Ketika cinta pertama kembali di waktu yang salah, ia datang membawa hangatnya kenangan sekaligus luka yang belum sembuh.
Nora tak pernah menyangka masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam muncul lagi, tepat saat ia telah memulai kisah baru bersama Nick, pria yang begitu tulus mencintainya. Namun segalanya berubah ketika Christian—cinta pertamanya—kembali hadir sebagai kakak dari pria yang kini memiliki hatinya.
Terjebak di antara masa lalu dan cintanya kini, sanggupkah Nora memilih tanpa melukai keduanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yellow Sunshine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Festival Musim Gugur dan Kenangan Baru
Daun-daun mulai berubah warna, menguning dan kemerahan, menari pelan tertiup angin dingin khas musim gugur yang baru saja tiba di akhir bulan September. Aroma tanah basah dan dedaunan kering memenuhi udara pagi ini di University of Florida. Setelah kelas yang cukup melelahkan, aku dan Nina keluar dari gedung fakultas bisnis, melangkah bersama menuju halaman depan yang cukup ramai, dipenuhi oleh para mahasiswa.
"Hei! Lihat siapa yang sudah menunggu!", seru Nina sambil menunjuk ke arah mobil sedan yang terparkir rapi di bawah pepohonan besar di depan sana. Tampak sosok Nick yang tengah berdiri di samping mobilnya, mengenakan jaket wol berwarna cokelat tua dan celana jeans yang membuatnya terlihat santai tapi tetap menarik perhatian.
Hatiku berdegup kencang saat menghampirinya. "Hai, Nick!", sapaku.
"Hai, Nora!", balas Nick , sambil tersenyum hangat. Lalu, ia menyapukan pandangan ke arah Nina yang berdiri tepat di sebelahku. "Hai, Nina!", sapanya.
"Hai, Nick! Mau meminjam temanku lagi?", tanya Nina, sambil tersenyum menggoda.
"Ya, kalau kamu tidak keberatan, Nina. Aku ingin mengajaknya ke festival musim gugur."
Aku mengerutkan dahi sambil menatap Nick. "Festival musim gugur?", tanyaku, memastikan.
"Ya, Nora. Kamu pasti akan menyukainya. Kamu bisa bergabung dengan kami kalau kamu mau, Nina!"
Nina menggelengkan kepala, lalu mengedikkan bahu. "Tidak, terimakasih, Nick. Aku tidak ingin mengganggu kencan kalian. Lagipula aku sudah ada janji dengan kekasihku. Kalau begitu aku pergi dulu!", kata Nina, lalu beranjak pergi meninggalkan kami.
"Ayo!", ajak Nick, membukakan pintu mobil untukku, sambil tersenyum.
Nick melajukan mobilnya menuju festival musim gugur yang katanya akan diadakan di taman kota, yang berjarak tidak terlalu jauh dari kampus. Setibanya disana, suasana meriah langsung menyambut kami. Lampu-lampu warna-warni menghiasi sepanjang jalan, suara akustik mengalun lembut, dan aroma manis dari karamel dan apel panggang menggoda indera penciumanku.
Nick menggenggam tanganku erat saat kami menyusuri kerumunan. "Festival masa gugur ini selalu mengingatkanku pada kenangan masa lalu bersama kakakku dan orang tuaku.", katanya tiba-tiba. "Dan, ini adalah kali pertama aku pergi ke festival musim gugur lagi, semenjak Ayah dan Ibu pergi. Dulu, kami sering menyempatkan pergi ke festival musim gugur seperti ini. Kami bermain, mencoba berbagai makanan dan tertawa sepanjang malam."
Aku menoleh padanya, menatap semburat kesedihan di wajahnya. "Kamu merindukannya?"
Nick menarik nafas panjang, sebelum menjawab pertanyaanku. "Ya. Sangat. Itu adalah salah satu kenangan indah yang kumiliki bersama mereka. Tapi, kini saat mengingatnya justru terasa begitu menyakitkan."
Aku tersenyum lembut. "Kalau begitu, aku akan membantumu membuat sebuah kenangan baru yang indah, bersama. Bagaimana?"
Mata kami saling bertemu, dan aku melihat sebuah harapan di dalam tatapan mata Nick. "Aku menyukainya.", jawabnya lirih.
