Winda Hapsari, seorang wanita cantik dan sukses, menjalin hubungan kasih dengan Johan Aditama selama dua tahun.
Sore itu, niatnya untuk memberikan kejutan pada Johan berubah menjadi hancur lebur saat ia memergoki Johan dan Revi berselingkuh di rumah kontrakan teman Johan.
Kejadian tersebut membuka mata Winda akan kepalsuan hubungannya dengan Johan dan Revi yang ternyata selama ini memanfaatkan kebaikannya.
Hancur dan patah hati, Winda bersumpah untuk bangkit dan tidak akan membiarkan pengkhianatan itu menghancurkannya.
Ternyata, takdir berpihak padanya. Ia bertemu dengan seorang laki-laki yang menawarkan pernikahan. Seorang pria yang selama ini tak pernah ia kenal, yang ternyata adalah kakak tiri Johan menawarkan bantuan untuknya membalas dendam.
Pernikahan ini bukan hanya membawa cinta dan kebahagiaan baru dalam hidupnya, tetapi juga menjadi medan pertarungan Winda.
Mampukah Winda meninggalkan luka masa lalunya dan menemukan cinta sejati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
09
Winda melangkah keluar dari apartemennya, setelah mendapat panggilan telepon dari Ardan yang mengatakan bahwa pria itu sudah menunggu di halaman parkir. Winda merasakan sinar matahari pagi yang hangat menyentuh kulitnya. Dia berusaha menyingkirkan keraguan yang terkadang bercokol dalam hatinya. Ia telah sepakat dengan Ardan , dan itu akan terjadi.
Di sisi lain, Ardan sudah berada di mobilnya, menatap jalanan dengan tatapan kosong. Kenangan akan masa lalu dan rasa dendam yang membara dalam dirinya membuat setiap detak jantungnya terasa berat. Suara pintu tertutup kencang di sampingnya membuyarkan lamunannya. Ia terkejut winda sudah duduk di kursi penumpang. Segera ia memutar kunci kontak, dan terdengar bunyi mesin yang halus.
Perjalanan menuju rumah orang tua Winda terasa lebih panjang. Hanya kesunyian yang ada di antara mereka.
“Dia bahkan tidak bertanya di mana rumah Papa dan Mama, apa dia benar-benar sudah tahu?” Winda mulai bergulat dengan pikirannya. “Ah tapi waktu itu dia juga tahu alamat apartemen ku tanpa bertanya. Dia juga tahu hubungan antara Johan dan Revi. Apa selama ini dia sudah menyelidiki tentang aku?”
***
Sementara itu di sebuah perusahaan besar. Perusahan yang terlihat megah dan besar dari luar. Tanpa seorangpun tahu, di dalamnya nyaris tinggal cangkang kosong.
Di dalam salah satu ruangannya, di lantai paling atas, seorang pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih di pelipis, sedang mengamuk. Pria itu adalah Gunawan Aditama, papanya Johan, sekaligus mantan papa tiri Ardan.
Berkas-berkas laporan keuangan beterbangan seperti burung-burung yang ketakutan, tersebar di atas meja dan terjatuh berserak di atas lantai. Wajahnya memerah, urat-urat di lehernya menegang. Suara bentakannya menggema, mengalahkan deru mesin pendingin ruangan yang bekerja keras.
"Turun! Kenapa bisa turun terus? Apa yang kalian lakukan?! Saya bayar kalian bukan untuk melihat perusahaan ini bangkrut!" teriaknya, suara serak menahan amarah.
Sofia, seorang wanita muda yang merupakan sekretaris nya berdiri dengan wajah pucat pasi, hanya bisa tertunduk, tangannya gemetar memegang pulpen. Ia telah bekerja di perusahaan ini selama lima tahun, dan belum pernah melihat Tuan Gunawan semarah ini.
"Tuan… kami sudah berusaha semaksimal mungkin…" ucap Sofia, suaranya hampir tak terdengar.
"Usaha?! Usaha apa?! Hanya usaha yang sia-sia! Lihat ini! Penjualan terus merosot! Saingan kita semakin agresif! Kalian semua tidak becus!" Gunawan Aditama membanting pulpen ke meja, suaranya menggelegar. Ia berjalan mondar-mandir, langkah kakinya berat dan penuh amarah.
Bayangan-bayangan masa depan yang suram menghantuinya. Kejayaan perusahaan yang dulu ia rebut dengan susah payah dari tangan Urmila, kini berada di ujung tanduk. Ia merasa tercekik, terhimpit oleh tekanan yang tak tertahankan.
“Sebenarnya,,, “ Sofia menggantung ucapannya.
“Apa? Katakan dengan jelas!”
Sofia mengambil nafas sebelum berbicara. “Ada kemungkinan ini terjadi karena pesaing baru. Sebuah perusahaan besar yang tiba-tiba saja muncul. Mereka memproduksi produk yang sama dengan perusahaan kita, dengan kualitas lebih bagus dan harga lebih terjangkau. Itu membuat distributor yang sebelumnya mengambil barang-barang di perusahaan kita kemudian berubah haluan.” Sofia menjelaskan apa yang terjadi di lapangan.
“Apa??” Gunawan terbelalak marah. Beberapa bulan ini dia memang mendengar desas-desus tentang perusahaan baru itu. Tapi ia tidak menyangka munculnya perusahaan itu akan memberikan imbas yang buruk pada perusahaannya.
