Ini adalah kisah tentang Asmara, seorang pramugari berusia 25 tahun yang meniti karirnya di atas awan, tiga tahun Asmara menjalin hubungan dengan Devanka, staf bandara yang karirnya menjejak bumi. Cinta mereka yang awalnya bagai melodi indah di terminal kedatangan kini hancur oleh perbedaan keyakinan dan restu orang tua Devanka yang tak kunjung datang. dan ketika Devanka lebih memilih dengan keputusan orangtuanya, Asmara harus merelakannya, dua tahun ia berjuang melupakan seorang Devanka, melepaskannya demi kedamaian hatinya, sampai pada akhirnya seseorang muncul sebagai pilot yang baru saja bergabung. Ryan Pratama seorang pilot muda tampan tapi berwajah dingin tak bersahabat.
banyak momen tak sengaja yang membuat Ryan menatap Asmara lebih lama..dan untuk pertama kali dalam hidupnya setelah sembuh dari rasa trauma, Ryan menaruh hati pada Asmara..tapi tak semudah itu untuk Ryan mendapatkan Asmara, akankan pada akhirnya mereka akan jatuh cinta ?
selamat membaca...semoga kalian suka yaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Begitu keluar dari ruang makan kru, langkah Ryan langsung tegap menyusuri koridor hotel.
Asmara yang masih terkejut hanya bisa mengikutinya dari belakang, tanpa sepatah kata pun.
Langkah pria itu cepat dan pasti, membuat Asmara sedikit berlari kecil agar tidak tertinggal.
“Ryan…” panggilnya pelan, tapi pria itu tidak langsung menjawab.
Ia baru berhenti ketika sampai di balkon terbuka di lantai dua, tempat yang sepi, dengan pemandangan laut Batam di kejauhan.
Angin sore berhembus lembut, membawa aroma asin laut dan suara ombak samar.
Ryan memutar tubuhnya, menatap Asmara dengan ekspresi yang sulit dibaca. Antara marah, kesal, tapi juga… melindungi.
Asmara menatap balik, dadanya masih bergemuruh. “Kenapa kamu melakukan itu?” suaranya lirih, nyaris bergetar.
Ryan menghela napas panjang. “Karena aku sudah cukup muak melihat orang-orang memperlakukanmu seolah kamu salah.”
“Tapi kamu nggak perlu sampai mengumumkan kalau kita pacaran sungguhan. Itu kan cuma kesepakatan, Ryan. Cuma pura-pura,” ucap Asmara cepat, suaranya terdengar gugup.
Ryan menatapnya tajam. “Kamu pikir aku cuma pura-pura tadi?”
Asmara terdiam, menatap mata Ryan yang begitu serius.
Ryan melangkah mendekat, membuat jarak di antara mereka kian menipis.
“Mara, kamu tau…” suaranya menurun, lebih pelan tapi tegas. “Setiap kali aku lihat mereka menatapmu dengan tatapan merendahkan, aku ngerasa nggak tenang. Aku nggak bisa diem aja.”
Asmara menggigit bibir bawahnya. “Tapi sekarang semua orang pasti makin percaya kalau kita—”
“Biarkan saja,” potong Ryan cepat. “Kalau dengan begitu mereka berhenti menyakitimu, aku nggak peduli.”
Asmara memalingkan wajah, berusaha menutupi rasa gugupnya.
Ryan menarik napas dalam-dalam, lalu bersandar sebentar di pagar balkon. “Aku tahu ini mungkin berlebihan. Tapi aku nggak mau kamu terus disalahin atas hal yang bahkan bukan kesalahanmu.”
Asmara menatap Ryan lama, matanya lembut. “Kamu berubah, ya. Biasanya kamu dingin banget.”
Ryan melirik singkat, ada senyum tipis di ujung bibirnya. “Jangan salah paham dulu. Aku tetap dingin. Cuma… sekarang aku tahu siapa yang pantas aku hangatin.”
Asmara tertegun. Kata-kata itu terlalu mudah diucapkan, tapi caranya menatap membuat semuanya terasa sungguh-sungguh.
“Ryan…” suaranya pelan, hampir tak terdengar.
Namun sebelum ia sempat melanjutkan, Ryan sudah menunduk sedikit, menatapnya dalam-dalam. “Kamu nggak perlu takut. Selama aku di sini, nggak ada yang bakal berani ngerendahin kamu lagi.”
Asmara menatap matanya beberapa detik, dan untuk sesaat, semua rasa canggung, marah, dan bingung yang ia rasakan lenyap begitu saja.
Yang tersisa hanyalah degup jantung yang semakin cepat, dan tatapan Ryan yang terlalu sulit untuk dihindari.
