaminya, tapi giliran tangannya yang di tahan Carlo.
"Bicara apa kamu barusan? Apa kamu lupa dengan ancamanku?"ucapnya dengan sedikit geraman sudah dipastikan Carlo saat ini sedang marah, tapi Cia tidak peduli.
"Ayo bercerai! Biar aku yang mengurus perceraian kita. Aku sudah muak dengan semua ini, terlebih dengan kamu kak!" Cia menghempaskan kasar pegangan Carlo dan berbalik, tapi kembali tubuhnya di balik kasar menghadap Carlo.
Cup!
Cia membelalakkan matanya saat Carlo mencium bibirnya dengan kasar. Cia berontak, dia tidak sudi di sentuh oleh suaminya sekarang, terlebih setelah pria itu membawa seorang perempuan ke rumah ini.
Cia mendorong tubuh Carlo yang jauh lebih besar darinya. "K__kak kamu ket_mpptht" Carlo kembali membungkam bibir Cia dengan ciuman kasarnya. Dia bahkan bisa merasakan darahnya sendiri saat Carlo meneroboskan lidahnya dengan paksa ke dalam mulut Cia.
Tangis Cia pecah, dia merasa seperti dilecehkan. Alih-alih kelembutan yang suaminya berikan, justru rasa sakit yang dia dapatkan. Masih memberontak sebisanya, apalagi saat lehernya dicengkram kuat, tidak sadar kalau tubuhnya dibawa ke arah sofa, dan Cia didorong begitu saja tanpa melepaskan ciumannya.
Tangannya dikunci di atas kepalanya, nafasnya sudah melemah, Cia sudah berhenti bergerak, dia sudah pasrah, dan kepalanya pening.
Di sisi kesadarannya, Cia melihat Carlo tiba-tiba menjauh dan suara pukulan terdengar setelahnya. Cia langsung mengambil nafas sebanyak yang dia bisa, meskipun setelah pangutan itu terlepas, tidak ada perubahan sama sekali. Rasa sakit dan sesaknya masih bisa Cia rasakan.
"BRENGSEK! SIALAN LO CARLO."
Damian orang yang baru saja menarik Carlo dari atas Cia, dan dia tidak berhenti menghajarnya. Kerah kemeja yang di pakainya dia tarik, tinjunya secara beruntun melayang ke wajah Carlo.
Damian seolah gelap mata, dia tidak ada niatan untuk berhenti kalau saja Farhan tidak datang dan menghentikan aksinya, di susul dengan yang lain yang juga terkejut melihat mereka.
"Damian cukup! Kamu mau membunuh adik kamu sendiri?"
"Dia bukan adikku, dan aku tidak pernah memiliki seorang adik. Laki-laki brengsek ini memang pantas mati! Suruh anakmu ini agar segera menceraikan Ticia, kalau tidak akan aku buat hidup kalian hancur. Berani-beraninya dia menyakiti Ticia!"
Barulah mereka menyadari keberadaan Cia di atas sofa yang tidak bergerak dengan keadaan berantakan, mata sembab, dan di sekitar bibirnya terlihat darah dengan bibir yang penuh luka.
Damian langsung mendorong kursi rodanya ke arah Cia. "Ticia, bangun Ticia." Dia menepuk pipinya, pandangannya teralih pada bibir Cia yang membengkak dan di semua permukaannya yang terdapat luka. Dan leher putihnya yang memerah bekas cekikan.
"K-kak Dam-mian." Lirihnya, bahkan hampir tidak terdengar.
"Ticia, ini kak Damian, bangun sayang. Mana yang sakit?"ucapnya tanpa sadar, bahkan Cia pun tidak menyadarinya.
"Sa-kit kak." Kata yang Ticia ucapkan tidak sedikitpun menggerakkan bibirnya, bahkan bibirnya tidak tertutup dengan tarikan nafas yang terdengar berat.
Damian langsung memindahkan Cia ke pangkuannya, dan memeluknya erat.
Pandangannya beralih pada semua orang dan berhenti pada seseorang.
"Pak Udin, tolong bantu dorong ke kamar saya sekarang. Dan bibi tolong panggilkan dokter dan langsung antarkan ke atas, CEPAT!"
"Baik, Tuan."
Pak Udin langsung maju dan mendorong sesuai perintah dari Damian. Saat melewati keluarganya, Damian bahkan tidak menoleh sedikit pun, pandangannya hanya tertuju pada Cia.
Wajah Damian di penuhi amarah, rahang yang mengetat tapi tidak dengan matanya yang memancarkan kesedihan. Siapa yang akan baik-baik saja saat melihat gadis yang disukainya terluka.
"Ticia, apa kamu dengar suara kakak?" tanya Damian tampak sangat khawatir.
Cia mengangguk meski matanya masih terpejam. Damian merasakan dadanya basah, sudah pasti Cia menangis saat ini, Damian semakin mengeratkan pelukannya, mengecup kepala Cia berkali-kali.
Pak Udin yang mendorong kursi roda sangat terharu menyaksikan adegan romantis di depannya.
Sampai di dalam kamar, Damian langsung memindahkan Cia ke atas kasurnya di bantu oleh Pak Udin, setelahnya dia langsung berpamitan dan bergegas meninggalkan dua orang tersebut.
Damian menaiki kasur, berbaring di samping Cia dan menariknya ke dalam pelukannya.
"Kak Damian."
"Iya Ticia, kenapa hm?"
"Kak Carlo sangat jahat."
"Kakak tau, dia sudah dapat balasannya. Kakak minta maaf karena terlambat menolongmu."
"Aku mau pisah sama dia kak, tapi dia tidak mau, bahkan dia mengancamku. Aku benci sama dia, aku nggak mau ketemu dia lagi, aku nggak mau punya hubungan apa-apa lagi sama kak Carlo." Cia kembali terisak, tubuhnya bergetar hebat. "A-aku takut sama kak Carlo, kak."
"Maaf, Ticia. Kamu seperti ini karena kakak datang terlambat. Ini semua salah kakak."
Damian merasakan kepala Cia menggeleng masih dengan tangisannya, yang membuat Damian menjadi semakin merasa bersalah.
Terima kasih ya krn sudah mampir, jangan lupa like dan komentarnya ya kakak2, biar author tambah semangat nulisnya😊