“Kurang ajar! Selidiki tentang perusahaan itu! Aku mau informasi yang akurat secepatnya!”
“Baik Tuan.” Sofia menunduk, membereskan berkas-berkas yang berserakan, mengembalikannya di atas meja, lalu undur diri. Wanita itu mengusap dada dan menghapus peluh yang membanjiri keningnya begitu berada di luar ruang CEO.
“Entah kenapa aku merasa Bagaskara Grup seperti memang sengaja didirikan untuk menjadi pesaing perusahaan ini.” Sayangnya, Sofia hanya berani berbicara dalam hati.
Sementara itu di dalam ruang CEO, “Bagaskara grup? Kenapa aku seperti familiar dengan nama itu? Di mana Aku pernah mendengarnya?” Gunawan mengetuk-ngetuk dagunya mencoba untuk mengingat sesuatu yang barangkali terlewat.
***
Matahari telah hampir tenggelam ketika mobil yang dikemudikan oleh Ardan sampai di kota tempat tinggal kedua orang tua Winda. Ini mobil itu telah terparkir di depan gerbang rumah yang terbilang mewah.
“Kau siap?” tanya Ardan, matanya melirik ke arah Winda yang tengah meremas kedua tangannya. Ia bisa melihat bahwa Wanita itu sedang gugup.
Winda mengangguk, meskipun ragu. “Aku... aku siap,” jawabnya, suaranya bergetar. Mengambil nafas dalam kemudian membuka kaca jendela, “Buka gerbangnya pak!” ucapnya ketika seorang penjaga pintu mendekat.
“Non Winda?” Penjaga itu tergagap ketika menyadari yang datang adalah Nona muda mereka.
Winda mengangguk dan tersenyum, lalu penjaga itu pun segera membuka gerbang. Satu diantara mereka melaporkan kedatangan nona mudanya lewat intercom.
Ardan menarik kembali tuas mobil, dan melaju masuk ke dalam halaman yang luas.
Ketika mereka tiba, pintu rumah terbuka dan mama serta papa Winda sudah menunggu.
“Sayang,,, Mama kangen.” Seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah nyonya Karina memeluk dan mencium pipi Winda bertubi-tubi.
“Kemarin, mamamu mau mengajak Papa untuk menengok mu di kota sebelah, kalau kamu tidak mengabarkan akan pulang hari ini.” Tuan Raditya Kusuma, ikut membelai kepala putrinya.
“Mama, Papa, Winda juga kangen.” Winda berusaha menjaga nada suaranya tetap ceria meskipun hatinya berdebar. Ardan berdiri di samping, merasakan kehangatan keluarga Winda,
Sambutan dan senyum hangat di wajah mereka membuat Winda merasa bahagia. Namun, saat tatapan orang tuanya beralih ke Ardan, keraguan kembali menggelayuti pikirannya.
“Dan, siapa ini?” tanya papa Winda, pria paruh baya itu tampak memperhatikan Ardan dari atas sampai bawah.
“Saya Ardan, Tuan. Teman Winda,” Ardan mengulurkan tangannya. “Saya datang untuk bertemu dengan Anda.” Suaranya terdengar tegas dan percaya diri.
Tuan Raditya pun menerima uluran tangan Ardan kemudian mengajak mereka untuk segera masuk ke dalam.
***
“Emm, Ma, Pa. Sebenarnya , ada yang ingin kami bicarakan.” Winda memulai percakapan setelah beberapa saat melepas rindu.
“Ada apa, nak?” Tuan Raditya menatap mereka berdua dengan serius.
Winda menatap Ardan, meminta dukungan. Ardan meraih tangannya, memberikan semangat.
“Saya, Ardan Bagaskara. Dan kedatangan saya ke sini adalah untuk melamar Putri Tuan.” Ardan menyampaikan maksudnya tanpa ragu.
Suasana mendadak berubah. Mama Winda terdiam, sementara papa Winda mengernyitkan dahi. Sekali lagi pria itu memperhatikan wajah Ardan yang tampak tak sedikitpun menyimpan keraguan. “Ada sesuatu yang tak biasa dengan pemuda ini. Ia tidak seperti penampilannya yang sederhana. Apakah dia Bagaskara yang sama?”
“Kami saling mencintai, Tuan.” Ardan menambahkan.
“Apa kau benar-benar yakin?” Tuan Raditya menoleh ke arah putrinya. “Kalian tahu, menikah bukanlah hal yang bisa dianggap remeh. Ini tentang masa depan,” kata papa Winda.
Winda merasakan ketegangan di udara. “Aku tahu, Pa. Tapi aku merasa sudah siap. Ardan baik untukku.”
Setelah beberapa saat hening, mama Winda akhirnya berbicara. “Kami tidak bisa memutuskan begitu saja. Berikan kami waktu untuk berpikir.”
Ardan menahan napas dan mengangguk. Ia tahu tak mudah membangun kepercayaan sebelum di mata orang tua Winda.
.
nama fans nya udah bisa di ganti tuhh..kali aja mau di ganti ArWa🤭 Ardan dan winda
mana mau winda mungut sampah yg sudah dibuang/Right Bah!/
🤔
kalo tuan bagaskara dan nyonya.. berasa terpisah