Suasana hening beberapa saat, sebelum Ryan akhirnya berkata pelan,
“Besok pagi kita berangkat lagi ke Jakarta. Setelah itu, aku pengen kamu istirahat. Jangan peduliin omongan orang.”
Asmara hanya mengangguk. “Iya.”
Ryan menatapnya sebentar, lalu berbalik pergi. Tapi sebelum benar-benar melangkah menjauh, ia menoleh lagi dan berkata singkat,
“Dan Asmara…”
Asmara menatapnya penuh tanya.
Ryan tersenyum samar. “Mulai sekarang, kalau ada yang tanya hubungan kita… kamu jawab aja kayak yang aku bilang tadi. Kita officially together.”
Asmara terdiam, jantungnya kembali berdebar tak karuan.
Ryan meninggalkannya di balkon, sementara dirinya hanya bisa menatap punggung pria itu, bingung, senang, sekaligus takut dengan perasaan yang mulai tumbuh tanpa ia sadari.
...♡...
Setelah kepergian Ryan dan Asmara, di ruang makan hotel itu lebih tenang, Suara dentingan gelas kopi terdengar nyaring.
Olivia duduk di sudut ruangan, wajahnya merah padam menahan emosi. Tangan kanannya mengepal di atas meja, sementara mata tajamnya menatap layar ponsel, menampilkan foto Ryan dan Asmara di tepi pantai Bali yang kini tersebar di grup awak kabin.
“Gila…” gumamnya pelan tapi penuh amarah. “Selama ini aku pikir dia cuma jaga jarak karena profesional. Ternyata… dia milih pramugari senior itu?”
Ia mendesis pelan, lalu melempar ponselnya ke meja.
Beberapa pramugari lain yang berada di ruangan pura-pura sibuk, tapi diam-diam mencuri pandang, mereka tahu Olivia sedang kesal luar biasa.
Sinta, salah satu teman dekatnya, berusaha menenangkan. “Liv, udah deh… mungkin mereka emang beneran cocok.”
“Cocok?!” Olivia menatapnya tajam. “Asmara itu memang pramugari senior di sini, Sin. Dan Kapten Ryan pilot yang baru beberapa bulan bergabung, tapi Asmara udah bisa dapet perhatian kapten Ryan. Kamu tahu sendiri, Kapten Ryan itu nggak pernah deket sama siapa pun sebelumnya!”
Nada suaranya meninggi, membuat beberapa kepala di ruangan itu menoleh. Tapi Olivia tidak peduli.
Ia sudah terlalu kesal, campuran antara cemburu, gengsi, dan rasa ditolak yang menyesakkan dada.
Sinta menunduk, berusaha tersenyum kaku. “Ya mungkin Asmara punya sesuatu yang beda aja…”
“Beda apanya?” potong Olivia sinis. “Dia polos? Lembut? Sok-sok kalem gitu? Ah, aku nggak percaya. Pasti dia ada maksud. Pasti dia sengaja deketin Kapten Ryan buat naik posisi, atau biar nama dia aman setelah gosip sama Devanka itu!”
Kalimat itu meluncur tajam, penuh rasa iri.
Olivia meraih cangkir kopinya, meneguk seteguk dengan kasar, lalu menatap pantulan dirinya di permukaan meja.
“Selama ini aku yang selalu berusaha nunjukin perhatian ke Kapten Ryan…” gumamnya lirih, tapi jelas terdengar oleh Sinta. “Aku yang selalu bawa kopi ke kokpit, yang bantuin briefing kalau dia sibuk. Tapi dia? Dia bahkan nggak pernah lihat aku sedikit pun.”
Sinta menarik napas panjang. “Liv, mungkin kamu harus relain. Jangan bikin ini keliatan kayak kamu iri—”
“Aku nggak iri!” sergah Olivia cepat, meski matanya berkilat penuh amarah.
“Tapi aku nggak bisa terima begitu aja. Aku pengen tahu… apa yang bikin dia bisa membuat Ryan terpikat.”
Ia menatap foto Asmara di ponselnya, menatap tajam seolah ingin menembus layar.
Senyum lembut gadis itu terasa seperti ejekan baginya.
“Baiklah, Asmara,” bisiknya pelan tapi beracun. “Kita lihat… sampai kapan kamu bisa pertahankan status itu. Ryan bukan tipe pria yang gampang ditaklukkan. Dan aku nggak akan diam aja.”
Sinta memandangnya khawatir. “Liv, jangan lakukan hal yang bodoh.”
Olivia meneguk napas dalam-dalam, menegakkan punggungnya. “Tenang aja. Aku cuma pengen buka mata semua orang, siapa sebenarnya Asmara itu.”