Aku menarik tangan Nick, sambil tersenyum lebar. Membawanya menuju beberapa stan untuk mencoba berbagai makanan manis, dari pumpkin pie hangat hingga minuman apel dan kayu manis yang mengepul. Tawa kami saling bertukar di bawah langit malam yang mulai gelap. Bintang-bintang di atas sana seolah menjadi saksi bisu kebahagiaan kami malam ini.
Di bawah cahaya lampu kuning temaram, kami saling menatap dalam diam yang penuh arti. Saat musik mulai berganti menjadi lagu romantis, Nick menarikku lebih dekat. "Terimakasih, Nora. Kamu sudah membuat hidupku jauh lebih indah.", bisiknya.
Perlahan, Nick mengangkat tangannya, menyentuh lembut pipiku sambil tersenyum. Bibir kami bertemu dalam ciuman yang hangat dan penuh kasih, seolah-olah musim gugur membawa kehangatan yang selama ini hilang dalam hidup kami.
Ciuman itu bukan sekadar gerakan bibir, melainkan untaian perasaan yang begitu dalam dan hangat. Lidahnya membut menyentuh bibirku, seolah menghapus segala rasa ragu dan kesepian yang pernah kurasakan. Detak jantung kami berdentang selaras, dan sekeliling seperti berhenti sesaat hanya untuk memberi ruang pada kebahagiaan kami.
Rasa dingin musim gugur hilang dalam kehangatan pelukannya. Aku membalas ciumannya dengan sepenuh hati, membiarkan perasaan kami mengalir bebas dalam tiap sentuhan dan tarikan nafas. Rasanya seperti... dunia hanya milik kami berdua.
Setelah itu, kami duduk di bangku taman yang sedikit tersembunyi, saling berbagi kisah—suka dan duka. Nick menceritakan tentang bagaimana ia pernah merasa begitu bahagia bersama kakaknya dan kedua orang tuanya. Ia juga menceritakan betapa ia merasa begitu menyesal atas perbuatannya yang membuat hubungan dengan kakaknya menjadi tidak begitu baik seperti saat ini. Ia merindukan sosok kakaknya yang hangat seperti dulu. Ia merindukan kebersamaan mereka. Dan, ia berharap suatu hari nanti hubungan mereka bisa kembali sepert dulu lagi.
Aku menggenggam kedua tangannya. Berusaha menguatkannya, memberinya semangat dan sedikit tempat untuk bersandar. Selama ini Nick sudah melewati semua itu sendiri—dalam diam, dalam sepi. Dan, mulai saat ini aku berjanji akan selalu ada di sisinya untuk menggenggam tangannya dan melewati semua itu bersama
"Nick, sebenarnya aku juga memiliki sebuah kenangan masa lalu yang selama ini membuatku harus menutup hati. Bahkan saat bertemu denganmu, dan saat aku merasakan sesuatu padamu. Aku berusaha untuk menyangkal perasaan itu. Tapi, ternyata perasaan itu terlalu besar untuk diabaikan. Jadi, aku melawan bayangan kenangan masa lalu itu, membuka hati dan membuat kenangan yang baru", jelasku.
Sejak tadi aku berpikir, mungkin inilah waktu yang tepat untuk jujur pada Nick tentang kenangan masa laluku. Aku tidak ingin lagi menyembunyikan apapun darinya.
"Jika itu terlalu berat untuk menceritakannya, tidak apa-apa, Nora. Kamu bisa menyimpannya.", kata Nick, menatapku lekat.
"Tidak, Nick. Aku tidak ingin menyembunyikan apapun darimu, termasuk tentang kenangan masa lalu itu."
"Apa kamu akan baik-baik saja, Nora?"
"Aku memilikimu sekarang, Nick. Jadi, kurasa aku akan baik-baik saja."
Nick mengangguk pelan. "Jika dengan mengatakannya akan membuatmu merasa lebih baik, maka katakanlah semuanya, Nora!"
Aku menarik nafas dalam-dalam, sebelum menceritakan tentang kenangan masa lalu itu pada Nick.