Ia meraih tasnya, berdiri anggun namun penuh dendam, lalu meninggalkan ruang kru dengan langkah berderap.
Sinta hanya bisa menatap punggung sahabatnya itu dengan cemas, karena dari nada suara dan tatapan Olivia, ia tahu satu hal pasti: ini belum berakhir. Namun apapun yang akan di lakuan Olivia, pasti akan berakhir dengan kehancurannya sendiri.
----
Di ruang tunggu klinik bersalin yang beraroma lembut vanilla, Devanka duduk di samping istrinya, Riska, yang tengah memegang hasil USG sambil tersenyum.
Namun tatapan Devanka justru kosong, terpaku pada layar ponsel di tangannya, berita internal maskapai yang menampilkan foto Ryan dan Asmara waktu di bali, dengan tulisan tebal di bawahnya:
> “Kapten Ryan Pratama resmi mengumumkan hubungannya dengan pramugari SkyAir, Asmara Kinara.”
Rahangnya mengeras. Jemarinya mengepal di atas lutut.
Ia menatap foto itu dalam-dalam, Ryan terlihat tenang, sementara Asmara tersenyum lembut di sampingnya.
Senyum yang dulu sering ia lihat setiap kali mereka bersama, sebelum semuanya hancur.
“Dev… kamu dengerin aku nggak, sih?” suara Riska memecah lamunannya.
Devanka tersentak, buru-buru mematikan layar ponselnya dan menoleh. “Iya, sayang, aku dengerin kok.”
“Dengerin apanya? Dari tadi aku cerita tentang kondisi bayi kita, tapi kamu malah bengong terus.” Nada Riska mulai meninggi, matanya menatap tajam ke arah suaminya. “Ada apa, Dev? Kamu aneh banget akhir-akhir ini.”
Devanka mencoba tersenyum, tapi senyum itu terasa kaku. “Nggak ada apa-apa, cuma lagi kepikiran kerjaan aja.”
“Kerjaan? Atau Asmara ?” sindir Riska dengan nada tajam.
Devanka langsung menegang. “Kamu ngomong apa, sih?”
Riska menyilangkan tangan di dada, matanya menyipit. “Aku lihat cara kamu liatin ponsel barusan. Wajah kamu berubah. Jangan bilang kamu masih mikirin—”
“Cukup, Riska !” potong Devanka cepat, kali ini suaranya lebih keras dari biasanya.
Beberapa orang di ruang tunggu menoleh, membuat Riska malu setengah mati.
Riska memalingkan wajahnya, menatap ke arah lain dengan mata berkaca-kaca. “Aku lagi hamil anak kamu, Dev. Tapi kenapa kamu malah kayak nggak di sini? Hatimu entah di mana…”
Devanka terdiam. Ada sesak yang menekan dadanya, tapi bukan karena rasa bersalah, melainkan karena nama Asmara terus berputar di kepalanya.
Ia teringat bagaimana gadis itu dulu memohon agar dirinya bertahan, bagaimana tatapannya penuh luka saat tahu Devanka sudah menikah.
Dan sekarang… dia sudah bersama orang lain.
Bukan sekadar orang lain, Kapten Ryan Pratama, pilot tampan, berwibawa yang dikenal banyak wanita di maskapai itu.
Sosok yang punya segalanya, karier yang bagus, ketenangan, dan kini, Asmara.
“Apa yang dia lihat dari Ryan?” gumamnya lirih, tanpa sadar.
Riska menoleh cepat, wajahnya memerah menahan marah. “Kamu barusan bilang apa?”
Devanka tersadar, buru-buru berdiri. “Aku… aku keluar sebentar, ya. Mau ambil air.”
“DEVANKA!” seru Riska keras, tapi pria itu sudah melangkah cepat keluar ruangan, meninggalkan istrinya yang menatap penuh kekecewaan.
Begitu sampai di luar, Devanka menyandarkan tubuhnya di dinding koridor rumah sakit.
Napasnya berat, pikirannya kalut.
Ia membuka ponselnya lagi, menatap foto Ryan dan Asmara. Tatapannya berubah tajam.
“Asmara, jangan pikir aku akan menyerah...” gumamnya pelan, nada suaranya mulai dingin. “Kamu pikir aku bakal diem aja ngeliat kamu sama dia?”
Ia menyeringai samar, senyum yang lebih menyeramkan daripada tenang.
“Kalau Ryan mau merebutmu dariku, kita lihat… seberapa kuat dia bisa melindungi kamu.”
...✈️...
...✈️...
...✈️...
^^^Bersambung....^^^