"Dulu, saat aku masih duduk di bangku SMA, di tahun pertama, aku pernah memiliki sebuah hubungan dengan seorang laki-laki. Dia sama populernya denganmu di sekolah, baik, dan juga hangat. Saat itu, aku adalah seorang siswi kutu buku, pendiam, dan sangat membosankan. Aku tidak memiliki teman atau seorang pun yang dekat denganku, hingga laki-laki itu datang dan mengubah duniaku. Tentu saja aku jatuh cinta padanya, menganggapnya sebagai sosok pahlawan, sosok yang sempurna, karena berhasil membuat hidupku jauh lebih menarik dari sebelumnya. Singkat cerita, kami akhirnya memulai sebuah hubungan, yang indah, hangat dan luar biasa pada awalnya. Dan, saat aku sudah jatuh cinta terlalu dalam padanya, dia tiba-tiba menghilang begitu saja. Aku yang terlalu naif saat itu tetap berusaha mencari kemana ia pergi dan berharap ia akan kembali suatu saat nanti. Hingga harapan dan perasaanku padanya saat itu perlahan justru menghancurkanku, membuatku terpuruk dan terlihat menyedihkan.", jelasku panjang lebar, sambil berusaha menjaga emosiku agar tetap tenang di depan Nick.
"Nick, aku memiliki trauma dalam sebuah hubungan. Dan, meskipun saat ini aku sudah mampu membuka hati dan mencintaimu, tapi percayalah bahwa luka itu belum sembuh sepenuhnya. Aku masih terus berusaha.", lanjutku.
Nick menatapku dengan tatapan pilu. Ia membelai wajahku, hangat dan lembut. "Nora, aku tahu mungkin tidak mudah untuk menyembuhkan luka itu. Tapi, aku akan membuktikan bahwa cintaku berbeda, tidak akan pernah menyakitimu seperti itu.", katanya, lalu menggenggam kedua tanganku.
"Aku mungkin tidak bisa menjanjikanmu untuk selalu bahagia. Tapi, aku berjanji kita akan melewatinya bersama, Nora. Aku tidak akan meninggalkanmu, bahkan melepas tanganmu sekalipun."
Aku terdiam, terenyuh akan setiap kata yang Nick ucapkan. Aku bisa melihat ketulusannya. Aku bisa melihat seberapa besar cintanya. Aku bisa melihat bahwa pria di depanku ini adalah pria yang tepat untuk kugenggam tangannya. Ia mampu menghempaskan rasa takut di dadaku. Ia mampu menghempaskan keraguanku. Dan, aku percaya suatu hari nanti ia akan benar-benar mampu menyembuhkan luka lamaku.
"Trims, Nick.", kataku lirih.
Nick mengangguk pelan, lalu tersenyum. "Aku mencintaimu, Nora.", bisiknya.
"Aku juga mencintaimu, Nick.", balasku sambil tersenyum simpul.
Malam semakin larut, udara di sekitar kami terasa semakin dingin. Nick pun mengantarku pulang sampai di depan asrama, meskipun rasanya kami tak ingin berpisah.
Lampu jalan di depan asrama tampak redup, memantulkan cahaya ke dedaunan kering yang beterbangan di sekitar kaki kami. Nick masih mengganggam tanganku, ibu jarinya mengusap perlahan punggung tanganku, seakan ragu untuk melepasnya. Tatapannya menelusuri wajahku, berhenti di mataku, lalu bibirnya membentuk senyuman kecil yang membuat jantungku berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya.
"Terimakasih untuk kenangan baru yang sangat indah malam ini, Nora.", katanya.
Aku sempat ingin menjawab, namun bibirnya tiba-tiba sudah menyentuh bibirku dengan lembut, hampir ragu di awal–seperti ingin memastikan bahwa aku juga menginginkannya. Dan, jelas aku juga menginginkannya... lebih dari yang pernah aku bayangkan.
Hangatnya perlahan merayap, membuatku lupa akan udara dingin dan suara daun bergesekan. Nick memiringkan kepalanya sedikit, memperdalam ciuman itu, tapi tetap lembut, seperti membungkusku dalam rasa yang ingin ia jaga selamanya.
Tangan kirinya terangkat, menyentuh pipiku, ibu jarinya menyapu pelan di sana. Sentuhan itu membuatku semakin melebur dalam momen, membalas ciumannya dengan perasaan yang selama ini kusimpan rapat-rapat.
Saat akhirnya ia menarik diri, napasnya sedikit memburu. Ia tetap dekat, dahi kami saling bersentuhan.
"Bersamamu.", katanya pelan. "Aku merasa begitu bahagia, Nora."
Aku hanya tersenyum, sambil merasakan nafasnya yang hangat menerpa wajahku. Nick pasti tahu, bahwa aku pun merasakan hal yang sama.